Udara malam yang menusuk tulang , semakin membuat ngilu persendian nur. Awalnya, dia masih bisa sedikit menahan, namun, kediaman Hani tidak hanya menusuk tulang belaka, melain kan juga dasar hati nur yang sempat sedikit berbunga.
"Mbak? Jadi benar? Bukan Gus Naufal kan?" nur mengulangi nya lagi karenna lekas tak ada gerak bibir dari wanita yang bergeming itu. Perempuan itu terlihat tegang dan tangan nya tak berhenti mencengkram sarung batik nya. Wajah nya kentara sekali menyiratkan keraguan.nur rasa dia sudah tau jawaban nya. Segera ia berbalik lagi untuk merapikan pekerjaan yang sempat tertunda. Dia tak boleh terlihat marah, apalagi sampai membuat perempuan itu gemetar. "Mbak Hani, besok Abah sama umi enak nya di masakin apa?"Tergagap, perempuan santun itu menjawab."belum tahu, neng.""Soto, gimana? Biar besok aku aja yang masak. Kamu masak buat lauk santri saja.""Nggeh, neng."nur membalikkan badannya kembali. Wanita cantik berusia 23 tahun itu menatap hangat wanita di depan nya, yang telah ikhlas mengabdi pada keluarga kyai cukup lama. nur sebenarnya juga abdi ndalem, khodimah seperti wanita di depan nya.Namun, karena dia seorang ustadzah yang cukup mumpuni, semua santri Wati segan pada keilmuan Nur, jarang sekali sesama khodimah berbicara kepada Nur layak nya seorang teman. Mereka sangat segan pada gadis bernama lengkap Zulaikha nuralifiyah sabbath."Kamu bisa ke kamar saja, saya sudah hampir selesai.""Nggeh, neng."*****Muhammad Naufal yusufEntah sudah berapa menit Naufal menghabiskan memandang dari jarak jauh ruangan istri nya itu. Bukan karena ia takut melangkah. Tetapi, dia takut kehadiran nya bisa membuat amarah rayyan meledak yang bisa berujung kesedihan Zahra."Mas."Seseorang menepuk lembut pundak Naufal. Segera, lelaki berjambang tipis dengan mata hazel nya berbalik, lalu menatap lelaki yang masih punya hubungan darah dengan nya."Adnan? Kamu di sini? Abah sama umi sama siapa?"Gus Adnan sedikit mengendur kan bahu. "Mbak Nur, biar balik dulu, sama kang Harun. Nanti mas pulang bareng saya saja."Secara kebetulan mata Gus naufal menangkap kehadiran kang Harun dari jarak jauh. Naufal yang paham dengan apa yang harus ia lakukan, segera mengambil kunci mobil dari saku baju nya."Ini. Terima kasih ya!" Ujar nya sambil mengulur kan kunci mobil.Gus Naufal kembali menatap nanar ruangan itu. Gus Adnan yang tak paham dengan duduk masalah mengajak Kaka nya untuk segera masuk."Ayo, mas!""nan, jangan dulu!"Gus Adnan berbalik dengan kening berkerut."Loh. Kenapa?"Gus Naufal diam seribu bahasa. Dia masih belum bisa menjelas kan ini semua pada adik nya untuk sekarang. Bagaimana reaksi sang adik bila mengetahui perasaan sebenarnya.Gus Adnan baru menyadari, bila banyak sudut sudut wajah kakak lelaki nya banyak lebam, dia semakin mendekat. Memastikan kebenaran apa yang barusan ia lihat. "Ini wajah mas Naufal kenapa? Habis di pukul mas?"Tangan Gus Naufal bergerak menyentuh pipinya. "Owh, ini habis jatuh. Nggak apa, tadi sudah di obatin sama nur."Ada sedikit rasa sesak yang tiba tiba muncul di hati Gus Adnan, mendengar pernyataan terakhir lelaki yang sudah sah menjadi suami dari wanita yang dahulu ia