Satu minggu kepergian Rania, kini Zahrana kembali beraktifitas seperti biasanya. Dia berjualan lagi di pasar, Raka dia titipkan pada mbok Lastri. Setelah pulang dari pasar dia ambil lagi bayi itu dengan membawa beberapa sayuran dan lauk pauk lainnya.Dia dan mbok Lastri lebih dekat di bandingkan dengan keluarga pamannya. Bahkan sewaktu kematian Rania saja, pamannya saja yang datang. Itupun tidak ikut membantunya, hanya ikut pergi ke pemakaman saja dan langsung pergi.Memang pekerjaan pamannya itu terkadang sibuk sekali sebagai mandor sebuah proyek. Tetapi dia terlalu menurut pada istrinya Midah, apa lagi jika anaknya meminta sesuatu pasti di turuti.Zahrana sedang merapikan dagangannya, hari ini cukup lumayan habis sayurannya. Setiap dua hari sekali dia mengambil sayuran ke pasar induk untuk di jual kembali di pasar kampung. Makanya kadang dia harus meninggalkan Raka dengan mbok Lastri untuk belanja ke pasar induk.Hari ini Zahrana pulang lebih awal dari biasanya, karena jualannya hab
"Zahrana, ikut aku!"Ucapan keras berasal dari belakang Zahrana, dia menoleh ke belakang. Tampak pamannya Shalih kesal sekali padanya, Zahrana mendengus kasar. Dia ingin menolaknya, tetapi tangannya sudah di tarik oleh pamannya itu."Ikut kemana paman? Aku mau pulang, capek habis dari pasar." kata Zahrana mencoba menolak ajakan pamannya itu."Ikut saja, kamu akan paman kenalkan sama seseorang." kata Shalih."Aku tidak mau!" teriak Zahrana menepis tangan pamannya kasar."Heh! Anak lancang kamu ya. Aku pamanmu, seharusnya kamu menurut pada pamanmu setelah ibumu meninggal. Ibumu menitipkan padaku, jadi aku ingin kamu mau ikut dengan paman!" ucap Shalih memaksa Zahrana."Aku tidak mau paman!" ucap Zahrana kekeh dengan terus berjalan meninggalkan pamannya.Dia tidak peduli dengan pamannya yang masih marah padanya, tidak peduli dengan umpatan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Langkahnya di percepat, tidak peduli dengan pamannya berdiri menatap kepergiannya."Huh, dia itu benar-benar pem
Zahrana diam saja, dia menatap pamannya yang tiba-tiba datang. Melirik ke arah laki-laki tambun yang tersenyum padanya. Shalih masuk ke dalam rumah Zahrana, di susul oleh laki-laki yang dia sebut tadi bosnya."Paman mau apa?" tanya Zahrana."Paman sudah bilang tadi di jalan, mau mengenalkan seseorang. Ini bos paman mau kenalan sama kamu." ucap Shalih menatap tajam pada keponakannya.Zahrana mendengus kesal, kenapa pamannya memaksa seperti itu. Dia seperti akan di perjual belikan, karena dari lirikan mata bos pamannya seakan ada ketertarikan lain padanya. Zahrana merinding melihat tatapan laki-laki tambun itu."Duduklah, aku tidak akan memakanmu. Pamanmu mengajakku ke sini." kata laki-laki itu.Zahrana diam saja, dia serba salah dengan keadaan itu. Tapi Shalih menarik tangannya untuk duduk di ruang tamu, mau tidak mau Zahrana pun duduk."Zahra, ini bos paman. Namanya pak Suta, dia bekerja seperti paman sebagai mandor di proyek. Dia ingin kenal sama kamu." kata Shalih."Hai Zahrana, jan
"Zahrana!" Teriakan seorang perempuan di luar membuat Zahrana kaget. Dia heran siapa yang berteriak di depan rumahnya itu. "Siapa lagi itu? Apa bibi Midah lagi?" ucap Zahrana menatap pintu rumahnya. "Zahrana sialan! Keluar kamu!" ucap perempuan di depan pintu rumah Zahrana. Zahrana menghela napas panjang, dia tahu itu pasti bibinya Midah datang ke rumahnya. Kedengarannya seperti dua orang yang berteriak, Zahrana mengerutkan dahinya. "Siapa satunya itu ya?" ucap Zahrana. Dia pun akhirnya melangkah dan membukakan pintunya, tampak di sana dua orang perempuan. Midah dan satunya adalah istri Rahmat yang tadi menolongnya, Zahrana bingung. "Ada apa bi?" tanya Zahrana menatap bibinya lalu beralih pada istri Rahmat. "Heh, mana suamiku?" tanya perempuan itu dengan berkacak pinggang."Pak Rahmat sudah pergi." jawab Zahrana."Jangan bohong kamu! Pasti ada di dalam, menyembunyikan suamiku. Dan kamu merayu suamiku kan? Iya kan?!" teriak perempuan dari istri Rahmat. "Pak Rahmat sudah pergi
Satu bulan setelah kejadian perseteruannya dengan bibi dan istri pak Rahmat, Zahrana kembali tenang. Tidak ada gangguan dari bibinya ataupun tetangga yang julid padanya. Dia juga mengasuh Raka begitu baik, selalu memperhatikan kebutuhan bayi laki-laki yang kini sudah berusia enam bulan.Zahrana sangat senang, perkembangan dan pertumbuhan keponakannya sangat sehat. Dia sudah memberikan makanan pendamping, meski hanya bubur yang dia buat ataupun biskuit saja sebagai selingan selain minum susu formula."Kamu sangat tampan sekali sayang, kok bunda jadi gemas banget sama kamu." ucap Zahrana ketika dia memakaikan bajunya.Bayi itu tertawa saja dan mengoceh tidak jelas pada Zahrana. Zahrana bahagia sekali, rasa kehilangan kakaknya terobati oleh Raka anaknya."Jika kamu masih ada kak, kamu akan sangat bahagia melihat Raka yang sangat sehat ini." ucap Zahrana bergumam menatap manik kecil pada mata bayi tersebut.Zahrana mengambil foto kakaknya yang tergantung di tembok, dia menatap wajah ayu k
"Usir dia, dia tidak pantas tinggal di lingkungan kita!"Teriakan demi teriakan di depan rumah Zahrana membuat gadis itu kaget. Baru juga dia merasa lega dengan kepergian paman dan bibinya dari rumahnya, tapi kenapa secepat itu bibinya menghasut para tetangganya untuk mengusirnya."Zahrana! Cepat kamu pergi dari kampung ini!" ucap seseorang di depan rumah Zahrana.Zahrana diam saja, dia tidak mempedulikan suara-suara teriakan di depan. Dia meneruskan pergi mengambil wudhu dan segera menunaikan kewajibannya, setelah itu dia akan memandikan Raka yang sebentar lagi bangun. Mungkin akan bangun karena teriakan itu tidak berhenti hingga suara laki-laki mencegah orang-orang meneriaki Zahrana untuk pergi dari rumahnya."Ibu-ibu, ada apa ini? Kenapa berteriak di depan rumah Zahrana?" tanya seorang laki-laki berdiri di depan mereka."Kami tidak mau gadis itu membawa keburukan di kampung kita, di lingkungan kita. Dia suka merayu suami-suami kami!" ucap salah satu tetangga Zahrana."Siapa yang m
Zahrana berpikir dia akan menemui Intan, teman yang juga dulu di usir oleh warga kampungnya karena menyukai laki-laki yang sudah beristri."Jadi kamu mau mencari pekerjaan di kota, Zahra?" tanya Intan ketika Zahrana meneleponnya."Ya, karena aku di usir oleh mereka." jawab Zahrana."Siapa?""Siapa lagi kalau warga kampung, terutama tetanggaku. Aku tidak tahu, karena kesalahan kakakku yang hamil tanpa tahu siapa ayahnya. Mereka membenciku, dan menyuruhku pergi dari kampung ini. Sebenarnya itu hasutan dari bibiku mereka mengusirku." kata Zahrana bercerita.Intan diam saja di seberang sana, nasib Zahrana sama halnya dengan dirinya. Tapi sejak itu dia tidak pernah pulang ke kampungnya, takut dengan warga yang masih membenci dirinya. "Baiklah, aku tinggal di yayasan penampungan asisten rumah tangga. Kalau kamu mau bekerja jadi asisten rumah tangga, bisa datang ke sini denganku." kata Intan."Ya, aku kerja apa saja. Tapi, apakah boleh aku bawa keponakanku? Aku tidak bisa meninggalkan dia."
Zahrana mrngirimi pesan pada Intan, teman Zahrana yang bekerja di sebuah yayasan yang menyediakan tenaga kerja ART. Dan kali ini Zahrana akan bekerja jadi ART jika sudah di terima di yayasan tersebut.Perjalanan dari terminal kota di mana kampung Zahrana berada, kini menuju ibukota. Zahrana mengadu nasib di kota yang keras kehidupannya, dia terpaksa harus datang ke kota untuk menghindari sekaligus mencari pekerjaan di sana.Dia mengirim pesan pada Intan, kalau saat ini dia sudah naik bis dan sebentar lagi akan tiba di terminal tujuan."Mas, terminal sebentar lagi sampai ya?" tanya Zahrana pada penumpang di sebelahnya seroang laki-laki."Iya mbak, mungkin satu jam lagi. Kalau macet sih bisa sampai satu jam setengah." jawab penumpang di sebelah Zahrana."Ooh, begitu." ujar Zahrana.Dia melihat Raka masih tenang dalam tidurnya, nyaman dalam pangkuan dan dekapan Zahrana. Dia senang Raka tidak rewel dalam mobil, jika bangun pun hanya minum susu saja dan makan cemilan biskuit yang sengaja Z