"Kak Rania!"
"Aaaaargh!"Bug!Rania melahirkan langsung tanpa bantuan bidan desa yang sejak tadi masih saja memakai kaus tangan medis, Zahrana kaget dengan bayi yang jatuh dari bawah Rania. Dia langsung mengambil bayi itu yang masih menggantung tali pusarnya pada bagian bawah Rania.Rania sendiri tidak sadarkan diri tergeletak di bangsal. Zahrana begitu kaget dengan kejadian tak terduga itu, keponakannya jatuh dan dia langsung mengambilnya.Bidan desa itu membantu menggunting tali pusar yang masih menggantung. Zahrana masih memegangi bayi laki-laki itu, tangannya gemetar. Matanya menatap bayi yang sedang menangis, dia pun ikut menangis."Sabar ya, nanti aku akan menjagamu." ucap Zahrana berlinangan air mata.Dia masih syok kejadian bayi jatuh kebawah karena bidan desa tidak juga menanganinya. Setelah selesai di potong tali pusar, tak lama ari-ari pun keluar juga tanpa Rania harus mengejan lagi.Rania sudah tidak sadarkan diri di bangsal itu, bidan melihat semuanya begitu cepat. Dia hanya membersihkan darah yang terus mengalir dari bawah itu. Setelah di bersihkan, dia mengambil alih bayi laki-laki itu dan membersihkannya.Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan bidan tersebut, dia mengambil kain untuk menyelimuti bayi yang sudah beberapa menit tanpa selimut itu."Ini, keponakanmu sudah selesai. Jika kakakmu bangun, kalian cepat pergi dari rumahku. Aku tidak mau di gunjingkan karena menolong kakakmu melahirkan." kata bidan itu.Zahrana menggendong keponakannya, dia menatap bidan itu dengan rada heran. Dia ingat jika bayi yang baru lahir harus di azani dan iqomah. Zahrana pun melakukan itu, mengazani bayi kakaknya pelan. Meski dia sangat gemetaran, tetapi di kuatkannya agar bisa mengazani dengan benar."Kenapa bu bidan sangat benci sekali dengan kakakku?" tanya Zahrana setelah mengazani keponakannya."Karena kakakmu, dia hamil di luar nikah. Banyak penduduk membicarakan kakakmu itu. Hamil besar tapi tidak tahu siapa suaminya, atau jangan-jangan benar kata mereka. Kakakmu bekerja sebagai perempuan panggilan di kota dan akhirnya hamil entah anak siapa." kata bidan itu ketus."Ibu jangan mendengar apa kata mereka, kakakku menikah. Ada suaminya di kota." kata Zahrana membela kakaknya."Heh, sudahlah. Aku tidak peduli, sebaiknya cepat bawa pergi kakakmu itu jika sudah bangun." kata bidan itu lagi.Dia menatap sinis pada Rania, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Rania dan Zahrana di tempat persalinan itu.Sedangkan Zahrana bingung, dia tidak tahu harus bagaimana. Dan bagaimana mungkin kakaknya harus jalan dari rumah bidan itu sampai ke rumahnya, sedangkan suasana masih gelap gulita.Owek! Owek!Bayi laki-laki itu menangis, tangannya di masukkan ke dalam mulutnya. Zahrana semakin bingung dengan keponakannya yang menangis itu."Duh, bagaimana ini. Kak Rania masih pingsan, sedangkan bayinya kelaparan." gumam Zahrana.Dia menggendong bayi itu, menenangkannya dengan berjalan bolak balik mengitari tempat itu. Dia menepuk-nepuk pantat bayi itu agar diam, tapi tangisan bayi tersebut masih saja menangis."Zahra." ucap Rania lirih.Zahrana pun mendekat, dia melihat kakaknya memegangi kepalanya. Zahrana mendekatkan bayi di gendongannya pada Rania."Kakak, ini bayimu. Dia laki-laki, sangat tampan. Dia lapar dan ingin minum asi." kata Zahrana.Rania berusaha bangun dan duduk. Dia pun mengambil bayinya pelan, dan mendekatkannya di dadanya. Meski mungkin sedikit yang keluar, tapi setidaknya bisa masuk ke dalam mulut bayi mungil itu.Tiba-tiba air mata Rania menetes, dia seperti mengingat sesuatu. Zahrana kaget, dia mendekat dan duduk di depan kakaknya."Kakak kenapa?" tanya Zahrana."Tidak, Zahra. Kakak titip anakku ya, kamu jaga dia dengan baik. Kelak dia bisa kamu angga sebagai anakmu." kata Rania."Kakak mau apa? Apa kakak mau pergi?" tanya Zahrana bingung."Tidak, hanya saja. Pasti akan banyak yang mengira anak ini anak haram, tapi sungguh Zahran. Dia punya ayah." kata Rania."Aku percaya sama kak Rania, aku akan menjaga dia dengan baik. Oh ya, siapa nama yang kakak berikan sama dia?" tanya Zahrana tersenyum dan memegang tangan kakaknya."Arthur Raka Ibrahim. Panggil saja Raka, kakak suka nama itu." kata Rania."Ya kak, aku akan menjaga Raka dengan baik." ucap Zahrana.Rania tersenyum, dia menatap adiknya lalu beralih pada anak laki-lakinya mengelus pipinya dengan pelan. Zahrana senang, dia akan menjaga kakak dan keponakannya itu dengan baik, dia juga akan membela dan melindungi keduanya dengan segenap jiwa raganya. Itu janjinya dalam hati."Kamu sudah bangun? Cepat pergi dari rumahku." kata bidan itu dengan pandangan sinis pada Rania."Iya bu bidan, aku akan pulang." kata Rania."Tapi kakak pasti masih lelah, bu bidan. Tolong beri waktu hanya sampai besok pagi saja, kami janji akan pulang pagi-pagi sekali." kata Zahrana memohon pada bidan desa itu."Tidak bisa, sebaiknya semua beresi dan cepat pulang sana." kata bidan itu tidak mau menerima permintaan Zahrana."Sudahlah Zahrana, kakak sudah lebih baik. Anakku juga sudah minum asi, sebaiknya kita pergi dari sini." kata Rania.Zahrana diam saja, dia kembali menatap bidan desa itu. Kemudian dia mengambil tas yang tadi di bawa, Rania mengambil dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu dan di berikan pada bidan desa itu."Terima kasih bu bidan, kami pergi dulu." kata Rania menyerahkan uang itu.Bidan desa itu mengambil uang yang di sodorkan Rania dengan kasar, menatap tajam padanya. Rania pun beranjak pergi, bayi laki-lakinya di gendong Zahrana. Mereka keluar dari rumah bidan desa, tepat pukul tiga pagi.Jalanan masih sepi, Zahrana dan Rania berdoa sepanjang jalan itu. Mereka berjalan pelan agar Rania tidak terlalu sakit, tetapi dia meringis karena sakit di bagian bawahnya."Kakak tidak apa-apa? Kita istirahat saja di pos kamling itu." kata Zahrana."Tidak, sebentar lagi sampai. Jangan hiraukan kakak, kakak kuat kok jalan beberapa meter lagi." kata Rania menenangkan adiknya yang cemas dengan keadaannya setelah hamil itu.Zahrana pun menurut, dia berjalan pelan agar kakaknya bisa bernapas dan tidak terlalu sakit. Tak lama, mereka akhirnya sampai di rumah. Suasana jalanan desa sudah mulai ada pejalan kaki atau pengendara motor lewat, mereka para pencari nafkah di waktu pagi buta.Rania masuk ke dalam kamarnya, di susul oleh Zahrana. Dia letakkan bayi itu di samping kakaknya yang duduk menyender di kepala ranjangnya."Aku akan masak air. Barangkali kakak nanti mau mandi, tapi kakak istirahat dulu ya." kata Zahrana."Kamu juga istirahat, Zahra. Sejak mengantar kakak, kamu belum istirahat." kata Rania, dia kasihan pada adiknya.Sejak dia datang dan hamil besar, Zahrana selalu membantunya. Terkadang dia tahu adiknya sering di ledek oleh tetangga dan juga kerabatnya.__***********Satu minggu sudah Rania melahirkan, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Tetapi masih sebatas di dalam rumah saja, Zahrana yang bergantian keluar rumah untuk berjualan di pasar.Dia berjualan sayur-sayuran sejak kakaknya Rania pulang menggantikan ibunya dulu berjualan di pasar, tetapi jualannya tidak ramai seperti pedagang sayur di pasar.Banyak yang enggan membeli sayur pada Zahrana karena mereka mendengar kakaknya hamil di luar nikah entah dengan siapa laki-lakinya karena tidak ada yang tahu siapa. Jika ada yang menggunjingkan lakaknya di depannya secara terang-terangan, Zahrana langsung membelanya. Mengatakan kalau kakaknya itu menikah, bukan hamil di luar nikah."Mana buktinya kalau dia menikah? Kemana suaminya?" tanya para tetangga yang mempertanyakan siapa suami Rania.Zahrana tidak bisa menjawab, dia juga bingung siapa suami kakaknya itu. Bahkan datang ke kampungnya saja tidak pernah, jadi mereka pun sanksi dengan pembelaan Zahrana.Beberapa kali Zahrana tanya pada kak
