Beranda / Romansa / cinta yang terpisah / BAB 3: KEPUTUSAN YANG BERAT

Share

BAB 3: KEPUTUSAN YANG BERAT

Penulis: Rara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 21:41:30

Hari-hari yang mereka habiskan bersama semakin mendekatkan hati mereka. Namun, kabar tentang kepindahan Aldo ke luar negeri mulai menjadi bayangan kelam dalam pikiran Vika.

Suatu sore, di kafe yang biasa mereka kunjungi, Vika memberanikan diri untuk bertanya.

"Aldo, kapan kau akan berangkat?"

Aldo menatapnya sejenak, lalu menghela napas berat. "Minggu depan, Vika. Aku mendapatkan kepastian tadi pagi."

Vika merasa dadanya sesak. Ia tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari Aldo membuat semuanya terasa lebih nyata. "Jadi... ini benar-benar terjadi."

Aldo menggenggam tangannya di atas meja. "Aku ingin kita tetap berhubungan, Vika. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Vika tersenyum pahit. "Tapi hubungan jarak jauh itu sulit, Aldo. Kau tahu itu."

"Aku tahu. Tapi aku percaya kita bisa melewatinya," jawab Aldo penuh keyakinan.

Mereka berdua terdiam cukup lama, membiarkan kata-kata yang baru saja diucapkan menggantung di udara. Hati Vika berperang antara keinginan untuk mempertahankan Aldo dan ketakutan akan perpisahan yang perlahan mendekat.

Malam itu, mereka berjalan bersama menuju tempat parkir. Aldo tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menarik Vika ke dalam pelukan.

"Aku menyukaimu, Vika," bisiknya di telinga gadis itu.

Jantung Vika berdetak kencang. Ia tahu, ia juga merasakan hal yang sama. Tapi apakah perasaan itu cukup untuk melawan jarak dan waktu?

Vika menutup matanya, menikmati kehangatan dalam pelukan Aldo. "Aku juga menyukaimu, Aldo."

Namun, dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan?

Minggu depan semakin dekat, dan keputusan besar harus segera diambil.

Malam semakin larut, namun Vika dan Aldo masih duduk berdua di bangku taman yang sepi. Angin malam berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Namun, yang lebih menusuk bagi mereka bukanlah angin, melainkan kenyataan bahwa perpisahan semakin dekat.

Aldo menatap langit yang dipenuhi bintang. "Aku tak pernah membayangkan akan ada saat seperti ini. Saat di mana aku harus memilih antara mengejar impianku atau tetap di sini bersamamu."

Vika menghela napas panjang, menundukkan kepala, memainkan ujung jaketnya dengan gelisah. "Aku juga tak pernah menyangka akan bertemu seseorang yang begitu berarti dalam hidupku, hanya untuk kehilangannya begitu cepat."

Aldo meraih tangan Vika dan menggenggamnya erat. "Kita tidak akan kehilangan satu sama lain, Vika. Aku janji. Aku akan tetap menghubungimu, aku akan tetap kembali. Aku ingin kita tetap bersama, meski jarak akan memisahkan kita."

Vika menatap mata Aldo yang penuh ketulusan. Namun, hatinya masih dipenuhi keraguan. "Aldo, hubungan jarak jauh itu sulit. Aku takut... takut kalau semuanya berubah."

Aldo tersenyum tipis, mengusap punggung tangan Vika dengan lembut. "Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kehilanganmu. Aku ingin kita mencoba, Vika. Aku tidak ingin menyerah sebelum kita bahkan memulai."

Vika menatapnya lama. Kata-kata Aldo terasa begitu tulus, begitu dalam. Namun, di dalam hatinya, ada pertanyaan yang terus menghantuinya: apakah mereka benar-benar bisa bertahan?

HARI-HARI TERAKHIR SEBELUM PERPISAHAN

Sejak percakapan malam itu, Vika dan Aldo berusaha menikmati setiap detik yang tersisa sebelum Aldo berangkat. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama—pergi ke tempat-tempat yang menyimpan kenangan bagi mereka, berbicara tentang masa depan, dan saling menguatkan satu sama lain.

Suatu hari, mereka pergi ke pantai, tempat favorit Vika sejak kecil. Mereka duduk di atas pasir, menatap ombak yang datang dan pergi, seperti melambangkan ketidakpastian dalam hubungan mereka.

"Kau tahu? Aku selalu merasa tenang di sini," kata Vika sambil memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang menyapu wajahnya.

Aldo tersenyum dan merangkul Vika. "Mungkin karena di sini kau bisa mendengar suara hatimu dengan lebih jelas."

Vika menoleh ke arah Aldo. "Dan suara hatiku berkata bahwa aku akan sangat merindukanmu."

Aldo menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Vika lebih erat. "Aku juga. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku ingin kau percaya padaku, Vika. Percaya bahwa aku akan kembali."

Vika menatap mata Aldo, mencoba menemukan keyakinan di dalamnya. "Aku percaya padamu, Aldo. Aku hanya takut... takut bahwa waktu akan mengubah segalanya."

