Beranda / Horor / lantai tiga belas / nama yang hilang dari arsip

Share

nama yang hilang dari arsip

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-10 17:30:02

Pagi itu, Sinta berdiri di depan ruang administrasi lama Rumah Sakit Kartika, tangannya gemetar saat memutar kunci lemari arsip yang sudah berkarat. Setelah kejadian semalam, ia tahu satu hal: semua ini tidak normal. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa yang ia alami hanya mimpi atau akibat kelelahan.

Ia butuh jawaban.

Dan satu-satunya tempat yang mungkin menyimpannya… adalah di arsip lama, tempat catatan pasien dari puluhan tahun lalu disimpan.

Lemari tua itu berderit saat dibuka. Bau lembab dan kertas berjamur langsung memenuhi hidung. Lampu neon di ruangan itu berkedip lemah, seperti enggan menyala terang. Di dalam lemari, ratusan map tersusun tak teratur, sebagian sudah menguning dan rapuh.

Sinta mulai menelusuri satu per satu, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa memberinya petunjuk tentang lantai tiga belas.

Ia bahkan tak yakin lantai itu pernah benar-benar eksis di cetak biru rumah sakit. Tapi malam itu, ia berdiri di depan pintunya sendiri. Tangannya menyentuh rel tangga yang dingin, kakinya menapak lantai berdebu yang tak pernah dibersihkan.

Pasti ada catatannya. Pasti.

“Maaf, Mbak Sinta?” suara pelan mengejutkannya. Seorang pria muda berseragam putih berdiri di ambang pintu. “Saya Dimas, anak magang bagian data. Denger-denger Mbak nyari arsip pasien lama?”

Sinta mengangguk cepat. “Iya. Aku… aku mau cari tahu tentang kejadian di lantai atas. Pernah nggak ada bangsal rawat inap atau pasien yang dirawat di lantai 13?”

Dimas tertawa kecil. “Lantai tiga belas? Rumah sakit ini cuma sampai lantai dua belas, Mbak. Kalau yang atas itu, dulu ruang penyimpanan doang. Tapi itu pun udah ditutup sejak belasan tahun lalu.”

“Tapi... aku pernah ke sana. Malam-malam. Tangga daruratnya… aku lihat sendiri. Ada plang: Lantai 13 – Dilarang Masuk.”

Wajah Dimas berubah. Tawa kecilnya lenyap.

Dia menunduk, lalu berjalan pelan ke salah satu laci yang terkunci dengan gembok kecil. Ia merogoh saku, mengeluarkan kunci kecil yang sudah mulai karatan. “Mbak Sinta,” katanya pelan, “ada satu file. Tapi kami dilarang buka. Dulu waktu saya bantu bersih-bersih bareng bagian IT lama, saya lihat sekilas. Ada satu pasien… namanya aneh. Dan bagian ruang rawatnya ditulis tangan, bukan ketik.”

Sinta mengerutkan dahi. “Ditulis tangan?”

Dimas mengangguk. Ia menarik satu map lusuh berwarna abu-abu tua. Di sudut kanan atas, label putih bertuliskan:

NAMA PASIEN: —————

Kosong.

Hanya garis panjang, seperti seseorang sengaja menghapus nama itu.

Di bawahnya:

RUANG RAWAT: 1313

TANGGAL MASUK: 13 OKTOBER 1998

KETERANGAN: ——————

STATUS: MENINGGAL (TIDAK DILAPORKAN)

Sinta membaca pelan, matanya melebar. “Siapa yang menyimpan ini?”

Dimas hanya mengangkat bahu. “Nggak ada yang tahu. Tapi sejak arsip ini ditemukan lagi tahun lalu, beberapa perawat sering mimpi buruk. Ada yang ngeluh merasa diikuti. Ada juga yang... keluar tanpa alasan.”

Sinta membalik halaman map. Ada foto lama—buram, hitam putih. Sosok perempuan berambut panjang, berdiri di lorong rumah sakit. Tidak ada keterangan nama, hanya coretan tangan:

“Dia masih di sana. Menunggu.”

Sinta mematung.

Perempuan itu...

Itu wajahnya sendiri.

---

Hari itu, Sinta tak berkata apa-apa kepada siapa pun. Ia membawa fotokopi arsip itu ke kamarnya, menyimpannya di bawah tumpukan baju. Malam harinya, ia kembali ke ruang jaga. Tapi kini, ia tak sekadar takut. Ia siap.

Tepat pukul 12 malam, telepon kembali berdering.

Ia angkat tanpa ragu.

“Sinta,” suara perempuan. “Sudah waktunya pulang.”

Klik.

Seketika, semua lampu di lantai 6 padam.

Monitor pasien berderit. Suara mesin EKG berubah jadi detak tak beraturan. Lorong berubah gelap, hanya diterangi cahaya merah dari lampu darurat.

Sinta berdiri.

Langkahnya pelan tapi mantap menuju tangga darurat.

Pintu besi berat itu membuka sendiri.

Tangga itu sudah menunggunya.

Satu anak tangga. Dua. Tiga.

Ia tak lagi takut.

Ia tahu, apa pun yang menunggunya di lantai tiga belas… bukan hanya ingin menakutinya.

Ia menginginkannya kembali.

Sampai di puncak, pintu itu berdiri. Besi tua, penuh karat. Dan coretan di atasnya, yang semula samar, kini terbaca jelas:

“Selamat datang kembali, Sinta. Lantai tiga belas merindukanmu.”

Ia dorong pintu itu.

Udara lembab menyergap. Cahaya remang. Lorong panjang dengan pintu-pintu kamar rawat. Tapi semuanya kosong.

Semua... kecuali satu.

Ruang 1313.

Pintu itu terbuka perlahan. Tanpa suara.

Dan di dalamnya...

Ada ranjang rumah sakit. Seprei putih. Dan tubuh seseorang... berbaring, diam.

Sinta mendekat, jantungnya berdetak begitu keras hingga ia nyaris tak bisa mendengar apa pun.

Saat ia lihat wajah orang itu—

Ia tak bisa menahan jeritannya.

Itu dirinya sendiri. Tapi tua. Pucat. Dengan tatapan kosong.

Tubuh di ranjang itu bergerak pelan. Mata itu terbuka. Dan bibirnya bergumam:

“Terima kasih sudah kembali. Sekarang... giliranmu menggantikan aku.”

Sinta mencoba mundur—tapi tubuhnya tak bisa digerakkan.

Bayangan di cermin ruangan mulai bergeser. Ia melihat dirinya berdiri, tubuhnya utuh… tapi bayangannya tidak mengikuti.

Bayangan itu tersenyum. Mengangguk.

Lalu melangkah keluar cermin, meninggalkannya di dalam.

Gelap.

---

Keesokan paginya, perawat jaga malam kebingungan karena Sinta tidak muncul untuk shift pagi.

Ruangannya kosong.

Tasnya masih ada.

Tapi tak ada jejak ke mana ia pergi.

Dan yang lebih aneh lagi...

Saat salah satu staf melewati tangga darurat, ia menemukan secarik kertas di lantai.

Dengan tulisan tangan:

“Giliranku selesai. Sekarang aku bagian dari lantai tiga belas.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • lantai tiga belas   Dunia Mereka

    Langit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>

  • lantai tiga belas   Dunia yang Terlupakan

    Langit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore

  • lantai tiga belas   Menembus Kegelapan

    Pintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang

  • lantai tiga belas   Kamar Tujuh Belas

    Petir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun

  • lantai tiga belas   Panggilan dari Bawah

    Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko

  • lantai tiga belas   Luka yang Belum Kering

    Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status