Home / Horor / lantai tiga belas / Lari Atau Mati

Share

Lari Atau Mati

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-05-10 06:28:59

Sinta memejamkan mata erat, menanti ajal yang rasanya hanya tinggal sehelai napas lagi. Tapi... detik-detik berlalu, dan tidak ada yang menyentuhnya.

Suara desis aneh terdengar. "Krrraakk... kkkhhrrhh..." Diiringi dengan bau amis menyengat. Sinta membuka mata sedikit... makhluk itu berdiri hanya sejengkal darinya. Nafasnya berat, terdengar seperti logam berkarat yang bergesekan. Wajahnya begitu dekat hingga Sinta bisa melihat larva-larva kecil merayap di dalam rongga matanya yang kosong.

Tiba-tiba, dari arah samping, sebatang kayu besar menghantam kepala makhluk itu.

“JANGAAAN SENTUH DIA!!”

Suara itu... Ardi?!

Sinta melirik, dan benar—Ardi muncul entah dari mana, tubuhnya penuh luka, bajunya berlumur darah, tapi matanya menyala dengan semangat bertahan hidup. Ia menyeret Sinta bangun, tangan gemetaran namun kuat.

“Lari, Sint! Jangan lihat ke belakang!”

Mereka berlari menuruni halaman menuju sisi gelap gedung yang belum runtuh. Di belakang, suara geraman dan teriakan makhluk-mak
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • lantai tiga belas   Tak Ada Jalan Keluar

    Sinta membuka mata di tengah malam, keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Mesin infus berdetak pelan, namun suara detaknya kini terdengar seperti gema dalam lorong panjang. Lampu di pojok ruangan mulai berkedip. Tik... tik... tik... klik... klik... klik... Sinta menoleh ke arah jendela. Tirai putih tipis itu bergerak pelan, meski semua jendela tertutup. Dan di balik tirai—bayangan itu masih berdiri. Tapi kali ini lebih dekat. Matanya menyala merah samar, rahangnya menganga seolah mengucap sesuatu... tapi tak ada suara. Sinta menjerit. Namun suaranya nyaris tak terdengar. Tenggorokannya kering. Ia menekan tombol darurat di samping tempat tidur, namun lampu tombol itu mati. Tak ada bunyi alarm. “Tolong...” bisiknya lirih. Bayangan itu mulai masuk menembus kaca jendela—menyatu dengan udara, merambat seperti kabut hitam yang menjalar ke dinding ruangan. Aroma anyir darah kembali menyeruak. Sinta menggigil. Tangan gemetar, ia b

    Last Updated : 2025-05-10
  • lantai tiga belas   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

    Last Updated : 2025-05-10
  • lantai tiga belas   panggilan pertama

    Sinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang.“Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung.Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik.“Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruan

    Last Updated : 2025-04-10
  • lantai tiga belas   jejak di lorong

    Sejak kejadian malam itu, Sinta tak pernah benar-benar merasa bangun. Setiap langkahnya di lorong rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang berkepanjangan—sunyi, dingin, dan berat. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi di lantai tiga belas hanyalah halusinasi akibat kelelahan. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, secarik kertas bernoda darah yang kini tersembunyi di buku catatannya terus mengingatkannya: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali."Malam berikutnya, ia kembali mendapat shift jaga malam.“Sinta,” suara Bu Rini terdengar biasa saja, seperti tak ada yang terjadi, “malam ini kamu jagain ruang perawatan kelas 1, ya. Pasiennya cuma dua orang. Gampang. Tapi jangan suka jalan-jalan ke lantai lain sendirian, apalagi ke atas. Sudah saya bilang dari awal.”Sinta hanya mengangguk pelan. Ia tahu Bu Rini tidak mempercayai ceritanya. Bahkan mungkin menganggapnya mulai stres. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia benar-benar naik ke lantai itu?

