Beranda / Romansa / cinta yang terpisah / BAB 4: MENANTI DALAM KERAGUAN

Share

BAB 4: MENANTI DALAM KERAGUAN

Penulis: Rara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 22:05:13

Malam telah berganti pagi, dan Vika masih terjaga di kamarnya. Ponselnya tergeletak di sampingnya, menampilkan layar obrolan dengan Aldo. Mereka telah mengirim pesan beberapa kali sejak keberangkatan Aldo, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa kosong dalam hati Vika.

Hari-hari pertama tanpa Aldo terasa begitu hampa. Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada kenangan mereka berdua. Warung kopi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama, taman di mana mereka pertama kali bertemu, dan bahkan hujan yang turun membuatnya mengingat saat Aldo meminjamkan jaketnya kepadanya.

Vika menatap langit dari balik jendela kamarnya. "Bagaimana kalau semuanya berubah? Bagaimana kalau dia bertemu seseorang di sana dan melupakanku?" gumamnya lirih.

Ia mencoba menepis pikiran buruk itu, tetapi ketakutan dan keraguan terus menggerogoti hatinya. Jarak memang hanya sebuah angka, tetapi perasaan bisa berubah kapan saja. Aldo selalu meyakinkannya bahwa mereka bisa melewati ini, tetapi bisakah ia benar-benar mempercayai kata-kata itu?

KEHIDUPAN BARU ALDO

Sementara itu, di kota tempatnya kini menetap, Aldo tengah memulai kehidupannya yang baru. Kampus barunya jauh lebih besar dan lebih sibuk dibandingkan dengan yang lama. Orang-orang di sekitarnya memiliki ambisi besar, dan persaingan di antara mereka sangat ketat.

Hari-hari Aldo dipenuhi dengan kelas, tugas, dan kegiatan kampus. Kadang-kadang, ia terlalu lelah untuk menghubungi Vika, dan ketika ia baru memiliki waktu luang, perbedaan zona waktu membuat komunikasi mereka menjadi semakin sulit.

Meskipun ia tetap mencoba memberi kabar kepada Vika, terkadang pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Ia mengerti bahwa Vika juga berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini, tetapi di lubuk hatinya, ia merindukan gadis itu lebih dari apa pun.

Suatu malam, saat ia duduk di balkon asramanya, ia menghubungi Vika melalui video call. Layar menampilkan wajah Vika yang terlihat sedikit lesu.

"Hai, sayang..." Aldo menyapa dengan suara lembut.

"Hai," jawab Vika dengan senyum tipis. "Gimana harimu?"

"Sibuk seperti biasa, tapi aku baik-baik saja. Aku rindu kamu." Aldo menatapnya dengan penuh kerinduan.

Vika menghela napas. "Aku juga rindu kamu, Aldo. Tapi... aku merasa kita semakin jauh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional."

Aldo terdiam. Ia tahu Vika tidak sepenuhnya salah. Ada jarak di antara mereka yang tidak hanya bisa diukur dengan kilometer. Ada kesenjangan dalam komunikasi mereka, dalam cara mereka menjalani hari-hari tanpa satu sama lain.

"Aku tahu ini sulit," Aldo akhirnya berkata. "Tapi aku tidak ingin kita menyerah. Aku janji akan lebih sering menghubungimu. Aku ingin kita tetap bersama."

Vika tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyimpan kesedihan. "Aku juga ingin, Aldo. Aku hanya takut... takut kalau perlahan kita berubah."

Aldo ingin meyakinkannya, ingin berkata bahwa perasaan mereka akan tetap sama. Tetapi dalam hatinya, ia pun merasakan ketakutan yang sama.

GODAAN DAN KEKERINGAN KOMUNIKASI

Beberapa bulan berlalu, dan komunikasi antara mereka semakin jarang. Awalnya, Aldo masih rutin mengirim pesan, menelepon setiap malam, dan mengirim foto-foto kegiatan sehari-harinya. Namun, seiring waktu, semuanya mulai berubah.

Kesibukan semakin menyita waktunya. Tugas kuliah, pertemanan baru, dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler membuatnya sering lupa untuk menghubungi Vika. Bahkan ketika ia mengingatnya, sering kali ia terlalu lelah untuk sekadar mengetik pesan panjang.

Di sisi lain, Vika mulai merasa diabaikan. Ia mencoba mengerti bahwa Aldo sibuk, tetapi hatinya tidak bisa membohongi rasa sakit yang ia rasakan setiap kali pesannya hanya dibalas dengan singkat atau bahkan diabaikan.

Sampai suatu hari, Vika melihat sesuatu yang membuat hatinya benar-benar hancur.

Saat ia sedang berselancar di media sosial, ia menemukan sebuah foto Aldo yang diunggah oleh seorang perempuan bernama Karina—salah satu teman kuliah Aldo. Dalam foto itu, Aldo tampak tertawa bersama Karina dan beberapa teman lainnya di sebuah kafe. Yang membuatnya semakin terluka adalah bagaimana Karina menandai Aldo dengan caption berbunyi:

"Selalu menyenangkan menghabiskan waktu denganmu! 😊"

Hati Vika mencelos. Tangannya gemetar saat menggulir layar ponselnya. Ada berbagai komentar di bawah foto itu, beberapa di antaranya membuat perasaannya semakin hancur.