Aldo menangkup wajah Vika dengan kedua tangannya. "Dengar, Vika. Aku tidak akan membiarkan waktu atau jarak mengubah perasaanku padamu. Aku mencintaimu."

Jantung Vika berdetak kencang. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Aldo, namun terdengar begitu tulus, begitu dalam.

Vika merasa matanya mulai berkaca-kaca. "Aku juga mencintaimu, Aldo."

Mereka saling menatap, membiarkan momen itu terukir di hati masing-masing. Mungkin ini akan menjadi malam terakhir mereka bersama sebelum Aldo pergi, dan mereka ingin mengabadikannya dalam ingatan mereka selamanya.

HARI KEBERANGKATAN

Hari itu akhirnya tiba. Bandara dipenuhi suara pengumuman keberangkatan, langkah-langkah tergesa-gesa, serta pelukan perpisahan yang menyakitkan.

Vika berdiri di dekat gerbang keberangkatan, tangannya menggenggam erat jaket Aldo yang pernah dipinjamkan kepadanya saat hujan pertama kali mempertemukan mereka. Matanya sembab, namun ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.

Aldo berdiri di depannya, membawa koper besar dan tas ransel di bahunya. Ia berusaha tersenyum, meski matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Aku akan segera kembali, Vika. Ini bukan perpisahan selamanya," ujar Aldo dengan suara lembut.

Vika mengangguk, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. "Aku tahu. Tapi tetap saja rasanya... berat."

Aldo menariknya ke dalam pelukan, memeluknya erat seolah ingin mengabadikan kehangatan Vika dalam dirinya. "Jaga dirimu baik-baik. Aku akan selalu menghubungimu, aku janji."

Vika membalas pelukan itu dengan erat. "Jangan lupa pulang, Aldo. Aku akan menunggumu."

Aldo mencium kening Vika lama, sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. Ia melangkah mundur perlahan, masih menatap Vika yang kini berdiri dengan mata berkaca-kaca.

Saat Aldo mulai berjalan menuju gerbang keberangkatan, Vika menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Namun, begitu sosok Aldo menghilang di balik pintu, air matanya akhirnya jatuh.

Di dalam hatinya, ia hanya bisa berharap bahwa cinta mereka cukup kuat untuk bertahan melewati jarak dan waktu.

Dan bahwa Aldo akan menepati janjinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • cinta yang terpisah   Bab 26 : Simfoni kegelapan dan akar tersembunyi

    Udara di Pulau Senyap terasa membeku, meskipun suhu tropis Ambon. Bisikan aneh dari dalam hutan, suara berat yang seperti mantra, menusuk relung hati Vika, Aldo, dan Lila. "Kalian tidak seharusnya datang ke sini." Itu adalah peringatan, bukan pertanyaan. Mereka dikepung oleh sosok-sosok yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan, bergerak senyap seperti bayangan.Aldo segera mengaktifkan mode malam pada perangkat pengawasannya. Layar kecil itu menampilkan beberapa siluet yang mengelilingi mereka. Mereka tidak bersenjata api, tetapi memegang tongkat panjang yang tampak kokoh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara mereka bergerak—terkoordinasi sempurna, nyaris tanpa suara, seperti robot. Aura dingin yang mereka pancarkan bukan hanya sugesti, melainkan seperti gelombang energi yang nyata."Siapa kalian?" teriak Vika, mencoba memecah ketegangan, namun suaranya terdengar pecah di tengah keheningan mencekam.Sebagai jawaban, salah satu sosok maju selangkah. Ia tinggi, mengenakan jubah gelap

  • cinta yang terpisah   Bab 25: Gelombang Pasang Konsekuensi dan Jejak Baru

    Udara pagi di Teluk Ambon terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban dari peristiwa semalam. Kemenangan atas Adnan, dengan dinonaktifkannya malware dan terbukanya seluruh jaringannya melalui kesaksian Hendra serta rekaman Ratih, adalah sebuah masterstroke. Namun, seperti riak di permukaan air, setiap tindakan besar selalu diikuti oleh gelombang konsekuensi yang tak terduga. Adnan mungkin telah kalah dalam pertempuran strategis, tetapi kekalahan itu belum tentu berarti akhir dari segalanya. Di ruang kendali markas rahasia, Profesor Dimas sibuk dengan layar-layar komputer, memastikan setiap data yang diambil dari jaringan Adnan telah diamankan dan diklasifikasi. Wajahnya serius, sesekali mengernyitkan dahi. Pak Wijoyo menerima laporan tanpa henti dari timnya, yang kini bergerak cepat menindaklanjuti informasi dari Hendra dan data yang baru didapatkan. Sejumlah penangkapan senyap sedang dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia dan bahkan beberapa di luar negeri, berkat

  • cinta yang terpisah   Bab 24 : Simpul-simpul terurai dan bayangan yang tak pernah padam