    Last Updated : 2025-04-10
  • lantai tiga belas   nama yang hilang dari arsip

    Pagi itu, Sinta berdiri di depan ruang administrasi lama Rumah Sakit Kartika, tangannya gemetar saat memutar kunci lemari arsip yang sudah berkarat. Setelah kejadian semalam, ia tahu satu hal: semua ini tidak normal. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa yang ia alami hanya mimpi atau akibat kelelahan.Ia butuh jawaban.Dan satu-satunya tempat yang mungkin menyimpannya… adalah di arsip lama, tempat catatan pasien dari puluhan tahun lalu disimpan.Lemari tua itu berderit saat dibuka. Bau lembab dan kertas berjamur langsung memenuhi hidung. Lampu neon di ruangan itu berkedip lemah, seperti enggan menyala terang. Di dalam lemari, ratusan map tersusun tak teratur, sebagian sudah menguning dan rapuh.Sinta mulai menelusuri satu per satu, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa memberinya petunjuk tentang lantai tiga belas.Ia bahkan tak yakin lantai itu pernah benar-benar eksis di cetak biru rumah sakit. Tapi malam itu, ia berdiri di depan pintunya sendiri. Tangannya menyentuh rel tangga yang ding

    Last Updated : 2025-04-10
  • lantai tiga belas   cermin ke dua

    Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin.Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup.Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar...Ia bukan satu-satunya yang ada di sini.Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin.Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain.Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang t

    Last Updated : 2025-04-10
  • lantai tiga belas   tanda yang tertinggal

    Rumah Sakit Kartika mulai berubah.Bukan secara fisik—lantai, dinding, dan koridornya masih terlihat sama. Tapi ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bau obat-obatan digantikan aroma besi karat dan tanah basah. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui jendela pagi, kini terasa dingin. Redup.Dan yang paling terasa… adalah suasana. Ketegangan. Sunyi yang tidak wajar.Seluruh staf merasakannya, meskipun mereka tak mengatakannya secara langsung.Termasuk Dimas.Sudah tiga hari berlalu sejak Sinta menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada laporan polisi, dan yang paling mengganggu: tidak ada yang mengingat keberadaan Sinta dengan pasti. Data dirinya seperti menguap. Beberapa orang bahkan bertanya, “Sinta siapa ya?”Dimas tahu dia tidak gila.Ia melihat sendiri wajah Sinta. Mendengar ceritanya. Membaca arsip dengan tangan sendiri. Tapi kini, semua itu seperti ilusi.Dan pagi itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Di papan shift ruan

    Last Updated : 2025-04-10
  • lantai tiga belas   lorong tak berujung

    Dimas tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam.Lorong lantai tiga belas itu... tidak seperti lantai biasa. Panjangnya tidak masuk akal. Saat ia berjalan, langkahnya menggema, tapi dinding tak pernah mendekat. Setiap beberapa meter, cahaya lampu di atas berkedip—ritmis, seakan berdetak.Detak… yang perlahan menyerupai suara jantung. Bukan jantungnya.Seseorang… atau sesuatu… sedang hidup di lorong ini.Ia menoleh ke belakang—pintu masuk telah menghilang. Dinding di belakangnya kini menyatu seperti tak pernah ada pintu di sana.“Tenang... tenang... ini cuma... bangunan tua…” gumam Dimas, mencoba menenangkan diri.Tapi jantungnya justru berdebar lebih keras saat terdengar suara lain… langkah kaki yang bukan miliknya. Berat, lambat, berulang.Dimas berhenti. Langkah itu juga berhenti.Ia mulai berlari.Dan di tengah lari itu, ia melihatnya—ruang 1313.Pintu itu terbuka sedikit.Lampu di dalamnya berpendar merah. Tapi kali ini, ada suara dari dalam. Bukan jeritan. Bukan tawa.Doa.Se

    Last Updated : 2025-04-10

Latest chapter

  • lantai tiga belas   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

  • lantai tiga belas   Tak Ada Jalan Keluar

    Sinta membuka mata di tengah malam, keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Mesin infus berdetak pelan, namun suara detaknya kini terdengar seperti gema dalam lorong panjang. Lampu di pojok ruangan mulai berkedip. Tik... tik... tik... klik... klik... klik... Sinta menoleh ke arah jendela. Tirai putih tipis itu bergerak pelan, meski semua jendela tertutup. Dan di balik tirai—bayangan itu masih berdiri. Tapi kali ini lebih dekat. Matanya menyala merah samar, rahangnya menganga seolah mengucap sesuatu... tapi tak ada suara. Sinta menjerit. Namun suaranya nyaris tak terdengar. Tenggorokannya kering. Ia menekan tombol darurat di samping tempat tidur, namun lampu tombol itu mati. Tak ada bunyi alarm. “Tolong...” bisiknya lirih. Bayangan itu mulai masuk menembus kaca jendela—menyatu dengan udara, merambat seperti kabut hitam yang menjalar ke dinding ruangan. Aroma anyir darah kembali menyeruak. Sinta menggigil. Tangan gemetar, ia b

