Share

bab 7 harapan

Udara malam yang menusuk tulang , semakin membuat ngilu persendian nur. Awalnya, dia masih bisa sedikit menahan, namun, kediaman Hani tidak hanya menusuk tulang belaka, melain kan juga dasar hati nur yang sempat sedikit berbunga.

"Mbak? Jadi benar? Bukan Gus Naufal kan?" nur mengulangi nya lagi karenna lekas tak ada gerak bibir dari wanita yang bergeming itu. Perempuan itu terlihat tegang dan tangan nya tak berhenti mencengkram sarung batik nya. Wajah nya kentara sekali menyiratkan keraguan.

nur rasa dia sudah tau jawaban nya. Segera ia berbalik lagi untuk merapikan pekerjaan yang sempat tertunda. Dia tak boleh terlihat marah, apalagi sampai membuat perempuan itu gemetar. "Mbak Hani, besok Abah sama umi enak nya di masakin apa?"

Tergagap, perempuan santun itu menjawab."belum tahu, neng."

"Soto, gimana? Biar besok aku aja yang masak. Kamu masak buat lauk santri saja."

"Nggeh, neng."

nur membalikkan badannya kembali. Wanita cantik berusia 23 tahun itu menatap hangat wanita di depan nya, yang telah ikhlas mengabdi pada keluarga kyai cukup lama. nur sebenarnya juga abdi ndalem, khodimah seperti wanita di depan nya.

Namun, karena dia seorang ustadzah yang cukup mumpuni, semua santri Wati segan pada keilmuan Nur, jarang sekali sesama khodimah berbicara kepada Nur layak nya seorang teman. Mereka sangat segan pada gadis bernama lengkap Zulaikha nuralifiyah sabbath.

"Kamu bisa ke kamar saja, saya sudah hampir selesai."

"Nggeh, neng."

*****

Muhammad Naufal yusuf

Entah sudah berapa menit Naufal menghabiskan memandang dari jarak jauh ruangan istri nya itu. Bukan karena ia takut melangkah. Tetapi, dia takut kehadiran nya bisa membuat amarah rayyan meledak yang bisa berujung kesedihan Zahra.

"Mas."

Seseorang menepuk lembut pundak Naufal. Segera, lelaki berjambang tipis dengan mata hazel nya berbalik, lalu menatap lelaki yang masih punya hubungan darah dengan nya.

"Adnan? Kamu di sini? Abah sama umi sama siapa?"

Gus Adnan sedikit mengendur kan bahu. "Mbak Nur, biar balik dulu, sama kang Harun. Nanti mas pulang bareng saya saja."

Secara kebetulan mata Gus naufal menangkap kehadiran kang Harun dari jarak jauh. Naufal yang paham dengan apa yang harus ia lakukan, segera mengambil kunci mobil dari saku baju nya.

"Ini. Terima kasih ya!" Ujar nya sambil mengulur kan kunci mobil.

Gus Naufal kembali menatap nanar ruangan itu. Gus Adnan yang tak paham dengan duduk masalah mengajak Kaka nya untuk segera masuk.

"Ayo, mas!"

"nan, jangan dulu!"

Gus Adnan berbalik dengan kening berkerut.

"Loh. Kenapa?"

Gus Naufal diam seribu bahasa. Dia masih belum bisa menjelas kan ini semua pada adik nya untuk sekarang. Bagaimana reaksi sang adik bila mengetahui perasaan sebenarnya.

Gus Adnan baru menyadari, bila banyak sudut sudut wajah kakak lelaki nya banyak lebam, dia semakin mendekat. Memastikan kebenaran apa yang barusan ia lihat. "Ini wajah mas Naufal kenapa? Habis di pukul mas?"

Tangan Gus Naufal bergerak menyentuh pipinya. "Owh, ini habis jatuh. Nggak apa, tadi sudah di obatin sama nur."

Ada sedikit rasa sesak yang tiba tiba muncul di hati Gus Adnan, mendengar pernyataan terakhir lelaki yang sudah sah menjadi suami dari wanita yang dahulu ia sering sebut dalam do'a nya. Mestinya, Gus Adnan tak berperilaku seperti ini. Harus nya ia bahagia, karena hubungan mereka mulai berkembang ke arah semesti nya.

Namun, siapa yang bisa menyangkal, nyata nya rasa itu datang tiba tiba tanpa ada yang berharap kehadiran nya.

"Kamu pulang dulu saja, nan. Kasihan umi."

Terlihat Gus Adnan ingin protes, namun segera Gus Naufal memberi alasan cepat.

"Kasihan umi sama Abah. Lagian kan, nggak boleh banyak banyak pengunjung."