sering sebut dalam do'a nya. Mestinya, Gus Adnan tak berperilaku seperti ini. Harus nya ia bahagia, karena hubungan mereka mulai berkembang ke arah semesti nya.Namun, siapa yang bisa menyangkal, nyata nya rasa itu datang tiba tiba tanpa ada yang berharap kehadiran nya."Kamu pulang dulu saja, nan. Kasihan umi."Terlihat Gus Adnan ingin protes, namun segera Gus Naufal memberi alasan cepat."Kasihan umi sama Abah. Lagian kan, nggak boleh banyak banyak pengunjung."Gus Adnan memilih menuruti ucapan kakak lelaki nya itu. "Baiklah, nanti kalo ada apa apa, bisa telpon adik mu ini, mas."Gus Naufal mengangguk, mengiyakan saja.Beberapa kali dia hembuskan nafas besar usai kepergian adik nya. "Ini sudah resiko. Aku harus tetap kesana." Putus nya kemudian.*****Suara lemah ketukan pintu sama sekali tak terdengar ke dalam ruangan. Mungkin pikiran mereka sedang berpusat pada satu seseorang, yaitu Zahra. Naufal dari luar pintu hanya bisa diam seribu bahasa, lalu kemudian dia berusaha menjauh lagi."Sepertinya, belum tepat. " Gumam nya lirihZahra yang baru saja sadar, masih lemah. Dia hanya bisa berucap lirih, menanyakan keberadaan sang suami. "Mas Naufal , kemana pah?"Hatmajaya, berpaling ke arah anak lelaki nya yang berdiam diri mematung, menatap adik tunggal nya itu. Rizal menatap, seolah menunggu jawaban."Suami mu lagi perjalanan ke sini."Husna, ibu dari Zahra membenar kan ucapan putra nya. "Kakak mu benar, Mubarak lagi perjalanan. Dia habis ngajar tadi, jadi nggak bisa langsung ke sini. Istirahat saja dulu, kalau suami mu sudah datang, nanti mama bangunin." Dia menatap sang suami, lalu kembali menatap Zahra, mengulas senyum yang ia paksa. "Dia pasti datang, tenang lah sayang."Rayyan yang tak sanggup membayangkan tatapan penuh harap sang adik, memutus kan untuk keluar saja. Nyatanya, ayah rayyan sudah menghubungi adik Gus Naufal, tetapi sudah lama menunggu, batang hidung suami Zahra tak kunjung jua nampak."Shiittt! Brengsek Naufal!" Rayyan memukul keras tembok. Seolah hanya dengan itu, amarah nya sedikit berkurang. "Ini semua salah ku, aku lah yang memperkenal kan Zahra dengan Naufal. Ini semua salah ku." Rayyan bersandar pada tembok, lalu dengan erat kedua tangan nya mencengkeram erat rambut nya, dia begitu frustasi.Zahra adalah hidup nya. Zahra bagi rayyan kebanggaan keluarga. Dia sudah berjanji akan selalu berusaha membahagiakan Zahra. Bahkan, semisal tuhan memberikan lima nyawa sekalipun, maka rayyan rela memberikan semua nyawa nya demi kebahagiaan Zahra. Tapi kenyataan nya? Bahkan, untuk menjaga kebahagiaan Zahra saja dia tak dapat mempertahan kan nya.Cinta sang adik telah terbagi. Itu sudah melukai harga diri rayyan, lelaki dengan perawakan tinggi yang sangat menyayangi adik tunggal nya, mengerang frustasi.Udara malam di luar sangat kacau. Sekacau hati rayyan. "Bagaimana aku jelas kan ke Zahra? Bagaimana cara memberitahu kan nya?" Suara langkah kaki terdengar semakin dekat dengan pendengaran rayyan, lelaki bernama rayyan hatmajaya menengok ke asal suara. Dengan nafas yang memburu, dia segera menghampiri pemilik langkah lelaki itu.Rayyan mencengkram kerah baju Naufal. "Masih ada muka kau