  • lantai tiga belas   Lari Atau Mati

    Sinta memejamkan mata erat, menanti ajal yang rasanya hanya tinggal sehelai napas lagi. Tapi... detik-detik berlalu, dan tidak ada yang menyentuhnya. Suara desis aneh terdengar. "Krrraakk... kkkhhrrhh..." Diiringi dengan bau amis menyengat. Sinta membuka mata sedikit... makhluk itu berdiri hanya sejengkal darinya. Nafasnya berat, terdengar seperti logam berkarat yang bergesekan. Wajahnya begitu dekat hingga Sinta bisa melihat larva-larva kecil merayap di dalam rongga matanya yang kosong. Tiba-tiba, dari arah samping, sebatang kayu besar menghantam kepala makhluk itu. “JANGAAAN SENTUH DIA!!” Suara itu... Ardi?! Sinta melirik, dan benar—Ardi muncul entah dari mana, tubuhnya penuh luka, bajunya berlumur darah, tapi matanya menyala dengan semangat bertahan hidup. Ia menyeret Sinta bangun, tangan gemetaran namun kuat. “Lari, Sint! Jangan lihat ke belakang!” Mereka berlari menuruni halaman menuju sisi gelap gedung yang belum runtuh. Di belakang, suara geraman dan teriakan makhluk-mak

  • lantai tiga belas   Pintu Neraka Terbuka

    Lorong itu gemetar. Dari balik retakan-retakan di dinding, suara jeritan bergema. Seperti ada ratusan suara menyatu, menangis, tertawa, dan merintih dalam nada sumbang. Reza menggandeng Sinta yang setengah sadar, sementara Dimas masih memegangi kitab tua yang mulai terbakar di sudut-sudutnya. > “Mereka datang!” jerit Sinta tiba-tiba. “Mereka semua sudah keluar!!” Dari balik cermin, dari lantai yang merekah, dan dari dinding yang berdenyut seperti daging hidup—mahluk-mahluk itu muncul. Sosok-sosok berkulit gosong, dengan wajah setengah terbakar dan tubuh cacat. Tangan mereka panjang tak wajar, ujungnya seperti paku berkarat. Tanpa aba-aba, mereka menyerang. Salah satu dari mereka mencengkeram tubuh Reza dan melemparkannya ke udara. Tubuhnya membentur dinding beton dengan suara “krek” mengerikan. Darah menyiprat. Tulang bahunya keluar dari posisi. Tapi belum sempat Reza bangkit, satu sosok dengan wajah bolong mendarat di atas tubuhnya. Mahluk itu mencabut sebatang besi panja

  • lantai tiga belas   Yang Ikut Kembali

    Angin malam menggoyangkan tirai tipis di jendela rumah Reza. Tapi malam ini berbeda. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Waktu seakan berhenti. Dimas duduk membelakangi mereka di sudut ruangan, matanya tak berkedip, menatap ke arah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. > “Mas Dimas, kenapa kamu liatin situ terus?” tanya Sinta pelan. Dimas tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, pelipisnya basah oleh keringat dingin. > “Dia berdiri di sana... persis di balik pintu itu. Jangan bergerak,” bisiknya. Reza menelan ludah, perlahan menoleh. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya gelap yang menganga. Tapi aroma... seperti daging busuk terbakar mulai memenuhi udara. Sinta memegangi dadanya. “Mas... aku ngerasa sesak... kayak ada yang duduk di dadaku...” > “Itu dia,” ujar Dimas. “Makhluk yang ikut. Dia menempel di kamu, Sin.” Tiba-tiba terdengar ketukan—tiga kali. Tapi bukan dari pintu depan. Ketukan itu berasal dari dalam lemari kamar. Pelan... teratur... seperti seseorang meminta dibukakan

  • lantai tiga belas   Bayangan dari Lorong Terakhir

    Hujan rintik jatuh sejak subuh, seolah langit pun ikut berkabung. Reza berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar. Sementara itu, Sinta duduk di lantai kamar, memandangi buku tua yang semalam menuliskan pesan Dimas. Halaman terakhir kini kosong, namun aroma aneh masih menempel di setiap helainya.> “Aku gak bisa duduk diam, Za. Dimas… dia masih di sana,” bisik Sinta pelan, tapi mantap.Reza menggeleng, napasnya berat.> “Gak ada cara, Sin. Lantai 13 itu… udah nutup pintunya sejak kita keluar. Bahkan polisi pun nyerah.”> “Buku ini nggak kosong waktu aku buka semalam. Ada peta, Za. Dan pintunya masih ada. Aku ngerasa… dia belum sepenuhnya hilang.”Reza akhirnya menyerah. Ia tahu tatapan Sinta bukan main-main. Dia juga tahu, Sinta bukan gadis yang gampang menyerah. Maka malam itu juga, mereka kembali menyusuri lorong menuju gedung tua—tempat yang seharusnya mereka jauhi selamanya.---Gedung Kosong. Malam Hari.Lantai demi lantai mereka lewati. Lantai 12 sepi, tapi hawa dingin mul