    Fajar menyingsing di Teluk Ambon, namun kegelapan yang meliputi mereka jauh lebih pekat daripada malam yang baru saja berlalu. Penangkapan Hendra adalah sebuah kemenangan, sebuah langkah maju yang signifikan. Namun, kemenangan itu datang dengan harga yang mahal: risiko pengkhianatan yang tak terduga, dan pengungkapan kebenaran yang semakin kompleks tentang peran Ratih dan Bapak Suryo. Rekaman pengakuan yang kini dipegang Ibu Kirana, dan kesaksian Hendra, ibarat dua bilah pedang yang siap menembus jantung jaringan Adnan, namun juga berpotensi melukai mereka yang ada di dalamnya. Di markas kepolisian yang dijaga ketat, Hendra duduk di ruang interogasi, wajahnya masih memucat ketakutan dan amarah. Pengkhianatan Adnan telah menghancurkan fondasi kepercayaannya. Pak Wijoyo dan timnya, didampingi Ibu Kirana, dengan cermat menggali setiap informasi dari Hendra. Informasi yang ia berikan adalah kunci yang sangat berharga. Hendra mengungkapkan detail tentang skema pencucian uang melalui prope

  • cinta yang terpisah    Bab 23: Bayangan yang Bergerak dan Langkah Sang Pion

    Udara di safe house terasa tegang, penuh dengan antisipasi yang membara setelah pengungkapan rekaman pengakuan Ratih dan Bapak Suryo. Cahaya matahari pagi yang menerobos celah tirai seolah tak mampu mengusir bayangan dilema yang masih menyelimuti mereka. Liontin kunci, yang kini disimpan Ibu Kirana, telah membuka pintu ke kebenaran yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan. Ratih, bukan hanya korban, melainkan seorang pemain catur ulung yang mengorbankan segalanya demi keadilan. "Jadi, ibuku... dia sengaja masuk ke sarang Adnan untuk mengumpulkan bukti?" Lila berbisik, suaranya bercampur antara rasa bangga, kesedihan, dan keterkejutan. "Dia tahu rahasia kematian anak Suryo, dan dia menggunakannya sebagai leverage?" Vika mengangguk, menatap Lila dengan empati. "Ratih sangat cerdas, Lila. Dia tidak hanya ingin membongkar Adnan, dia ingin melindungi banyak hal. Rekaman itu membuktikan dia sedang membangun sebuah kasus dari dalam, selangkah demi selangkah." Aldo menambahkan,

  • cinta yang terpisah   Bab 22 : Pengkhianatan tersembunyi dan keadilan

    Malam di Teluk Ambon terasa begitu panjang, diwarnai dengan ketidakpastian dan beban moral yang membelenggu. Di sebuah safe house rahasia yang disediakan Pak Wijoyo, jauh dari hiruk pikuk kota, Vika, Aldo, dan Lila duduk mengelilingi meja, diterangi cahaya lampu redup. Di tengah mereka, tergeletak liontin kunci kusam yang didapatkan dari Pak Harun. Liontin itu, yang tadinya mereka kira adalah kunci menuju keadilan, kini menjelma menjadi kunci ke dalam jurang dilema yang tak berujung. Pak Harun sendiri, kini dalam perawatan intensif di rumah sakit, kondisinya kritis setelah insiden di gang sempit. Keadaannya menjadi pengingat pahit akan betapa berbahayanya permainan Adnan. "Rekaman ini..." Vika memulai, suaranya pelan, seolah takut mengganggu kesunyian. "Ini bisa jadi pedang bermata dua. Menjatuhkan Adnan, tapi juga menghancurkan banyak orang, termasuk nama baik Ratih." Aldo menatap liontin kunci itu, jemarinya membelai ukiran samar di permukaannya. "Kakek buyutku dan Ratih... mereka

  • cinta yang terpisah   Bab 21 : Lorong Gelap Rahasia dan Kunci Pengorbanan

    Malam di Teluk Ambon telah menyingkap wajah aslinya—bukan lagi pesona bahari yang memikat, melainkan sebuah tirai gelap yang menyelimuti rahasia dan ancaman. Di dalam rumah mewah Adnan yang kini disesaki tim forensik dan polisi, ketegangan menggantung di udara seperti bau amis darah. Ultimatum Adnan menggema, bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai sebuah jebakan moral yang mengikat erat Vika, Aldo, dan Lila. Mereka kini memahami: pertarungan ini bukan lagi sekadar perebutan warisan atau keadilan semata, melainkan sebuah permainan catur rumit dengan taruhan yang menghancurkan. Vika, Aldo, dan Lila berdiri di hadapan Adnan yang telah diborgol, namun seringai licik tak pernah lepas dari wajahnya. Tatapan matanya yang tajam dan dingin memancarkan keyakinan bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini, bahkan dalam kekalahan sekalipun. Ia tahu, mereka kini terjebak di antara dua pilihan pahit: mengungkap jaringannya yang luas dengan risiko kekacauan global dan aib bagi Ratih, atau memb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status