"Kalian pasangan yang serasi! ❤️"

"Kapan jadian nih? Hahaha!"

Vika merasa dunia seakan runtuh. Apakah Aldo telah melupakannya? Apakah selama ini ia hanya menunggu seseorang yang tidak lagi peduli padanya?

Ia mencoba menahan air mata, tetapi gagal. Dengan tangan gemetar, ia mengirim pesan kepada Aldo.

Vika: "Aldo, aku bisa bicara denganmu sekarang?"

Pesannya hanya terlihat centang satu. Tidak ada balasan.

Air mata Vika jatuh. Untuk pertama kalinya sejak Aldo pergi, ia merasa benar-benar sendirian.

PERTANYAAN TANPA JAWABAN

Malam itu, Vika tidak bisa tidur. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Haruskah ia percaya bahwa itu hanya sebuah kebetulan? Ataukah ini pertanda bahwa Aldo telah menemukan kebahagiaan tanpa dirinya?

Berjam-jam berlalu, dan akhirnya ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Aldo masuk.

Aldo: "Maaf, aku ketiduran tadi. Ada apa, sayang?"

Vika menatap pesan itu lama. Ia ingin langsung bertanya tentang Karina, tentang foto itu, tetapi sesuatu dalam dirinya menahannya. Jika ia terlalu cepat mengambil kesimpulan, mungkin ia hanya akan menyakiti dirinya sendiri.

Vika: "Aku cuma kangen. Aku merasa kita sudah tidak seperti dulu lagi."

Balasan Aldo datang beberapa menit kemudian.

Aldo: "Aku juga kangen kamu, Vika. Maaf kalau aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Aku akan coba lebih sering menghubungi."

Vika menghela napas. Jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskannya, tetapi ia tidak ingin memicu pertengkaran. Ia hanya bisa berharap bahwa Aldo masih seperti yang dulu—pria yang pernah berjanji tidak akan berubah meskipun jarak memisahkan mereka.

Namun, di dalam hatinya, benih-benih keraguan mulai tumbuh.

Beberapa hari kemudian, Aldo kembali jarang memberi kabar. Vika mulai merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang semakin menjauh darinya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia seharusnya berhenti berharap?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • cinta yang terpisah   Bab 26 : Simfoni kegelapan dan akar tersembunyi

    Udara di Pulau Senyap terasa membeku, meskipun suhu tropis Ambon. Bisikan aneh dari dalam hutan, suara berat yang seperti mantra, menusuk relung hati Vika, Aldo, dan Lila. "Kalian tidak seharusnya datang ke sini." Itu adalah peringatan, bukan pertanyaan. Mereka dikepung oleh sosok-sosok yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan, bergerak senyap seperti bayangan.Aldo segera mengaktifkan mode malam pada perangkat pengawasannya. Layar kecil itu menampilkan beberapa siluet yang mengelilingi mereka. Mereka tidak bersenjata api, tetapi memegang tongkat panjang yang tampak kokoh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara mereka bergerak—terkoordinasi sempurna, nyaris tanpa suara, seperti robot. Aura dingin yang mereka pancarkan bukan hanya sugesti, melainkan seperti gelombang energi yang nyata."Siapa kalian?" teriak Vika, mencoba memecah ketegangan, namun suaranya terdengar pecah di tengah keheningan mencekam.Sebagai jawaban, salah satu sosok maju selangkah. Ia tinggi, mengenakan jubah gelap

  • cinta yang terpisah   Bab 25: Gelombang Pasang Konsekuensi dan Jejak Baru

    Udara pagi di Teluk Ambon terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban dari peristiwa semalam. Kemenangan atas Adnan, dengan dinonaktifkannya malware dan terbukanya seluruh jaringannya melalui kesaksian Hendra serta rekaman Ratih, adalah sebuah masterstroke. Namun, seperti riak di permukaan air, setiap tindakan besar selalu diikuti oleh gelombang konsekuensi yang tak terduga. Adnan mungkin telah kalah dalam pertempuran strategis, tetapi kekalahan itu belum tentu berarti akhir dari segalanya. Di ruang kendali markas rahasia, Profesor Dimas sibuk dengan layar-layar komputer, memastikan setiap data yang diambil dari jaringan Adnan telah diamankan dan diklasifikasi. Wajahnya serius, sesekali mengernyitkan dahi. Pak Wijoyo menerima laporan tanpa henti dari timnya, yang kini bergerak cepat menindaklanjuti informasi dari Hendra dan data yang baru didapatkan. Sejumlah penangkapan senyap sedang dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia dan bahkan beberapa di luar negeri, berkat

  • cinta yang terpisah   Bab 24 : Simpul-simpul terurai dan bayangan yang tak pernah padam

