Share

bab 6 sebuah penantian

nur terkadang bertanya tanya pada diri nya sendiri, benarkah kebahagiaan itu benar benar ada di dalam hidup nya? Tidak memiliki orang tuang sedari kecil, hingga terpaksa ia berpisah dengan saudara kembar nya, yang sering ia panggil kang badruz, dan kini, setelah hati nya mulai merasa sedikit berdenyut dengan sikap Gus naufal, seolah semesta tak mengijin kan ia barang sedikit mencicip kebahagiaan lebih lama.

nur menghela nafas untuk kesekian kali nya, kala pikiran buruk itu mulai menyerang. Tak sepatut nya kita seorang hamba yang lemah, mengeluh kan garis takdir sang penguasa. Bukan kah sudah puluhan kali dia mendengar pengajian kyai, bahwa semua yang terjadi dalam hidup semua ada hikmah yang tersembunyi di dalam nya. Terkadang, kita tahu akan suatu ilmu suatu perkara dan suatu hukum, tetapi akan mudah lalai kala masalah demi masalah yang menghantam.

"Astaghfirullahal'adzim...

Astaghfirullahal'adzim.." lirih nur sambil terpejam. Tangan nya tak berhenti mencengkeram gamis nya, seolah dia ingin menggambar kan rasa gejolak sakit dalam dada.

nur menengadah, mata nya masih terpejam dengan buliran Kristal yang terjatuh tanpa ia sadar kehadiran nya. Dalam hati ia trs menggaung gaung kan nama Allah, meminta ampun atas kekhilafan nya.

"Seharus nya aku tak mengeluh kan takdir mu, Rabbi. Aku ikut bahagia dengan bangun nya neng Zahra. Tapi, tetap saja rasa sesak dan takut dengan ini semua. Astaghfirullahaladzim ampuni hamba mu yang tak tahu diri ini, Rabbi."

Sudah puluhan menit nur menunggu sendiri di dalam mobil. Nelangsa, sedih. Itu sudah pasti yang saat ini sedang ia rasa. Dia tahu benar, bagaimana ekspresi Gus naufal menolak ikut serta nya untuk menjenguk neng Zahra. Entah, karena Gus naufal sendiri blm siap, atau dia tak ingin mengganggu kisah kasih antara mereka berdua. Kisah kasih yang pada kenyataannya mengundang sesosok madu yang hanya berasal dari santri abdi ndalem yang sangat sederhana. nur menyimpulkan, alasan terakhir lebih masuk akal, melihat bagaimana ekspresi wajah sang suami.

Saat nur mulai bergerak turun dari mobil, Gus naufal memperingat kan dengan mata tak bisa lepas dari sosok wanita di belakang nya.

nur sesaat terpaku. Dia menghentikan aktivitas nya. "Mau njenguk neng Zahra, Gus" lirih nur tanpa berani menatap seperti biasa.

Gus naufal berbalik menatap lurus fokus ke depan "nggak perlu, biar saya saja, kamu tunggu di sini."

nur sedikit mendongak meski samar samar, nur bisa melihat ekspresi apa yang sedang tergambar di wajah sang suami, melalui kaca depan mobil.

nur sedikit kecewa. "Tapi..." Suara nur hanya sebatas satu kata saja. Seolah semua yang ia pendam menguar begitu saja tanpa jejak.

"Di sini saja, nur. Nanti bisa tambah runyam, bila kau ikut." Gus naufal menjawab dengan nada sedikit di tekan. Kening nur berkernyit, tak terlalu paham dengan ungkapan penuh tanda tanya suami nya. Namun, kali ini dia memilih untuk diam saja.

nur tak berani membantah ucapan Gus naufal yang baru saja ia simpul kan bahwa keberadaan diri nya lah hanya lah sebuah beban besar yang memikul pundak nya.

"Sebentar saja" Gus naufal berujar sambil tangan nya berusaha membuka mobil. Dia berjalan menjauh dan terus menjauh, meninggal kan nur termenung sendiri di dalam mobil.

Nyatanya, ungkapan sebentar saja tak bisa di artikan kadar waktu pada umum nya seorang berjanji. Hampir satu jam lebih nur menunggu, seorang supir serta khodimah lain menyusul, menghampiri nur yang baru saja mengusap buliran kristal air mata dengan ujung jilbab nya.

