Vika dan Aldo dipertemukan kembali setelah bertahun-tahun berpisah tanpa kabar. Vika, seorang asisten editor yang berusaha menemukan makna dalam hidupnya, dan Aldo, pria yang baru kembali dari London dengan membawa rahasia masa lalu, tak menyangka bahwa takdir kembali mempertemukan mereka. Dalam pertemuan yang tak terduga, keduanya mulai merasakan koneksi yang kuat. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit yang menguji hubungan mereka. Luka lama yang belum sembuh, rahasia yang tak terduga, dan pilihan sulit yang harus mereka buat menjadikan kisah cinta mereka penuh lika-liku. Akankah mereka berhasil mengatasi rintangan yang ada? Ataukah cinta mereka hanya akan menjadi kisah yang kembali terpisah oleh waktu dan keadaan?
View More*Author note: Please read on. This prologue is a very important part to the main story. Thank you for reading and supporting me and my kids! Enjoy as it will be a series and hopefully very long!*
103 B.C“Mama! Mama! Please! No!” The small eight-year-old screamed in old Latin as two large men tossed her into a cage drawn by horses. They threw her like she was only garbage. She got on her knees and pressed herself against the bars gripping them till her hands were turning pale white. Tears poured from her confused and terrified green eyes as she stared at her apathetic mother. The horses began to walk, making the cage jerk hard, causing her to fall back when she got back up; her mother had a faint smile curled up in the corner of her mouth. Despite knowing it would probably be useless to beg for her release, she continued. Her mother and the seven other people seemed as if she didn't exist. They traveled deep into a thick forest where the horses could barely get to. The confused child looked around to see a stone door in the middle of a mountain wall. When the cage door opened, it was grinding on itself rust falling to the ground. Two of the men piled into the cage with her binding her wrists and ankles tightly with a cloth. They followed that by tying a cloth around her mouth tightly, and she could only muffle screams.For a while, they walked. One of the big men carried her over his shoulder. They walked for what felt like forever; all of the child's body hurt. Her wrists, her ankles, her mouth, and cheeks, her head pounded in her ears, and she felt like vomiting. Her stomach and chest hurt from being bent over the man's shoulder for so long. Finally, he threw her off him and let her hit the rock ground hard with a thud causing her to begin sobbing.“Mama.” She cried out intelligibly, but the only reaction she received from her mother was indifference. She did, however, see a glimpse of sadness on the face of one of the men. He was older, with a long scruffy red beard freckled with white, just like his long thick hair that was pulled back tightly with a red piece of fabric. The little girl peered deeply into his eyes, and something inside of him twisted, and he wanted so badly to stop them, but he could never go against the girl's mother. No one could. The Gods had blessed her with eternal life and powers that far surpassed anything or anyone on this earth except for one person. Her daughter.He was self-preserving when he helped them open the seal of the door to the netherworld. He couldn't toss the child into the darkness himself, so he stood by as two of the other men did. He heard her wail as she hit the stone ground and watched her terrified eyes sear into his as the door closed. The girl's mother turned and looked at him, and he shook the feelings away. They locked hands together, and their bodies glowed a red hue. “Are you sure this is what you want, Paha?” The red-headed man asked the mother before beginning the spell.“Yes, I am. I have no doubts about the choice I have just made. I cannot have that thing roaming this earth.”“Alright. Let us begin.” He closed his eyes and bowed his head; the others followed suit. “Claude ostium usque ad infernum demergeris omne quod mundum occupet quod omnia neccesse est manere in aeternum.” They repeated those words three times and the stone door ground with the mountain as dust fell and the permanent sealing echoed down the caverns. Metal in the form of snakes intertwined with each other from both sides and added the final seal. “It is done.”Paha smiled to herself and walked away with her loyal subjects following her, all of them except for the red-headed man. He looked one last time at the door and took a deep guilt-ridden breath exhaling dramatically before turning his back on the door and leaving the caverns. Upon exiting the caverns, he spelled the cavern entrance so no one could go in without him. “I will be leaving now.”“If you walk away from me now, you will be killed.” Paha threatened he shrugged.“And my spells will all be undone, and you will have to face the child you betrayed and doomed to hell.” He said with nothing more and turned to walk away.Udara di Pulau Senyap terasa membeku, meskipun suhu tropis Ambon. Bisikan aneh dari dalam hutan, suara berat yang seperti mantra, menusuk relung hati Vika, Aldo, dan Lila. "Kalian tidak seharusnya datang ke sini." Itu adalah peringatan, bukan pertanyaan. Mereka dikepung oleh sosok-sosok yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan, bergerak senyap seperti bayangan.Aldo segera mengaktifkan mode malam pada perangkat pengawasannya. Layar kecil itu menampilkan beberapa siluet yang mengelilingi mereka. Mereka tidak bersenjata api, tetapi memegang tongkat panjang yang tampak kokoh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara mereka bergerak—terkoordinasi sempurna, nyaris tanpa suara, seperti robot. Aura dingin yang mereka pancarkan bukan hanya sugesti, melainkan seperti gelombang energi yang nyata."Siapa kalian?" teriak Vika, mencoba memecah ketegangan, namun suaranya terdengar pecah di tengah keheningan mencekam.Sebagai jawaban, salah satu sosok maju selangkah. Ia tinggi, mengenakan jubah gelap