    Fajar menyingsing di Teluk Ambon, namun kegelapan yang meliputi mereka jauh lebih pekat daripada malam yang baru saja berlalu. Penangkapan Hendra adalah sebuah kemenangan, sebuah langkah maju yang signifikan. Namun, kemenangan itu datang dengan harga yang mahal: risiko pengkhianatan yang tak terduga, dan pengungkapan kebenaran yang semakin kompleks tentang peran Ratih dan Bapak Suryo. Rekaman pengakuan yang kini dipegang Ibu Kirana, dan kesaksian Hendra, ibarat dua bilah pedang yang siap menembus jantung jaringan Adnan, namun juga berpotensi melukai mereka yang ada di dalamnya. Di markas kepolisian yang dijaga ketat, Hendra duduk di ruang interogasi, wajahnya masih memucat ketakutan dan amarah. Pengkhianatan Adnan telah menghancurkan fondasi kepercayaannya. Pak Wijoyo dan timnya, didampingi Ibu Kirana, dengan cermat menggali setiap informasi dari Hendra. Informasi yang ia berikan adalah kunci yang sangat berharga. Hendra mengungkapkan detail tentang skema pencucian uang melalui prope

  • cinta yang terpisah    Bab 23: Bayangan yang Bergerak dan Langkah Sang Pion

    Udara di safe house terasa tegang, penuh dengan antisipasi yang membara setelah pengungkapan rekaman pengakuan Ratih dan Bapak Suryo. Cahaya matahari pagi yang menerobos celah tirai seolah tak mampu mengusir bayangan dilema yang masih menyelimuti mereka. Liontin kunci, yang kini disimpan Ibu Kirana, telah membuka pintu ke kebenaran yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan. Ratih, bukan hanya korban, melainkan seorang pemain catur ulung yang mengorbankan segalanya demi keadilan. "Jadi, ibuku... dia sengaja masuk ke sarang Adnan untuk mengumpulkan bukti?" Lila berbisik, suaranya bercampur antara rasa bangga, kesedihan, dan keterkejutan. "Dia tahu rahasia kematian anak Suryo, dan dia menggunakannya sebagai leverage?" Vika mengangguk, menatap Lila dengan empati. "Ratih sangat cerdas, Lila. Dia tidak hanya ingin membongkar Adnan, dia ingin melindungi banyak hal. Rekaman itu membuktikan dia sedang membangun sebuah kasus dari dalam, selangkah demi selangkah." Aldo menambahkan,

  • cinta yang terpisah   Bab 22 : Pengkhianatan tersembunyi dan keadilan

    Malam di Teluk Ambon terasa begitu panjang, diwarnai dengan ketidakpastian dan beban moral yang membelenggu. Di sebuah safe house rahasia yang disediakan Pak Wijoyo, jauh dari hiruk pikuk kota, Vika, Aldo, dan Lila duduk mengelilingi meja, diterangi cahaya lampu redup. Di tengah mereka, tergeletak liontin kunci kusam yang didapatkan dari Pak Harun. Liontin itu, yang tadinya mereka kira adalah kunci menuju keadilan, kini menjelma menjadi kunci ke dalam jurang dilema yang tak berujung. Pak Harun sendiri, kini dalam perawatan intensif di rumah sakit, kondisinya kritis setelah insiden di gang sempit. Keadaannya menjadi pengingat pahit akan betapa berbahayanya permainan Adnan. "Rekaman ini..." Vika memulai, suaranya pelan, seolah takut mengganggu kesunyian. "Ini bisa jadi pedang bermata dua. Menjatuhkan Adnan, tapi juga menghancurkan banyak orang, termasuk nama baik Ratih." Aldo menatap liontin kunci itu, jemarinya membelai ukiran samar di permukaannya. "Kakek buyutku dan Ratih... mereka

  • cinta yang terpisah   Bab 21 : Lorong Gelap Rahasia dan Kunci Pengorbanan

    Malam di Teluk Ambon telah menyingkap wajah aslinya—bukan lagi pesona bahari yang memikat, melainkan sebuah tirai gelap yang menyelimuti rahasia dan ancaman. Di dalam rumah mewah Adnan yang kini disesaki tim forensik dan polisi, ketegangan menggantung di udara seperti bau amis darah. Ultimatum Adnan menggema, bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai sebuah jebakan moral yang mengikat erat Vika, Aldo, dan Lila. Mereka kini memahami: pertarungan ini bukan lagi sekadar perebutan warisan atau keadilan semata, melainkan sebuah permainan catur rumit dengan taruhan yang menghancurkan. Vika, Aldo, dan Lila berdiri di hadapan Adnan yang telah diborgol, namun seringai licik tak pernah lepas dari wajahnya. Tatapan matanya yang tajam dan dingin memancarkan keyakinan bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini, bahkan dalam kekalahan sekalipun. Ia tahu, mereka kini terjebak di antara dua pilihan pahit: mengungkap jaringannya yang luas dengan risiko kekacauan global dan aib bagi Ratih, atau memb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status