"Assalamualaikum, neng. Ngapunten saya mengganggu. Tadi saya di telpon oleh Gus naufal dan beliau mengutus saya untuk menjemput njenengan serta mobil pulang ke pesantren."

nur terhenyak. Meski rasa sedih, belum hilang, tapi, setidaknya. Sikap yang satu ini menyiksakan harapan bagi nya. Gus naufal masih ada rasa kasihan pada nur.

"Kang Harun tadi kesini naik apa?" nur menanyakan dengan nada sedatar mungkin berusaha menyembunyikan luka yang ia pendam suatu saat akan meledak. Layak nya bom waktu belaka.

"diantar Gus Adnan, neng. Itu beliau di sana!" Ujar kang harun seraya menunjuk kan keberadaan lelaki penuh kharisma dengan ibu jari nya. Setengah menunduk, serta pandangan ke bawah. Ciri khas seorang santri yang nur suka dalam diri kang Harun. Abdi ndalem yang sudah mengabdi cukup lama pada keluarga kyai.

nur mengikuti gerakan jari kang Harun, sesosok lelaki yang dulu pernah membuat nya seolah berada di taman surga, sedang merapikan peci nya. Lalu berjalan tegap menuju ke dalam rumah sakit. Sesaat nur memandang kepergian adik ipar nya. Segera ia tersadar, lalu membuang muka nya. "Kunci nya di bawa Gus Naufal."

nur mengalih kan tatapan nya kearah Hanin, seorang khodimah juga seperti ia dulu. "Ya. Biar mbak hanin saja di sini temani aku.'

Sejauh mata nur memandang, hanya ada bangunan bangunan kokoh yang berdiri tegap. Jalanan masih cukup ramai pengendara mobil maupun sepeda motor, mungkin karena besok adalah hari libur nasional, atau mungkin karena memang sedang ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Barangkali, hanya duduk di tenda warung dengan melihat kendaraan lalu lalang yang lewat, bisa mengobati rasa jenuh dan penat.

Pada hembusan nafas terakhir, barulah nur mengingat sesuatu. Dia sama sekali belum menanyakan keadaan mertua lelaki nya. Apakah sudah membaik atau belum?. Umi yang sangat nur sayang, apa sudah makan? nur tahu betul, bila umi di rundung masalah, kadang kala beliau lupa akan jadwal makan nya sendiri.

"Abah sama umi sudah makan apa belum mba Hanin?"

"Belum. Neng, dari tadi siang lauk masih utuh." Jwb nya sopan

nur sedikit kaget, dia menggeser posisi tubuh nya, sedikit miring ke arah khodimah itu. "Loh!, Tapi makanan buat keluarga sudah di siap kan, mbak?"

Khodimah itu hanya mengangguk, tanpa bersuara.

nur membuang pandangan ke arah jendela. Ia merutuki diri sendiri, tak ia tanyakan lebih dahulu Abah dan umi nya. Dia seolah lupa akan kesemuaannya, kala Gus naufal mengajak nya keluar, semua itu tampak seperti taman yang berbunga indah. Seolah tak ada satupun kesedihan dan kesakitan di dalam nya.

Padahal di ujung taman itu, mertua nur sedang mengalami kesakitan. Terkadang memang bahagia, duka, ataupun lara, bisa membuat kita tak sadar dengan sekitar kita.

Suami yang berhari hari selalu dingin tak terjamah, mendadak sedikit memberikan perhatian. Istri mana yang tak melayang bahagia? Sampai ia lupa orang orang di sekitar.

"Nanti kamu siap kan kunir empu, ya, mbak Hani. sama bahan bahan lain yang biasa aku racik buat jamu." Titah nur tanpa berpaling. Ah, sebelum dia menjadi menantu Umi nya, bahkan sering kali nur buatkan jamu apa bila Abah kyai lagi sakit. sekarang? Justru, umi nya terlihat segan meminta tolong. Apa mungkin karena nur sudah jadi menantu nya?