"Kak Rania!"Zahrana menjerit histeris, dia berjongkok dan menggoyangkan tubuh Rania yang tidak sadarkan diri. Dia panik dan bingung harus melakukan apa, dia bergegas menuju kamarnya mengambil ponselnya. Mencari bantuan pada pamannnya agar mau membawa kakaknya ke rumah sakit.Tuuut.Zahrana menelepon pamannya, belum di jawab. Dia semakin panik karena telepon pamannya belum juga di angkat. Zahrana terus menghubungi pamannya, dan tak lama sambungan telepon itu tersambung."Halo paman.""Ada apa Zahra?" tanya pamannya tenang."Paman, bisa tolong aku. Kak Rania jatuh pingsan." kata Zahrana."Ck, tunggu saja. Dia pasti sadar." kata pamannya dengan malas di seberang sana."Tapi paman, kak Rania berdarah.""Heh! Urus saja kakakmu itu! Jangan minta bantuan pada pamanmu, dia sibuk!"Klik!Sambungan telepon terputus, Zahrana diam. Dia pun kembali menuju kamar kakaknya, berpikir bagaimana harus membawa kakaknya yang pingsan akibat pendarahan itu. Tangannya masih menggendong Raka yang terdiam.Di
"Apa?! Tiga puluh juta?" tanya Zahrana kaget dengan biaya sebesar itu."Iya, mau di bayar lunas atau di cicil dulu mbak?" tanya petugas itu."Emm, bisa bayar pakai ATM?" tanya Zahrana."Bisa."Zahrana pun menyerahkan ATM yang dia pegang pada petugas itu. Petugas itu pun mengecek ATM yang di serahkan oleh Zahrana, dia meminta Zahrana memencet pin pada alat ATM mini tersebut. Tapi dia bingung karena tidak tahu pin ATM milik kakaknya itu."Kalau begitu, cicil saja mbak pakai uang tunai. Ini punya kakaknya yang lagi di operasi ya. Nantu bisa di lunasi melalui ATM atau tunai lagi." kata petugas itu."Oh ya, sebentar pak."Zahrana mengambil dompet kakaknya, melihat isi uang tunai di dompet itu. Di hitung hanya ada beberapa lembar ratusan saja, dia menyerahkan tujuh lembar uang ratusan tersebut."Apa segini dulu ngga apa-apa pak?" tanya Zahrana.Petugas itu menghitung uang yang di serahkan Zahrana. Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan oleh petugas itu."Kalau bisa satu juta saja dulu mb
"Saya terima nikah dan kawinnya Rania Marlina dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."Ucapan lantang laki-laki dingin itu membuat beku Rania, dia tidak tahu jika akan menikah dengan laki-laki yang tidak dia kenal. Bahkan baru bertemu saat ini juga, dan dalam waktu beberapa jam saja dia sudah jadi seorang suami.Entah apa yang akan dia perbuat, di mana dia harus mengadu dengan kejadian mendadak itu. Melihat sekeliling kamar hotel itu, membuatnya tiba-tiba jadi pengap. Menatap satu persatu orang-orang di depannya, tatapannya pun beralih pada laki-laki yang kini sudah jadi suaminya.Siapa dia?"Terima kasih pak penghulu." kata laki-laki itu datar saja."Aah ya, tuan. Semoga menjadi keluarga yang bahagia." ucap penghulu berbaju batik itu.Laki-laki itu hanya diam saja, tanpa menanggapi dengan anggukan apapun. Penghulu itu pun keluar dari kamar hotel itu, di susul dua perempuan yang sejak tadi menyaksikan perikahan singkat laki-laki dingin itu.Rania masih diam di tempat, pakaian yang d
