Share

02. Di Usir

"Kak Rania!"

"Aaaaargh!"

Bug!

Rania melahirkan langsung tanpa bantuan bidan desa yang sejak tadi masih saja memakai kaus tangan medis, Zahrana kaget dengan bayi yang jatuh dari bawah Rania. Dia langsung mengambil bayi itu yang masih menggantung tali pusarnya pada bagian bawah Rania.

Rania sendiri tidak sadarkan diri tergeletak di bangsal. Zahrana begitu kaget dengan kejadian tak terduga itu, keponakannya jatuh dan dia langsung mengambilnya.

Bidan desa itu membantu menggunting tali pusar yang masih menggantung. Zahrana masih memegangi bayi laki-laki itu, tangannya gemetar. Matanya menatap bayi yang sedang menangis, dia pun ikut menangis.

"Sabar ya, nanti aku akan menjagamu." ucap Zahrana berlinangan air mata.

Dia masih syok kejadian bayi jatuh kebawah karena bidan desa tidak juga menanganinya. Setelah selesai di potong tali pusar, tak lama ari-ari pun keluar juga tanpa Rania harus mengejan lagi.

Rania sudah tidak sadarkan diri di bangsal itu, bidan melihat semuanya begitu cepat. Dia hanya membersihkan darah yang terus mengalir dari bawah itu. Setelah di bersihkan, dia mengambil alih bayi laki-laki itu dan membersihkannya.

Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan bidan tersebut, dia mengambil kain untuk menyelimuti bayi yang sudah beberapa menit tanpa selimut itu.

"Ini, keponakanmu sudah selesai. Jika kakakmu bangun, kalian cepat pergi dari rumahku. Aku tidak mau di gunjingkan karena menolong kakakmu melahirkan." kata bidan itu.

Zahrana menggendong keponakannya, dia menatap bidan itu dengan rada heran. Dia ingat jika bayi yang baru lahir harus di azani dan iqomah. Zahrana pun melakukan itu, mengazani bayi kakaknya pelan. Meski dia sangat gemetaran, tetapi di kuatkannya agar bisa mengazani dengan benar.

"Kenapa bu bidan sangat benci sekali dengan kakakku?" tanya Zahrana setelah mengazani keponakannya.

"Karena kakakmu, dia hamil di luar nikah. Banyak penduduk membicarakan kakakmu itu. Hamil besar tapi tidak tahu siapa suaminya, atau jangan-jangan benar kata mereka. Kakakmu bekerja sebagai perempuan panggilan di kota dan akhirnya hamil entah anak siapa." kata bidan itu ketus.

"Ibu jangan mendengar apa kata mereka, kakakku menikah. Ada suaminya di kota." kata Zahrana membela kakaknya.

"Heh, sudahlah. Aku tidak peduli, sebaiknya cepat bawa pergi kakakmu itu jika sudah bangun." kata bidan itu lagi.

Dia menatap sinis pada Rania, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Rania dan Zahrana di tempat persalinan itu.

Sedangkan Zahrana bingung, dia tidak tahu harus bagaimana. Dan bagaimana mungkin kakaknya harus jalan dari rumah bidan itu sampai ke rumahnya, sedangkan suasana masih gelap gulita.

Owek! Owek!

Bayi laki-laki itu menangis, tangannya di masukkan ke dalam mulutnya. Zahrana semakin bingung dengan keponakannya yang menangis itu.

"Duh, bagaimana ini. Kak Rania masih pingsan, sedangkan bayinya kelaparan." gumam Zahrana.

Dia menggendong bayi itu, menenangkannya dengan berjalan bolak balik mengitari tempat itu. Dia menepuk-nepuk pantat bayi itu agar diam, tapi tangisan bayi tersebut masih saja menangis.

"Zahra." ucap Rania lirih.

Zahrana pun mendekat, dia melihat kakaknya memegangi kepalanya. Zahrana mendekatkan bayi di gendongannya pada Rania.

"Kakak, ini bayimu. Dia laki-laki, sangat tampan. Dia lapar dan ingin minum asi." kata Zahrana.

Rania berusaha bangun dan duduk. Dia pun mengambil bayinya pelan, dan mendekatkannya di dadanya. Meski mungkin sedikit yang keluar, tapi setidaknya bisa masuk ke dalam mulut bayi mungil itu.

Tiba-tiba air mata Rania menetes, dia seperti mengingat sesuatu. Zahrana kaget, dia mendekat dan duduk di depan kakaknya.

"Kakak kenapa?" tanya Zahrana.

"Tidak, Zahra. Kakak titip anakku ya, kamu jaga dia dengan baik. Kelak dia bisa kamu angga sebagai anakmu." kata Rania.

"Kakak mau apa? Apa kakak mau pergi?" tanya Zahrana bingung.

"Tidak, hanya saja. Pasti akan banyak yang mengira anak ini anak haram, tapi sungguh Zahran. Dia punya ayah." kata Rania.

"Aku percaya sama kak Rania, aku akan menjaga dia dengan baik. Oh ya, siapa nama yang kakak berikan sama dia?" tanya Zahrana tersenyum dan memegang tangan kakaknya.

"Arthur Raka Ibrahim. Panggil saja Raka, kakak suka nama itu." kata Rania.

"Ya kak, aku akan menjaga Raka dengan baik." ucap Zahrana.

Rania tersenyum, dia menatap adiknya lalu beralih pada anak laki-lakinya mengelus pipinya dengan pelan. Zahrana senang, dia akan menjaga kakak dan keponakannya itu dengan baik, dia juga akan membela dan melindungi keduanya dengan segenap jiwa raganya. Itu janjinya dalam hati.

"Kamu sudah bangun? Cepat pergi dari rumahku." kata bidan itu dengan pandangan sinis pada Rania.

"Iya bu bidan, aku akan pulang." kata Rania.

"Tapi kakak pasti masih lelah, bu bidan. Tolong beri waktu hanya sampai besok pagi saja, kami janji akan pulang pagi-pagi sekali." kata Zahrana memohon pada bidan desa itu.

"Tidak bisa, sebaiknya semua beresi dan cepat pulang sana." kata bidan itu tidak mau menerima permintaan Zahrana.

"Sudahlah Zahrana, kakak sudah lebih baik. Anakku juga sudah minum asi, sebaiknya kita pergi dari sini." kata Rania.

Zahrana diam saja, dia kembali menatap bidan desa itu. Kemudian dia mengambil tas yang tadi di bawa, Rania mengambil dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu dan di berikan pada bidan desa itu.

"Terima kasih bu bidan, kami pergi dulu." kata Rania menyerahkan uang itu.

Bidan desa itu mengambil uang yang di sodorkan Rania dengan kasar, menatap tajam padanya. Rania pun beranjak pergi, bayi laki-lakinya di gendong Zahrana. Mereka keluar dari rumah bidan desa, tepat pukul tiga pagi.

Jalanan masih sepi, Zahrana dan Rania berdoa sepanjang jalan itu. Mereka berjalan pelan agar Rania tidak terlalu sakit, tetapi dia meringis karena sakit di bagian bawahnya.

"Kakak tidak apa-apa? Kita istirahat saja di pos kamling itu." kata Zahrana.

"Tidak, sebentar lagi sampai. Jangan hiraukan kakak, kakak kuat kok jalan beberapa meter lagi." kata Rania menenangkan adiknya yang cemas dengan keadaannya setelah hamil itu.

Zahrana pun menurut, dia berjalan pelan agar kakaknya bisa bernapas dan tidak terlalu sakit. Tak lama, mereka akhirnya sampai di rumah. Suasana jalanan desa sudah mulai ada pejalan kaki atau pengendara motor lewat, mereka para pencari nafkah di waktu pagi buta.

Rania masuk ke dalam kamarnya, di susul oleh Zahrana. Dia letakkan bayi itu di samping kakaknya yang duduk menyender di kepala ranjangnya.

"Aku akan masak air. Barangkali kakak nanti mau mandi, tapi kakak istirahat dulu ya." kata Zahrana.

"Kamu juga istirahat, Zahra. Sejak mengantar kakak, kamu belum istirahat." kata Rania, dia kasihan pada adiknya.

Sejak dia datang dan hamil besar, Zahrana selalu membantunya. Terkadang dia tahu adiknya sering di ledek oleh tetangga dan juga kerabatnya.

_

_

***********

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nha Ra Ins
duuhh,,ada ya bidan Kya gtu.diihh amit2.ga layak jd bidan.hatinya busuk.menolong orang kok pilih2.astaghfirullah,,
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
kasihan banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status