Kali ini Hani menjawab, dengan setengah mengangguk kan kepala. "nggeh, neng."

nur berjalan di depan Hani, bukan maksud dia mendahului khodimah itu. Namun, Hani sendiri yang memberi jarak lebih ke belakang. Di budaya pesantren, memang saat menjunjung tinggi nilai kesopanan, lebih lebih bila seseorang itu masih keluarga kyai nya sendiri.

Dapur jam segini sangat sepi. Meski masih bisa terdengar suara tawa beberapa santri putri dari sudut kamar. Memang, dapur ndalem menyatu dengan dapur santri, karena yang memasak untuk ndalem , terkadang juga ikut masak lauk buat santri. Jadi, untuk menghemat tempat dan waktu juga, maka lebih baik di satukan saja.

Dahulu, bagi nur jam segini serasa surga bagi nya. Dia bisa melempar canda dengan kawan sekamar, sembari kadang membahas pelajaran besok, atau malah terkadang pembahasan bisa kemana, mana. Misal saja, mengenai santri putra yang memiliki suara indah saat melantun kan sholawat di masjid, atau tentang santri putri yang memiliki jemuran di belakang yang berminggu Minggu tak pernah di ambil, atau kadang berbicara tentang tingkah santri baru yang lucu dan polos. Memang hanya pembahasan receh, namun lumayan lah untuk melepas penat setelah seharian berjibaku dengan seabrek kegiatan.

Tangan nur dengan lincah mengolah bahan bahan yang telah di siap kan Hani.

"Duduk saja, mbak! Biar aku saja! Kalau racik racik kayak gini, saya suka racik sendiri. Kurang mantep istilah nya kalau campur tangan orang lain." Seloroh nur saat Hani hendak membantu.

"Nggeh, neng!"

Saat nur membuka almari, guna mencari wadah yang pas dan bersih, ia sedikit terkejut mendapati lukisan karikatur mini, seseorang yang dahulu pernah membuat hati nya berdesir, terukir indah dan sangat pas di pandang.

"Neng...." Lirih Hani dari belakang nur, Hani berdiri mematung, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Indah. Kamu yang membuat nya?"

"Itu neng, punya kang Harun. Dia minta.... Emm, minta saya hatur kan sama Gus Adnan. Neng sendiri kan tahu, kalau kang Harun pengagum berat Gus Adnan.

Cepat cepat nur segera menguasai diri, dia tersenyum, lalu berbalik kearah Hani.

nur manggut manggut saja. Meski terasa janggal, tapi ia berusaha memaklumi nya saja. Entah dia jujur atau tidak, biar lah itu urusan dia dengan Rabb. Nya.

nur berbalik, lalu berjalan ke arah meja. "Gus adnan itu memang baik, dan cerdas. Wajar kalau kang Harun pengagum berat buat Gus Adnan."

"Nggeh, neng. Yang itu saya setuju."

nur terkekeh mendengar perkataan hani, yang begitu terlihat semangat.

"Beliau sangat baik, neng" tanpa di minta Hani bercerita dengan sopan.

"Pernah suatu kali, ada kang santri kecil, masih kelas satu Mts nangis gara gara nggak pernah di sambang sama orang tua nya. Padahal anak itu, butuh uang buat kebutuhan dan bayar bayar bulanan pondok. Gus adnan tahu, neng. Lalu, beliau memberikan anak itu sejumlah uang yang cukup lumayan, kadar santri. Kagum nya saya. Kagum nya saya, beliau memberi uang dengan mengatas nama kan orang tua si santri kecil, itu neng. Beliau itu nggak mau, kalau sampai hubungan antara anak anak dan orang tua melenggang hanya gara gara masalah sepele. Makanya Gus adnan mengatas namakan uang itu dari si ayah santri. Hani sendiri tahu nya dari kang Harun, udah biasa gus adnan seperti itu." Ungkap nya panjang lebar dengan suara yang terdengar rendah.

nur meletakan pisau nya, lalu berbalik ke arah Hani. Merasai ada sesuatu yang sangat mengganjal hati dan pikiran nya.

"Tadi yang nyuruh jemput saya ke rumah sakit. Apa benar, Gus Naufal? Atau itu hanya ide Gus adnan saja, mba Hani?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status