Home / Horor / lantai tiga belas / cermin ke dua

Share

cermin ke dua

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-10 17:33:35

Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.

Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin.

Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup.

Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar...

Ia bukan satu-satunya yang ada di sini.

Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin.

Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain.

Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang tak berdasar.

“Siapa kamu?” teriak Sinta, suaranya serak.

Makhluk itu tidak menjawab. Tapi mulutnya bergerak… menirukan gerakan bibir Sinta… tanpa suara.

Kemudian semua cermin retak bersamaan.

CRAAACKK!

Potongan-potongan cermin terlempar ke udara. Sinta menjerit, melindungi wajahnya, tapi tak ada yang melukainya.

Saat ia membuka mata, ia sudah berada di tempat lain.

Lorong rumah sakit.

Tapi kali ini, semua cahaya mati. Hanya senter di dinding yang menyala merah samar, seperti penanda keadaan darurat.

Langkahnya gemetar saat menyusuri lorong itu. Ia mendengar suara—langkah kaki kecil berlari, seperti anak kecil. Lalu suara seseorang tertawa lirih, perempuan. Diikuti bisikan: “Sinta… Sinta… kamu masih hidup?”

Ia menoleh ke kanan, ke salah satu pintu ruang perawatan.

1314.

Ruang itu terbuka sendiri, perlahan.

Sinta memaksa dirinya mendekat, menahan napas, lalu mengintip ke dalam.

Kosong.

Hanya ada ranjang tua dan… kursi roda yang terbalik.

Tapi saat ia hendak mundur, pintu di belakangnya tertutup keras.

DUAARR!

Sinta terkunci di dalam. Lampu padam total. Kegelapan menyergapnya seketika.

Dan dalam kegelapan itu, terdengar suara napas. Berat. Panjang. Dari sudut ruangan.

Bersamaan dengan suara roda berderit—kursi roda itu bergerak sendiri.

Sinta meraba-raba dinding mencari saklar, tapi tak ada.

Lalu suara itu berkata, dalam bisikan pelan tapi jelas:

“Kamu nggak seharusnya kembali, Sinta…”

Suara perempuan. Tapi dalam, retak, seperti pita suaranya sudah hancur.

Tiba-tiba—cahaya menyala.

Dan kursi roda itu tak lagi kosong.

Ada sesosok tubuh duduk di sana. Wajahnya ditutupi kain kasa kotor, dan darah menetes dari bawah dagunya.

Tubuh itu perlahan berdiri, lalu mulai mendekat… satu langkah… dua langkah…

Sinta memundurkan tubuhnya sampai ke pojok ruangan. Tak ada jalan keluar. Napasnya memburu.

Sosok itu berdiri tepat di depannya, lalu menyentuh dagu Sinta dengan jari dingin seperti es.

“Kamu adalah aku. Aku yang dibuang. Dan sekarang… kita akan jadi satu.”

---

Sementara itu, di dunia nyata…

Perawat Nia, teman satu shift Sinta, heran karena Sinta belum juga kembali bekerja. Kamar kosnya kosong. Tapi yang lebih aneh, file kepegawaian Sinta… menghilang.

Tak hanya hilang dari komputer, tapi juga dari catatan cetak manual.

Semua orang mulai mempertanyakan: apakah Sinta benar-benar pernah bekerja di sana?

Hanya Dimas yang ingat, dan ia menyimpan fotokopi arsip misterius itu dengan baik. Tapi ketika ia membuka lacinya… kertas itu berubah.

Tulisan tangan di atasnya kini berbunyi:

“Arsip tidak tersedia. Pasien telah kembali.”

---

Di dalam ruang cermin, Sinta berteriak. Tubuhnya diserap perlahan ke dalam cermin kedua—yang kini bersinar merah darah.

Cermin itu retak kembali, tapi tak hancur. Dan di permukaannya… terlihat wajah Sinta yang baru.

Senyum lebar. Mata kosong.

Ia melangkah keluar dari cermin, kini bukan lagi korban.

Melainkan penjaga baru lantai tiga belas.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • lantai tiga belas   Bayangan di Balik Pintu

    Setelah kejadian malam itu, Sinta dan Fara terus mencoba mencari jawaban di balik misteri rumah sakit tua itu. Meski sudah berjanji untuk menjaga rahasia lantai 13, rasa penasaran menggerogoti mereka perlahan.Di suatu sore yang kelabu, Fara kembali ke ruang kendali. Monitor-monitor di sana masih menyala samar, meski listrik sudah stabil. Ada satu layar yang tak pernah mati — menampilkan pintu terkunci dengan kode keamanan yang rumit.Sinta berdiri di sampingnya, menggenggam buku catatannya erat.“Jika kita bisa membuka pintu ini, mungkin kita bisa mengakhiri semuanya,” kata Fara penuh tekad.Namun, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik dinding:> “Jangan buka... jangan buka...”Keduanya menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.Jantung mereka berdetak makin cepat.“Ini belum selesai,” bisik Sinta.Dan bayangan di balik pintu itu, seakan menunggu mereka untuk datang kembali.Fara menatap layar yang menampilkan pintu besi besar dengan lampu indikator merah menyala. Kode akses yang mun

  • lantai tiga belas   Koridor Tanpa Jalan Pulang

    Cakar logam Dr. Mardika menghantam dinding, menciptakan percikan api dan debu beterbangan. Fara mendorong Sinta dan Hilda ke sisi lain lorong, mencari tempat berlindung. Nafas mereka memburu, keringat dan darah bercampur di wajah masing-masing. “Terus lari!” teriak Fara, meski lututnya hampir goyah. Tapi makhluk itu lebih cepat. Dr. Mardika melompat di dinding seperti laba-laba, berputar dan mendarat tepat di depan mereka. Wajahnya mengelupas, menampakkan tengkorak yang masih menyala dengan urat-urat mesin menyembul keluar. > “Kalian pikir bisa mematikan semua ini begitu saja?” suaranya terdengar dari berbagai speaker di sepanjang lorong, menggema seperti mimpi buruk. Lampu emergency di atas mulai padam satu per satu, menciptakan bayangan panjang dan pekat yang menggerayangi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara anak-anak terdengar lagi—kali ini bukan tangis... tapi nyanyian lirih. Nyanyian itu seolah mantra yang membekukan udara. Sinta memeluk Hilda lebih erat, merasakan haw

  • lantai tiga belas   Pengganti

    Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang

  • lantai tiga belas   Keluar, Tapi Tidak Lepas

    Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r

  • lantai tiga belas   Tawaran Terakhir

    Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan

  • lantai tiga belas   Tukar Nyawa

    Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status