Kenangan tentang dirinya dengan laki-laki bernama dalam kartu nama yang dia temukan itu, membuat Rania sedih. Apa lagi dia menemukan cek di meja sebesar seratus juta untuknya, sejak itu Rania menyelesaikan pekerjaan di toko lalu dia pun pulang ke kampungnya.Membawa cek serta kartu nama yang dia temukan. Kemudian di simpan di dompetnya tanpa pernah dia lihat lagi kartu nama itu.Dua bulan setelah pulangnya Rania dari rumah sakit, dia terlihat sehat. Tetapi terkadang merasa nyeri di bagian perutnya, dia hanya bisa menahan rasa sakit itu sendiri tanpa memberitahu adiknya Zahrana.Dia tidak mau adiknya ikut memikirkan penyakitnya itu, sedangkan Zahrana berjuang untuk mencukupi kebutuhan di rumah. Meski dia tahu di pasar banyak sekali yang menggunjingkannya karena melahirkan anak yang tidak tahu siapa bapaknya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu dengan keras dari luar, Rania bergegas menghentikan menyusui anaknya yang kini sudah berusia dua bulan lebih itu. Dia berjalan menuju pintu dengan
Rania kembali di bawa ke rumah sakit lagi karena dia pingsan setelah bicara dengan pamannya. Zahrana tentu saja sangat panik, dia kembali membawa Rania dengan memesan taksi online. Raka dia titipkan pada pelanggan yang sering dia beri sisa jualannya. Tidak seperti dulu dia pergi mengantar Rania ke rumah sakit, harus di bawa karena tidak ada yang mau membantu menjaga keponakannya.Mempercayakan pada paman dan bibinya sama saja menyerahkan semua hartanya. Apa lagi kakaknya pingsan itu karena tadi ada istri pamannya datang dan meminta sertifikat rumah, bisa jadi karena itu juga kakaknya pingsan."Apa kakak mbaknya tidak minum obat ya?" tanya dokter yang menangani Rania setelah meraka sampai di rumah sakit."Katanya cuma hari ini saja dokter kakakku tidak minum." jawab Zahrana."Ini mustahil, sudah hampir setengah bulan kakak anda tidak minum obat. Kalau cuma hari ini saja tidak minum obat, tidak akan pingsan dan lemah begitu." kata dokter.Zahrana diam, dia bingung dengan ucapan dokter i
Zahrana keluar dari rumahnya, dia agak ragu menuju rumah tetangganya untuk meminta bantuan. Keadaan masih sepi dan gelap, tapi ada beberapa orang keluar dari rumahnya untuk pergi ke masjid sholat subuh berjamaah, atau pun ada yang keluar pergi ke pasar berjualan.Rania mendekati seorang laki-laki berpakaian sarung dan koko, sepertinya mau pergi ke masjid di ujung jalan itu. Menjalankan sholat subuh berjamaah."Pak, tolong saya." kata Zahrana agak ragu, wajahnya kebingungan."Kenapa?" tanya laki-laki berpeci itu."Kakak saya meninggal pak, hik hik hik. Tadi malam, saya bingung mau bagaimana." ucapnya sambil menangis dan memeluk Raka erat."Innalilahi wainnailaihirojiuun." ucap laki-laki itu."Tolong saya pak, bagaimana mengurus jenazah kakak saya itu." ucap Zahrana lagi."Sebentar, saya ke masjid dulu ya. Nanti saya bicara sama pak ustad di masjid, kalau kakak kamu meninggal." kata laki-laki itu merasa kasihan pada Zahrana.Meski memang banyak yang tidak menyukai Zahrana dan Rania, tet
Satu minggu kepergian Rania, kini Zahrana kembali beraktifitas seperti biasanya. Dia berjualan lagi di pasar, Raka dia titipkan pada mbok Lastri. Setelah pulang dari pasar dia ambil lagi bayi itu dengan membawa beberapa sayuran dan lauk pauk lainnya.Dia dan mbok Lastri lebih dekat di bandingkan dengan keluarga pamannya. Bahkan sewaktu kematian Rania saja, pamannya saja yang datang. Itupun tidak ikut membantunya, hanya ikut pergi ke pemakaman saja dan langsung pergi.Memang pekerjaan pamannya itu terkadang sibuk sekali sebagai mandor sebuah proyek. Tetapi dia terlalu menurut pada istrinya Midah, apa lagi jika anaknya meminta sesuatu pasti di turuti.Zahrana sedang merapikan dagangannya, hari ini cukup lumayan habis sayurannya. Setiap dua hari sekali dia mengambil sayuran ke pasar induk untuk di jual kembali di pasar kampung. Makanya kadang dia harus meninggalkan Raka dengan mbok Lastri untuk belanja ke pasar induk.Hari ini Zahrana pulang lebih awal dari biasanya, karena jualannya hab