kesini?" Naufal terlihat mengatup kan bibir. Dia begitu terhenyak, melihat emosi rayyan yang menggebu gebu. "Kala tak ingat adik ku, ingin sekali aku membuat semua wajah mu lebam"Gus Naufal mengusap pundak rayyan. "Astaghfirullah, mas, sabar. Jangan tersulut emosi.""Kamu meminta ku istighfar, setelah apa yang kau lakukan pada adik ku? Bukan kah kau sudah berjanji akan selalu bahagia kan dia? Mana janji janji manis mu itu?" Rayyan melepas cengkraman nya. Dia berbalik memunggungi Gus Naufal. "Owhhh, apa ini cara mu bahagia kan adik ku? Dengan mendatang kan istri kedua saat adik ku sekarat?"Rayyan memiringkan kepala nya, lalu tersenyum miring. "Pergi lah, adik ku tak membutuh kan mu, Gus... Pergilah sekarang. Jangan sampai kamu membuat ku terpaksa meludahi wajah anak kyai."Gus Naufal hanya bisa berdiam, sambil hatinya merapal doa apa saja yang ia hapal. Diam bukan berarti kalah, diam nya Gus Naufal justru karena ingin menyelami semua rasa sakit seorang kakak atas derita adik nya.Namun, semua terjadi begitu saja. Siapa yang bisa menduga, bila Zahra akan bangun di saat Gus Naufal berusaha menerima kehadiran nur. Siapa yang menduga, bila semua nya akan seperti ini. apa posisi seperti ini hanya Gus Naufal yang patut di salah kan? Sementara, pesantren butuh seorang keturunan yang bisa meneruskan perjuangan Simbah Simbah Gus Naufal terdahulu."Saya akan menjelaskan pada Zahra mas. Pelan pelan saya akan menjelaskan. Dia perempuan yang baik, halus hatinya. In syaa Allah dia akan paham!"Nafas rayyan terdengar naik turun. Dada nya bergemuruh hebat, sampai tanpa sadar tangan nya terkepal di samping nya. Sepertinya, dia sudah tidak tahan untuk tak menoreh kan luka lebam di wajah tampan nan bersih adik ipar nya itu.Rayyan berbalik, hendak meninju."Rayyan, hentikan!" Titah hatmajaya, ayah dari rayyan hatmajaya dan Zahra hatmajaya. Dia berucap lirih, namun terdengar penuh penekanan.Rayyan bergeming, niat nya seketika redup mendengar titah lelaki yang dia sebut papa itu."Masuklah, Zahra mencari mu. Tadi saya yang kabarin Gus Adnan perilah bangun nya Zahra"Naufal mantap berjalan ke arah di mana mertua nya berada, dia melangkah begitu tenang melewati rayyan. Sudah dari tadi, ia mantap kan akan tenang saat menghadapi keluarga istri nya.Tepat di depan Zahra, Naufal segera mencium kening Zahra, lalu turun ke kedua pipi halus sang istri. Hal yang tak pernah ia lakukan pada nur, istri kedua nya Sekali pun.Ah, mengingat nur, gus Naufal tak tahu bagaimana nasib gadis itu selanjutnya. Pasti dia sangat tertekan. Namun, Gus Naufal sudah berjanji, dia akan mencoba menerima nur di sisi nya, dan akan perlakukan dia sama seperti Gus Naufal perlakukan Zahra.Setetes buliran kristal jatuh dari mata indah Zahra. "Aku rindu." Dengan suara lemah dia berucap. Lalu ia menyunggingkan senyum melihat lelaki yang ia sayang ada di hadapan nya.Gus Naufal meraih punggung tangan Zahra. "Aku juga."Kedua orang tua Zahra masih berdiri di sana. Sesekali mama Zahra mengusap buliran kristal air mata yang tak sadar meluncur begitu saja. "Zahra bahagia, pa!" Lirih nya pada sang suami."Iya. Papa juga jadi tidak tega!""Sama. Tapi kita bisa apa? Biar