  • lantai tiga belas   Korban Terakhir

    Langit pagi itu mendung. Kabut turun tipis menyelimuti halaman rumah Reza, menyisakan udara dingin yang menusuk sampai ke tulang. Sinta duduk di tangga depan, matanya sembab, rambutnya kusut, dan tangan masih memegang liontin yang diberikan Dimas—liontin yang dulunya selalu ia anggap hanya sebagai hiasan.Reza berdiri di belakangnya, diam. Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Ia tahu apa yang terjadi semalam bukan mimpi. Dimas... tidak keluar bersama mereka dari lantai tiga belas. Ia tetap di sana—di antara lorong-lorong waktu dan kegelapan.> “Kenapa dia gak ikut kita, Za?” tanya Sinta, suaranya serak. “Dia... bilang cuma sebentar. Tapi... dia gak muncul lagi.”Reza menghela napas panjang. “Dia nutup pintunya, Sin... dari dalam. Dia gak mau kalian ditarik lagi.”Sinta memeluk lututnya, tubuhnya gemetar. “Aku dengar suaranya... saat kita keluar. Dia bilang... ‘Jangan balik lagi.’ Lalu... suara itu... jeritan...” Air matanya jatuh, tanpa bisa ditahan.Reza menatap jauh ke arah bukit

  • lantai tiga belas   TUMBAL TERAKHIR

    Langit malam itu berubah aneh. Awan menggulung seperti asap hitam, membentuk pusaran tepat di atas rumah sakit tua. Petir menyambar tanpa suara. Di kejauhan, warga kampung mulai merasa gelisah, beberapa mengaku mendengar tangisan dari arah bukit meski tak ada seorang pun di sana. Sementara itu, Reza, yang sejak tadi terus mencari Sinta bersama Bu Darmi, tiba-tiba pingsan saat melintasi sumur tua yang katanya sudah ditutup rapat. Saat sadar, ia melihat dirinya berada di dalam ruangan gelap... dan di hadapannya berdiri sosok Dimas, atau sesuatu yang menyerupainya, dengan senyum ganjil menempel di wajahnya. > “Kau harus menebus kesalahan mereka… Reza. Kau adalah satu-satunya yang tersisa dari malam itu.” Reza bingung. Malam itu? Apa maksudnya? Tapi tak sempat berpikir, sosok Dimas lenyap, digantikan oleh puluhan tangan keluar dari lantai, mencoba menariknya masuk. Di tempat lain, Bu Darmi menyadari sesuatu. Ia membuka kembali kitab tua warisan leluhur kampung. Tertulis di sana, bahwa

  • lantai tiga belas   Tanda dari Neraka

    Tiga hari sudah berlalu sejak Sinta ditemukan tak sadarkan diri di depan rumah sakit tua itu. Ia kini terbaring di kamarnya, tubuhnya lemah, tapi pikirannya terus dihantui oleh wajah Dimas—dan ruangan operasi penuh darah itu. Namun yang paling mengganggu bukan hanya mimpi buruknya. Melainkan bekas luka di lengannya—berbentuk lingkaran kecil dengan garis memanjang ke bawah, seperti simbol kuno. Sinta yakin... itu bukan luka biasa. Itu tanda dari dunia lain. Di luar, hujan turun deras. Petir menyambar sesekali, membuat malam seperti siang. “Kenapa aku... selamat?” gumam Sinta lirih. Ia membuka buku catatannya. Di sana ia tulis ulang semua yang ia ingat: lorong gelap, lantai 13, makhluk aneh, dan... Dimas. Tapi setiap menulis nama itu, pensilnya patah, atau tintanya luntur sendiri. Seolah ada yang tak ingin nama itu ditulis. Tiba-tiba... lampu kamarnya mati. CRAKK! Suara dari atap. Langkah kaki. Berat. Pelan. Seperti diseret. Sinta menahan napas. Ia mengambil ponselnya—yang kini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status