Gus Adnan memilih menuruti ucapan kakak lelaki nya itu. "Baiklah, nanti kalo ada apa apa, bisa telpon adik mu ini, mas."

Gus Naufal mengangguk, mengiyakan saja.

Beberapa kali dia hembuskan nafas besar usai kepergian adik nya. "Ini sudah resiko. Aku harus tetap kesana." Putus nya kemudian.

*****

Suara lemah ketukan pintu sama sekali tak terdengar ke dalam ruangan. Mungkin pikiran mereka sedang berpusat pada satu seseorang, yaitu Zahra. Naufal dari luar pintu hanya bisa diam seribu bahasa, lalu kemudian dia berusaha menjauh lagi.

"Sepertinya, belum tepat. " Gumam nya lirih

Zahra yang baru saja sadar, masih lemah. Dia hanya bisa berucap lirih, menanyakan keberadaan sang suami. "Mas Naufal , kemana pah?"

Hatmajaya, berpaling ke arah anak lelaki nya yang berdiam diri mematung, menatap adik tunggal nya itu. Rizal menatap, seolah menunggu jawaban.

"Suami mu lagi perjalanan ke sini."

Husna, ibu dari Zahra membenar kan ucapan putra nya. "Kakak mu benar, Mubarak lagi perjalanan. Dia habis ngajar tadi, jadi nggak bisa langsung ke sini. Istirahat saja dulu, kalau suami mu sudah datang, nanti mama bangunin." Dia menatap sang suami, lalu kembali menatap Zahra, mengulas senyum yang ia paksa. "Dia pasti datang, tenang lah sayang."

Rayyan yang tak sanggup membayangkan tatapan penuh harap sang adik, memutus kan untuk keluar saja. Nyatanya, ayah rayyan sudah menghubungi adik Gus Naufal, tetapi sudah lama menunggu, batang hidung suami Zahra tak kunjung jua nampak.

"Shiittt! Brengsek Naufal!" Rayyan memukul keras tembok. Seolah hanya dengan itu, amarah nya sedikit berkurang. "Ini semua salah ku, aku lah yang memperkenal kan Zahra dengan Naufal. Ini semua salah ku." Rayyan bersandar pada tembok, lalu dengan erat kedua tangan nya mencengkeram erat rambut nya, dia begitu frustasi.

Zahra adalah hidup nya. Zahra bagi rayyan kebanggaan keluarga. Dia sudah berjanji akan selalu berusaha membahagiakan Zahra. Bahkan, semisal tuhan memberikan lima nyawa sekalipun, maka rayyan rela memberikan semua nyawa nya demi kebahagiaan Zahra. Tapi kenyataan nya? Bahkan, untuk menjaga kebahagiaan Zahra saja dia tak dapat mempertahan kan nya.

Cinta sang adik telah terbagi. Itu sudah melukai harga diri rayyan, lelaki dengan perawakan tinggi yang sangat menyayangi adik tunggal nya, mengerang frustasi.

Udara malam di luar sangat kacau. Sekacau hati rayyan. "Bagaimana aku jelas kan ke Zahra? Bagaimana cara memberitahu kan nya?" Suara langkah kaki terdengar semakin dekat dengan pendengaran rayyan, lelaki bernama rayyan hatmajaya menengok ke asal suara. Dengan nafas yang memburu, dia segera menghampiri pemilik langkah lelaki itu.

Rayyan mencengkram kerah baju Naufal. "Masih ada muka kau kesini?" Naufal terlihat mengatup kan bibir. Dia begitu terhenyak, melihat emosi rayyan yang menggebu gebu. "Kala tak ingat adik ku, ingin sekali aku membuat semua wajah mu lebam"

Gus Naufal mengusap pundak rayyan. "Astaghfirullah, mas, sabar. Jangan tersulut emosi."

"Kamu meminta ku istighfar, setelah apa yang kau lakukan pada adik ku? Bukan kah kau sudah berjanji akan selalu bahagia kan dia? Mana janji janji manis mu itu?" Rayyan melepas cengkraman nya. Dia berbalik memunggungi Gus Naufal. "Owhhh, apa ini cara mu bahagia kan adik ku? Dengan mendatang kan istri kedua saat adik ku sekarat?"

Rayyan memiringkan kepala nya, lalu tersenyum miring. "Pergi lah, adik ku tak membutuh kan mu, Gus... Pergilah sekarang. Jangan sampai kamu membuat ku terpaksa meludahi wajah anak kyai."

Gus Naufal hanya bisa berdiam, sambil hatinya merapal doa apa saja yang ia hapal. Diam bukan berarti kalah, diam nya Gus Naufal justru karena ingin menyelami semua rasa sakit seorang kakak atas derita adik nya.

Namun, semua terjadi begitu saja. Siapa yang bisa menduga, bila Zahra akan bangun di saat Gus Naufal berusaha menerima kehadiran nur. Siapa yang menduga, bila semua nya akan seperti ini. apa posisi seperti ini hanya Gus Naufal yang patut di salah kan? Sementara, pesantren butuh seorang keturunan yang bisa meneruskan perjuangan Simbah Simbah Gus Naufal terdahulu.

"Saya akan menjelaskan pada Zahra mas. Pelan pelan saya akan menjelaskan. Dia perempuan yang baik, halus hatinya. In syaa Allah dia akan paham!"

Nafas rayyan terdengar naik turun. Dada nya bergemuruh hebat, sampai tanpa sadar tangan nya terkepal di samping nya. Sepertinya, dia sudah tidak tahan untuk tak menoreh kan luka lebam di wajah tampan nan bersih adik ipar nya itu.

Rayyan berbalik, hendak meninju.

"Rayyan, hentikan!" Titah hatmajaya, ayah dari rayyan hatmajaya dan Zahra hatmajaya. Dia berucap lirih, namun terdengar penuh penekanan.

Rayyan bergeming, niat nya seketika redup mendengar titah lelaki yang dia sebut papa itu.

"Masuklah, Zahra mencari mu. Tadi saya yang kabarin Gus Adnan perilah bangun nya Zahra"

Naufal mantap berjalan ke arah di mana mertua nya berada, dia melangkah begitu tenang melewati rayyan. Sudah dari tadi, ia mantap kan akan tenang saat menghadapi keluarga istri nya.

Tepat di depan Zahra, Naufal segera mencium kening Zahra, lalu turun ke kedua pipi halus sang istri. Hal yang tak pernah ia lakukan pada nur, istri kedua nya Sekali pun.

Ah, mengingat nur, gus Naufal tak tahu bagaimana nasib gadis itu selanjutnya. Pasti dia sangat tertekan. Namun, Gus Naufal sudah berjanji, dia akan mencoba menerima nur di sisi nya, dan akan perlakukan dia sama seperti Gus Naufal perlakukan Zahra.

Setetes buliran kristal jatuh dari mata indah Zahra. "Aku rindu." Dengan suara lemah dia berucap. Lalu ia menyunggingkan senyum melihat lelaki yang ia sayang ada di hadapan nya.

Gus Naufal meraih punggung tangan Zahra. "Aku juga."

Kedua orang tua Zahra masih berdiri di sana. Sesekali mama Zahra mengusap buliran kristal air mata yang tak sadar meluncur begitu saja. "Zahra bahagia, pa!" Lirih nya pada sang suami.

"Iya. Papa juga jadi tidak tega!"

"Sama. Tapi kita bisa apa? Biar lah nanti Mubarak yang bicara. Sebaik nya kita tinggal kan saja mereka."

Hatmajaya maju, mendekati putri serta menantunya. "Zahra, nak. Kamu masih belum pulih betul, harus banyak banyak istirahat ya." Terlihat Zahra mengulas senyum indah dan hangat.

Hatmajaya menepuk pundak Mubarak. Seraya berujar."kita keluar dulu. Kamu istirahat saja di sana." Hatmajaya mengedik kan bahu, menunjuk kan sofa di ujung ruangan.

"Iya, pa!"

Tak berselang lama, hatmajaya dan sang istri keluar ruangan. Sedangkan, rayyan masih bergulir dengan emosi nya. Dia terduduk di kursi, depan kamar rawat Zahra.

Gus Naufal mengusap rambut Zahra, lembut. "Tidurlah! Semoga mimpi bertemu rasulullah." Sebelum kecelakaan yang merenggut kesadaran Zahra, Mubarak sering berpesan seperti itu, ketika Zahra hendak tidur. "Aku ke sofa dulu. Aku juga ingin tidur.!" ucap Gus Naufal memberi alasan

Zahra menggeser badan nya lemah, lalu dia menggerakkan bola mata nya ke kiri, memberikan isyarat kepada Gus Naufal.

"Tidur di sini" Zahra berucap sangat lirih. Meski nyaris tanpa suara, Gus Naufal masih bisa mendengar.

Gus Naufal mengulas senyum bahagia, mendung yang berhari hari melingkupi, seolah telah tergantikan dengan cerah nya mentari. Dan mentari itu adalah Zahra. Tangan Gus Naufal tak bisa menahan untuk tak menggenggam erat tangan Zahra.

Tangan naufal di tarik seseorang yang sangat ia kenal, bahkan sebelum ia kenal sang istri. Wajah nya terlihat sangar. "Kita harus bicara! ini penting"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status