Udara pagi di Teluk Ambon terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban dari peristiwa semalam. Kemenangan atas Adnan, dengan dinonaktifkannya malware dan terbukanya seluruh jaringannya melalui kesaksian Hendra serta rekaman Ratih, adalah sebuah masterstroke. Namun, seperti riak di permukaan air, setiap tindakan besar selalu diikuti oleh gelombang konsekuensi yang tak terduga. Adnan mungkin telah kalah dalam pertempuran strategis, tetapi kekalahan itu belum tentu berarti akhir dari segalanya. Di ruang kendali markas rahasia, Profesor Dimas sibuk dengan layar-layar komputer, memastikan setiap data yang diambil dari jaringan Adnan telah diamankan dan diklasifikasi. Wajahnya serius, sesekali mengernyitkan dahi. Pak Wijoyo menerima laporan tanpa henti dari timnya, yang kini bergerak cepat menindaklanjuti informasi dari Hendra dan data yang baru didapatkan. Sejumlah penangkapan senyap sedang dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia dan bahkan beberapa di luar negeri, berkat
Fajar menyingsing di Teluk Ambon, namun kegelapan yang meliputi mereka jauh lebih pekat daripada malam yang baru saja berlalu. Penangkapan Hendra adalah sebuah kemenangan, sebuah langkah maju yang signifikan. Namun, kemenangan itu datang dengan harga yang mahal: risiko pengkhianatan yang tak terduga, dan pengungkapan kebenaran yang semakin kompleks tentang peran Ratih dan Bapak Suryo. Rekaman pengakuan yang kini dipegang Ibu Kirana, dan kesaksian Hendra, ibarat dua bilah pedang yang siap menembus jantung jaringan Adnan, namun juga berpotensi melukai mereka yang ada di dalamnya. Di markas kepolisian yang dijaga ketat, Hendra duduk di ruang interogasi, wajahnya masih memucat ketakutan dan amarah. Pengkhianatan Adnan telah menghancurkan fondasi kepercayaannya. Pak Wijoyo dan timnya, didampingi Ibu Kirana, dengan cermat menggali setiap informasi dari Hendra. Informasi yang ia berikan adalah kunci yang sangat berharga. Hendra mengungkapkan detail tentang skema pencucian uang melalui prope
Udara di safe house terasa tegang, penuh dengan antisipasi yang membara setelah pengungkapan rekaman pengakuan Ratih dan Bapak Suryo. Cahaya matahari pagi yang menerobos celah tirai seolah tak mampu mengusir bayangan dilema yang masih menyelimuti mereka. Liontin kunci, yang kini disimpan Ibu Kirana, telah membuka pintu ke kebenaran yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan. Ratih, bukan hanya korban, melainkan seorang pemain catur ulung yang mengorbankan segalanya demi keadilan. "Jadi, ibuku... dia sengaja masuk ke sarang Adnan untuk mengumpulkan bukti?" Lila berbisik, suaranya bercampur antara rasa bangga, kesedihan, dan keterkejutan. "Dia tahu rahasia kematian anak Suryo, dan dia menggunakannya sebagai leverage?" Vika mengangguk, menatap Lila dengan empati. "Ratih sangat cerdas, Lila. Dia tidak hanya ingin membongkar Adnan, dia ingin melindungi banyak hal. Rekaman itu membuktikan dia sedang membangun sebuah kasus dari dalam, selangkah demi selangkah." Aldo menambahkan,
Malam di Teluk Ambon terasa begitu panjang, diwarnai dengan ketidakpastian dan beban moral yang membelenggu. Di sebuah safe house rahasia yang disediakan Pak Wijoyo, jauh dari hiruk pikuk kota, Vika, Aldo, dan Lila duduk mengelilingi meja, diterangi cahaya lampu redup. Di tengah mereka, tergeletak liontin kunci kusam yang didapatkan dari Pak Harun. Liontin itu, yang tadinya mereka kira adalah kunci menuju keadilan, kini menjelma menjadi kunci ke dalam jurang dilema yang tak berujung. Pak Harun sendiri, kini dalam perawatan intensif di rumah sakit, kondisinya kritis setelah insiden di gang sempit. Keadaannya menjadi pengingat pahit akan betapa berbahayanya permainan Adnan. "Rekaman ini..." Vika memulai, suaranya pelan, seolah takut mengganggu kesunyian. "Ini bisa jadi pedang bermata dua. Menjatuhkan Adnan, tapi juga menghancurkan banyak orang, termasuk nama baik Ratih." Aldo menatap liontin kunci itu, jemarinya membelai ukiran samar di permukaannya. "Kakek buyutku dan Ratih... mereka
Malam di Teluk Ambon telah menyingkap wajah aslinya—bukan lagi pesona bahari yang memikat, melainkan sebuah tirai gelap yang menyelimuti rahasia dan ancaman. Di dalam rumah mewah Adnan yang kini disesaki tim forensik dan polisi, ketegangan menggantung di udara seperti bau amis darah. Ultimatum Adnan menggema, bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai sebuah jebakan moral yang mengikat erat Vika, Aldo, dan Lila. Mereka kini memahami: pertarungan ini bukan lagi sekadar perebutan warisan atau keadilan semata, melainkan sebuah permainan catur rumit dengan taruhan yang menghancurkan. Vika, Aldo, dan Lila berdiri di hadapan Adnan yang telah diborgol, namun seringai licik tak pernah lepas dari wajahnya. Tatapan matanya yang tajam dan dingin memancarkan keyakinan bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini, bahkan dalam kekalahan sekalipun. Ia tahu, mereka kini terjebak di antara dua pilihan pahit: mengungkap jaringannya yang luas dengan risiko kekacauan global dan aib bagi Ratih, atau memb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments