Sejak kejadian malam itu, Sinta tak pernah benar-benar merasa bangun. Setiap langkahnya di lorong rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang berkepanjangan—sunyi, dingin, dan berat. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi di lantai tiga belas hanyalah halusinasi akibat kelelahan. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, secarik kertas bernoda darah yang kini tersembunyi di buku catatannya terus mengingatkannya: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali."
Malam berikutnya, ia kembali mendapat shift jaga malam. “Sinta,” suara Bu Rini terdengar biasa saja, seperti tak ada yang terjadi, “malam ini kamu jagain ruang perawatan kelas 1, ya. Pasiennya cuma dua orang. Gampang. Tapi jangan suka jalan-jalan ke lantai lain sendirian, apalagi ke atas. Sudah saya bilang dari awal.” Sinta hanya mengangguk pelan. Ia tahu Bu Rini tidak mempercayai ceritanya. Bahkan mungkin menganggapnya mulai stres. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia benar-benar naik ke lantai itu? Bahwa ia melihat dirinya sendiri berdarah-darah? Dan bagaimana dengan suara telepon itu? Lorong menuju ruang perawatan kelas 1 sepi sekali. Lampu di beberapa titik berkedip pelan. Suara mesin oksigen terdengar samar dari balik pintu kamar. Ia membuka buku catatan pasien, lalu mencatat kondisi terakhir dua pasien yang ada. Semuanya stabil. Jam dinding menunjukkan pukul 11.45 malam. Ia duduk di kursi depan pintu kamar 107, membaca-baca laporan lama untuk mengisi waktu. Suara jam berdetak pelan. Nyaris tak ada bunyi lain, kecuali... ketukan. Pelan. Tiga kali. Tok. Tok. Tok. Sinta menoleh. Ketukan itu berasal dari ujung lorong. Tapi tak ada siapa-siapa. Ia berdiri perlahan, jantungnya berdetak lebih cepat. Lorong itu seharusnya ditutup untuk renovasi. Tapi pintu kayu penghalangnya kini sedikit terbuka. Tok. Tok. Tok. Kali ini lebih keras. Seolah memanggilnya. Melawan logika, Sinta melangkah mendekat. Sepatu karetnya menimbulkan suara cekikik lembut di lantai keramik yang mulai retak di beberapa bagian. Di balik pintu kayu itu adalah koridor tua yang jarang digunakan. Lantai 6 ini dulunya bagian dari bangsal khusus yang sudah tak difungsikan. Lorongnya gelap. Tapi di ujung lorong, ada sesuatu. Jejak kaki. Jejak darah. Setiap jejak mengarah ke satu pintu: Ruang 613. Pintu itu setengah terbuka. Sinta mendekat, menelan ludah. Tangannya bergetar saat menyentuh gagang pintu yang dingin. Ia mendorong pelan. Ruangan itu kosong. Tapi... bukan benar-benar kosong. Di lantai, ada kursi roda tua, terbalik, rodanya masih berputar pelan. Di dinding... terukir dengan benda tajam, kata yang membuat napas Sinta tercekat. SINTA Namanya. Terukir besar, dalam, dan masih basah dengan darah segar. Ia mundur pelan. Tapi saat membalikkan badan... Di ujung lorong, seorang perempuan berdiri. Pakaian perawat. Rambut panjang menjuntai menutupi wajah. Tubuhnya menunduk, dan darah menetes dari jari-jarinya yang gemetar. Sinta membeku. Perempuan itu perlahan mengangkat wajahnya—dan di balik rambut itu, bukan wajah lain... Tapi wajah Sinta sendiri. Wajah yang pucat. Bola mata hitam legam. Bibir biru keunguan. Mulutnya membuka sedikit, dan dari sana keluar suara serak yang tak asing. “Kenapa kamu kembali...” Sinta berlari. Tubuhnya seperti melayang, langkahnya tercekat, napasnya memburu. Ia berlari melewati lorong, melewati jejak darah, melewati pintu kayu yang hampir tertutup sendiri. Braak! Ia nyaris terjatuh saat pintu itu menutup di belakangnya. Ia bersandar di dinding, mencoba mengatur napas, tapi jantungnya masih berdetak tak karuan. Dan saat ia pikir semuanya sudah selesai... Telepon di pos perawat berdering. Tring… Tring… Sinta menatapnya seperti menatap binatang buas. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gagang. “Halo...?” Hening. Lalu terdengar napas. Berat. Lalu... suara seorang pria. “Kau membuka lorong yang seharusnya tetap tertutup... Sinta... Sekarang dia mencarimu.” Klik. Sinta menjatuhkan gagang telepon. Suaranya terpantul di dinding lorong yang kosong. Ia memegang kepala, mencoba berpikir jernih. Siapa "dia"? Kenapa semua ini terjadi padanya? Langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Cepat. Teratur. Sinta berlari menuju tangga darurat, menuruni anak-anak tangga tanpa pikir panjang. Tapi... sesuatu terasa aneh. Tangga itu... tak berujung. Ia menuruni tangga darurat selama hampir dua menit, tapi tak pernah sampai ke lantai bawah. Hanya ada tanda bertuliskan: LANTAI 13 Dilarang masuk Mata Sinta membelalak. Ia baru sadar. Ia telah diputar kembali. Ia terperangkap. Lampu tangga padam seketika. Dan dalam kegelapan itu, suara langkah semakin dekat. Ada napas di belakangnya. Dingin. Basah. Busuk. Sinta berteriak. --- Ia terbangun di ruang perawatan pagi harinya. Dokter jaga dan dua perawat berdiri di samping ranjangnya. “Kamu pingsan di tangga darurat,” kata mereka. “Kamu mengigau... bilang lantai tiga belas. Kami nggak ngerti.” Sinta duduk. Tubuhnya gemetar. Ia melihat ke meja samping tempat tidur. Ada secarik kertas. Tulisannya berubah. Kali ini, lebih jelas. “Selamat datang kembali. Kamu masih belum bisa pergi.” ---Cakar logam Dr. Mardika menghantam dinding, menciptakan percikan api dan debu beterbangan. Fara mendorong Sinta dan Hilda ke sisi lain lorong, mencari tempat berlindung. Nafas mereka memburu, keringat dan darah bercampur di wajah masing-masing. “Terus lari!” teriak Fara, meski lututnya hampir goyah. Tapi makhluk itu lebih cepat. Dr. Mardika melompat di dinding seperti laba-laba, berputar dan mendarat tepat di depan mereka. Wajahnya mengelupas, menampakkan tengkorak yang masih menyala dengan urat-urat mesin menyembul keluar. > “Kalian pikir bisa mematikan semua ini begitu saja?” suaranya terdengar dari berbagai speaker di sepanjang lorong, menggema seperti mimpi buruk. Lampu emergency di atas mulai padam satu per satu, menciptakan bayangan panjang dan pekat yang menggerayangi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara anak-anak terdengar lagi—kali ini bukan tangis... tapi nyanyian lirih. Nyanyian itu seolah mantra yang membekukan udara. Sinta memeluk Hilda lebih erat, merasakan haw
Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang
Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r
Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan
Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa
Fara mundur beberapa langkah, tubuhnya membeku di ambang pintu. Suara tawa itu makin keras, menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Tawa yang dulu sering ia dengar di balik pintu ruang kerja sang ayah — namun saat itu ia pikir hanya bagian dari stres kerja.Sinta menggenggam tangannya. “Fara… kita harus pergi. Sekarang!”Namun sebelum sempat bergerak, dinding ruang operasi mulai berubah. Gambar-gambar samar bermunculan — rekaman masa lalu, seperti proyeksi kabut. Fara melihat ayahnya... Dr. Mardika, mengenakan jas lab putih, sedang berdiri di tengah ruangan itu, bersama seorang gadis kecil — Hilda.“Percobaan ini akan menyelamatkan banyak nyawa,” suara Dr. Mardika terdengar berat, dingin. “Tapi kau harus kuat, Hilda.”Gadis kecil itu menangis, tubuhnya diikat ke meja operasi. Di sekeliling mereka, alat-alat medis kuno, jarum besar, dan larutan kimia tak dikenal.Fara menutup mulutnya, ngeri. “Tidak… Ayah… apa yang kau lakukan…”Bayangan itu berlanjut. Hilda berteriak, darah berceceran,