lah nanti Mubarak yang bicara. Sebaik nya kita tinggal kan saja mereka."Hatmajaya maju, mendekati putri serta menantunya. "Zahra, nak. Kamu masih belum pulih betul, harus banyak banyak istirahat ya." Terlihat Zahra mengulas senyum indah dan hangat.Hatmajaya menepuk pundak Mubarak. Seraya berujar."kita keluar dulu. Kamu istirahat saja di sana." Hatmajaya mengedik kan bahu, menunjuk kan sofa di ujung ruangan."Iya, pa!"Tak berselang lama, hatmajaya dan sang istri keluar ruangan. Sedangkan, rayyan masih bergulir dengan emosi nya. Dia terduduk di kursi, depan kamar rawat Zahra.Gus Naufal mengusap rambut Zahra, lembut. "Tidurlah! Semoga mimpi bertemu rasulullah." Sebelum kecelakaan yang merenggut kesadaran Zahra, Mubarak sering berpesan seperti itu, ketika Zahra hendak tidur. "Aku ke sofa dulu. Aku juga ingin tidur.!" ucap Gus Naufal memberi alasanZahra menggeser badan nya lemah, lalu dia menggerakkan bola mata nya ke kiri, memberikan isyarat kepada Gus Naufal."Tidur di sini" Zahra berucap sangat lirih. Meski nyaris tanpa suara, Gus Naufal masih bisa mendengar.Gus Naufal mengulas senyum bahagia, mendung yang berhari hari melingkupi, seolah telah tergantikan dengan cerah nya mentari. Dan mentari itu adalah Zahra. Tangan Gus Naufal tak bisa menahan untuk tak menggenggam erat tangan Zahra.Tangan naufal di tarik seseorang yang sangat ia kenal, bahkan sebelum ia kenal sang istri. Wajah nya terlihat sangar. "Kita harus bicara! ini penting"Rayyan Abdullah hatmajaya, merasa ia sedang dalam emosi cukup tinggi, wajah nya memerah dengan nafas memburu. Dengan sekali gerakan saja, ia mendorong tubuh adik ipar nya, Gus Naufal terjerembab ke dasar tembok rumah sakit yang cukup dingin karena udara malam bercampur dengan terpaan angin.Gus Naufal sedikit meringis, kesakitan. Diam seribu bahasa, bukan karena ia tak bisa melawan, namun, dia sadar betul siapa lelaki yang ada di hadapan nya itu. Gus Naufal masih bisa kendalikan kemarahannya.Rayyan sangat keterlaluan. Tak sampai di situ, lelaki berahang tegas dengan bada tegap dan kekar itu dengan berani menjepit salah satu lengan nya ke leher Gus Naufal ."Bisakah kau cerai kan adik ku?"Gus Naufal meringis, kesakitan, jepitan lengan yang lebih mendekat cekikan. Berhasil membuat nya meraung Raung, mengemis udara."lepas!" Gus Naufal sedikit mendorong tubuh kekar itu. Meski badan lawan nya jauh lebih besar, namun untuk urusan tenaga seperti Gus Naufal sedikit unggul. Meski dia seoran
nur berkali kali mencoba memfokus kan diri ke masakan yang ada di hadapan nya, menghalau segala pernyataan Gus Naufal, agar hatinya tak terlalu sakit bila mengingat secara terus menerus. Hatinya terlalu banyak bertanya tanya, sampai ia sendiri tak menyadari, apa saja yang ada di sekitar nya."Nur, ini bau apa?" Gus Naufal tergopoh gopoh menghampiri nur, dengan bergerak cepat ia menghalau tubuh nur mengambil alih istri nya untuk mematikan kompor.nur menatap lauk di hadapan nya. Warna nya coklat kehitam hitaman, suram, tanpa ada selera menatap nya, seruram hidup nur pula. "Astaghfirullah, aduh, maaf, Gus__" nur tak melanjutkan ucapan nya, segera ia menunduk, lalu menghampiri tempe yang sudah berwarna kehitaman itu, lalu mengangkat meniris kan ke atas piring dan bersiap nur untuk membuang ke tempat sampah yang tak jauh dari nur dan Gus Naufal berdiri.Gus Naufal mencegah tangan sivna. "Mau di apain?"nur masih menunduk dengan perasaan kacau. "Di buang Gus, kan udah gosong."Gus Naufal m
