Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.
Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin. Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup. Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar... Ia bukan satu-satunya yang ada di sini. Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin. Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain. Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang tak berdasar. “Siapa kamu?” teriak Sinta, suaranya serak. Makhluk itu tidak menjawab. Tapi mulutnya bergerak… menirukan gerakan bibir Sinta… tanpa suara. Kemudian semua cermin retak bersamaan. CRAAACKK! Potongan-potongan cermin terlempar ke udara. Sinta menjerit, melindungi wajahnya, tapi tak ada yang melukainya. Saat ia membuka mata, ia sudah berada di tempat lain. Lorong rumah sakit. Tapi kali ini, semua cahaya mati. Hanya senter di dinding yang menyala merah samar, seperti penanda keadaan darurat. Langkahnya gemetar saat menyusuri lorong itu. Ia mendengar suara—langkah kaki kecil berlari, seperti anak kecil. Lalu suara seseorang tertawa lirih, perempuan. Diikuti bisikan: “Sinta… Sinta… kamu masih hidup?” Ia menoleh ke kanan, ke salah satu pintu ruang perawatan. 1314. Ruang itu terbuka sendiri, perlahan. Sinta memaksa dirinya mendekat, menahan napas, lalu mengintip ke dalam. Kosong. Hanya ada ranjang tua dan… kursi roda yang terbalik. Tapi saat ia hendak mundur, pintu di belakangnya tertutup keras. DUAARR! Sinta terkunci di dalam. Lampu padam total. Kegelapan menyergapnya seketika. Dan dalam kegelapan itu, terdengar suara napas. Berat. Panjang. Dari sudut ruangan. Bersamaan dengan suara roda berderit—kursi roda itu bergerak sendiri. Sinta meraba-raba dinding mencari saklar, tapi tak ada. Lalu suara itu berkata, dalam bisikan pelan tapi jelas: “Kamu nggak seharusnya kembali, Sinta…” Suara perempuan. Tapi dalam, retak, seperti pita suaranya sudah hancur. Tiba-tiba—cahaya menyala. Dan kursi roda itu tak lagi kosong. Ada sesosok tubuh duduk di sana. Wajahnya ditutupi kain kasa kotor, dan darah menetes dari bawah dagunya. Tubuh itu perlahan berdiri, lalu mulai mendekat… satu langkah… dua langkah… Sinta memundurkan tubuhnya sampai ke pojok ruangan. Tak ada jalan keluar. Napasnya memburu. Sosok itu berdiri tepat di depannya, lalu menyentuh dagu Sinta dengan jari dingin seperti es. “Kamu adalah aku. Aku yang dibuang. Dan sekarang… kita akan jadi satu.” --- Sementara itu, di dunia nyata… Perawat Nia, teman satu shift Sinta, heran karena Sinta belum juga kembali bekerja. Kamar kosnya kosong. Tapi yang lebih aneh, file kepegawaian Sinta… menghilang. Tak hanya hilang dari komputer, tapi juga dari catatan cetak manual. Semua orang mulai mempertanyakan: apakah Sinta benar-benar pernah bekerja di sana? Hanya Dimas yang ingat, dan ia menyimpan fotokopi arsip misterius itu dengan baik. Tapi ketika ia membuka lacinya… kertas itu berubah. Tulisan tangan di atasnya kini berbunyi: “Arsip tidak tersedia. Pasien telah kembali.” --- Di dalam ruang cermin, Sinta berteriak. Tubuhnya diserap perlahan ke dalam cermin kedua—yang kini bersinar merah darah. Cermin itu retak kembali, tapi tak hancur. Dan di permukaannya… terlihat wajah Sinta yang baru. Senyum lebar. Mata kosong. Ia melangkah keluar dari cermin, kini bukan lagi korban. Melainkan penjaga baru lantai tiga belas. ---Langit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>
Langit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore
Pintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang
Petir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun
Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko
Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men