Zulaikha nuralifiyah sabbath.'gus saya minta cerai, ceraikan saya saja, saya ikhlas.'nur hanya bisa menjerit di dalam hati. Ia ingin berkata lebih dari itu, lalu menuang kan segala gundah nya ke hadapan sang suami. Namun, perasaan itu menguar begitu saja, seiring dengan tatapan heran Gus Naufal ke arah kantong lusuh, berisikan beberapa potong baju yang tak nilai keindahan, bila di bandingkan potongan baju Zahra.Gus Naufal mendekat ke arah benda yang membuat nya penasaran di dekat almari, dia harus berjongkok demi melihat isi nya. "Apa ini nur?" Tanya Gus Naufal membuat jantung nur berdetak lebih kencang. "Lap-lap meja ini mau kamu bawa kemana?" Gus Naufal berniat bercanda. Bukan malah mengundang tawa, justru nur malah memanyunkan bibir nya tak suka."Hehe, maaf bercanda, ini baju baju kamu mau kamu kemanain? Kamu mau pergi dari ku?" Gus Naufal menatap nur, dengan tatapan seolah mengiba, tak ingin nur jauh dari nya.Susah payah nur menelan Saliva Nya sendiri. Harus jawab apa dia? Ju
Lelaki dengan tinggi 165 cm dengan wajah teduh dan kulit putih nya itu sedang menyodorkan sapu tangan yang baru saja ia ambil dari saku baju nya, beliau memang terbiasa membawa sapu tangan sendiri, di samping lebih terjaga kebersihan nya. Juga memang beliau tidak terlalu suka mengotori lingkungan dengan banyak nya sampah sampah tisu.nur bergeming cukup lama, memandang sapu tangan itu. Bibir nya bergerak gerak, seolah berucap tanpa suara."Bisakah kau ambi." Gus Adnan mulai mengeluhkan, tentu tanpa menatap nur yang masih berjongkok, menatap dasar lantai, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan nya. "Tangan ku capek sekali."nur hendak menerima nya, menjulurkan tangan nya malu malu. "Di liatin itu! Awas nanti kena tangan ku, kita bukan mahrom."nur mencebik. Sungguh, Gus Adnan sangat menyebal kan detik ini. Padahal, mereka sangat jarang berbicara berdua seperti ini, sekali ia bicara, sungguh Gus Adnan sangat menyebalkan."Te-terima kasih." nur menerima nya dengan sedikit gu
nur menghela nafas panjang, dia menarik salah satu kursi, lalu meletakkan kitab serta ponsel nya di atas meja. "Alhamdulillah, hari ini jam ngajar sudah selesai. Capek banget, ma!" nur mengeluhkan rasa capek pada sahabat nya. Seharian dia harus naik turun tangga, ada kelas yang di lantai bawah, ada yang di lantai atas. Belum termasuk, harus cari bahan referensi mengajar di perpustakaan, lantai bawah paling pojok.Rahma menyodorkan es jerus pada sahabat nya. "Minum dulu, lah. Nggak puasa, kan?"nur menerima dengan senang hati, lalu meminum nya dengan beberapa tegukan saja sudah habis setengah. "Makasih"nur lalu meraih ponselnya yang dari tadi berdering karena pesan masuk. Dia lekas mengecek nya, ternyata pesan dari Gus Naufal Wajah yang mulai tenang kembali menyiratkan aura mendung di wajah ayu wanita berlesung pipi itu."Kenapa? Ada masalah?" Rahma menangkap aura yang berbeda dari sehabat nya itu.nur bergeming, tak ada rasa keinginan menjawab teman nya itu."Pasti dari Gus naufal,
"Buku, gus. Itu semua buku yang pernah njenengan kasih kan kepada saya."Hening, tak ada sahutan sama sekali dari lelaki yang sudah mengganti pakaian nya dengan sarung dan kaos biasa untuk bersantai.nur yang masih berdiri, berinisiatif untuk meletakkan nya di lantai, karena tak kunjung ada jawaban dari Gus Adnan."Terima kasih semua saya kembali kan, termasuk buku tentang__" nur berhenti sejenak, mengatur nafas. Sejujurnya, berat juga melepas buku buku itu. Kalimat demi kalimat yang di tulis beberapa penulis muslim terkenal, sudah lama menemani hari hari nya saat menimba ilmu di pesantren."Buku yang kemarin, tentang Yusuf dan Zulaikha, juga sudah saya masukkan.""Kenapa? Itu kado ulang tahun kamu? Dan... Itu juga baik untuk hubungan mu dengan mas Naufal." Akhirnya Gus adnan bertanya dan terheran heran.nur menggeleng lirih, tetap dengan pandangan menunduk. Gadis itu memilin-milin ujung kerudung nya, guna meredam kegugupan."Saya tidak ingin menyimpan nya. Saya khawatir, ada kesalahp
Baru saja bu nyai serta putra nya sampai di depan ruangan Zahra, mereka di kejut kan dengan suara menyanyat hati dari suara yang seperti nya mereka kenal."Astaghfirullah, astaghfirullah." Berkali kali lafadz istighfar terucap seolah sedang berlomba lomba dengan air mata nya yang berjatuhan. Gadis dengan memakai hijab syar'i berwarna kuning gading itu, mengaitkan kedua tangan nya. Sangat kentara sekali, bila dia sedang di Landa kegelisahan.Gus Naufal mengernyitkan kening, lalu memicingkan mata, memfokuskan pada satu pandangan. "Bukannya itu Rahma, mik? Teman, nur?" Duga Gus Naufal , karena laki laki itu hanya samar samar melihat wanita yang ia duga sahabat sang istri.Terlebih punggung gadis tambun itu, berbalik di lorong yang berbeda. "Kamu mungkin salah lihat, le. Wes, ayo cepetan, masuk!" Sanggah Bu nyai yang di jawabi anggukan Gus Naufal . "Semoga saja begitu, Mik!"Di dalam kamar, Zahra sedang berusaha duduk saat melihat mertua nya datang."Hati hati!" Pekik Gus Naufal seraya me
Tepat saat adzan ashar di kumandang kan, lelaki yang berpenampilan layak nya seorang santri, sampai di depan kamar yang di tuju Rahma.Tanpa ada yang meminta, dengan sopan Rahma maju ke depan, membuka pintu perlahan, dan memperlihatkan gadis kurus yang sudah beberapa hari ini mengusik tidur lelaki bergelar suami nya, sedang tak sadar kan diri di atas ranjang pasien.Terlihat tak jauh dari tubuh kurus itu, seorang perempuan yang masih cantik di usia senja nya, sedang mengusap air mata. "Istri mu cuman Ndak sadar kan diri, Le. Kata pak di dokter tadi, juga nggak apa, cuman memang kaki sama tangan kanan nya harus di perban kayak gitu." Bu nyai Halimah menunjukan salah satu kaki dan tangan gadis yang di perban itu.Lekas, Gus Naufal melangkah cepat, menuju gadis kurus yang terbaring lemah tak berdaya. Ada setitik rasa khawatir yang menyelinap ke dasar ulu hati nya.Perlahan, lelaki itu mengelus kening nur. Hangat, dan .... Ah, ini susah di jelas kan. Mata Gus Naufal turun ke bawah, menyus