nur terkadang bertanya tanya pada diri nya sendiri, benarkah kebahagiaan itu benar benar ada di dalam hidup nya? Tidak memiliki orang tuang sedari kecil, hingga terpaksa ia berpisah dengan saudara kembar nya, yang sering ia panggil kang badruz, dan kini, setelah hati nya mulai merasa sedikit berdenyut dengan sikap Gus naufal, seolah semesta tak mengijin kan ia barang sedikit mencicip kebahagiaan lebih lama.
nur menghela nafas untuk kesekian kali nya, kala pikiran buruk itu mulai menyerang. Tak sepatut nya kita seorang hamba yang lemah, mengeluh kan garis takdir sang penguasa. Bukan kah sudah puluhan kali dia mendengar pengajian kyai, bahwa semua yang terjadi dalam hidup semua ada hikmah yang tersembunyi di dalam nya. Terkadang, kita tahu akan suatu ilmu suatu perkara dan suatu hukum, tetapi akan mudah lalai kala masalah demi masalah yang menghantam."Astaghfirullahal'adzim...Astaghfirullahal'adzim.." lirih nur sambil terpejam. Tangan nya tak berhenti mencengkeram gamis nya, seolah dia ingin menggambar kan rasa gejolak sakit dalam dada.nur menengadah, mata nya masih terpejam dengan buliran Kristal yang terjatuh tanpa ia sadar kehadiran nya. Dalam hati ia trs menggaung gaung kan nama Allah, meminta ampun atas kekhilafan nya."Seharus nya aku tak mengeluh kan takdir mu, Rabbi. Aku ikut bahagia dengan bangun nya neng Zahra. Tapi, tetap saja rasa sesak dan takut dengan ini semua. Astaghfirullahaladzim ampuni hamba mu yang tak tahu diri ini, Rabbi."Sudah puluhan menit nur menunggu sendiri di dalam mobil. Nelangsa, sedih. Itu sudah pasti yang saat ini sedang ia rasa. Dia tahu benar, bagaimana ekspresi Gus naufal menolak ikut serta nya untuk menjenguk neng Zahra. Entah, karena Gus naufal sendiri blm siap, atau dia tak ingin mengganggu kisah kasih antara mereka berdua. Kisah kasih yang pada kenyataannya mengundang sesosok madu yang hanya berasal dari santri abdi ndalem yang sangat sederhana. nur menyimpulkan, alasan terakhir lebih masuk akal, melihat bagaimana ekspresi wajah sang suami.Saat nur mulai bergerak turun dari mobil, Gus naufal memperingat kan dengan mata tak bisa lepas dari sosok wanita di belakang nya.nur sesaat terpaku. Dia menghentikan aktivitas nya. "Mau njenguk neng Zahra, Gus" lirih nur tanpa berani menatap seperti biasa.Gus naufal berbalik menatap lurus fokus ke depan "nggak perlu, biar saya saja, kamu tunggu di sini."nur sedikit mendongak meski samar samar, nur bisa melihat ekspresi apa yang sedang tergambar di wajah sang suami, melalui kaca depan mobil.nur sedikit kecewa. "Tapi..." Suara nur hanya sebatas satu kata saja. Seolah semua yang ia pendam menguar begitu saja tanpa jejak."Di sini saja, nur. Nanti bisa tambah runyam, bila kau ikut." Gus naufal menjawab dengan nada sedikit di tekan. Kening nur berkernyit, tak terlalu paham dengan ungkapan penuh tanda tanya suami nya. Namun, kali ini dia memilih untuk diam saja.nur tak berani membantah ucapan Gus naufal yang baru saja ia simpul kan bahwa keberadaan diri nya lah hanya lah sebuah beban besar yang memikul pundak nya."Sebentar saja" Gus naufal berujar sambil tangan nya berusaha membuka mobil. Dia berjalan menjauh dan terus menjauh, meninggal kan nur termenung sendiri di dalam mobil.Nyatanya, ungkapan sebentar saja tak bisa di artikan kadar waktu pada umum nya seorang berjanji. Hampir satu jam lebih nur menunggu, seorang supir serta khodimah lain menyusul, menghampiri nur yang baru saja mengusap buliran kristal air mata dengan ujung jilbab nya."Assalamualaikum, neng. Ngapunten saya mengganggu. Tadi saya di telpon oleh Gus naufal dan beliau mengutus saya untuk menjemput njenengan serta mobil pulang ke pesantren."nur terhenyak. Meski rasa sedih, belum hilang, tapi, setidaknya. Sikap yang satu ini menyiksakan harapan bagi nya. Gus naufal masih ada rasa kasihan pada nur."Kang Harun tadi kesini naik apa?" nur menanyakan dengan nada sedatar mungkin berusaha menyembunyikan luka yang ia pendam suatu saat akan meledak. Layak nya bom waktu belaka."diantar Gus Adnan, neng. Itu beliau di sana!" Ujar kang harun seraya menunjuk kan keberadaan lelaki penuh kharisma dengan ibu jari nya. Setengah menunduk, serta pandangan ke bawah. Ciri khas seorang santri yang nur suka dalam diri kang Harun. Abdi ndalem yang sudah mengabdi cukup lama pada keluarga kyai.nur mengikuti gerakan jari kang Harun, sesosok lelaki yang dulu pernah membuat nya seolah berada di taman surga, sedang merapikan peci nya. Lalu berjalan tegap menuju ke dalam rumah sakit. Sesaat nur memandang kepergian adik ipar nya. Segera ia tersadar, lalu membuang muka nya. "Kunci nya di bawa Gus Naufal."nur mengalih kan tatapan nya kearah Hanin, seorang khodimah juga seperti ia dulu. "Ya. Biar mbak hanin saja di sini temani aku.'Sejauh mata nur memandang, hanya ada bangunan bangunan kokoh yang berdiri tegap. Jalanan masih cukup ramai pengendara mobil maupun sepeda motor, mungkin karena besok adalah hari libur nasional, atau mungkin karena memang sedang ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Barangkali, hanya duduk di tenda warung dengan melihat kendaraan lalu lalang yang lewat, bisa mengobati rasa jenuh dan penat.Pada hembusan nafas terakhir, barulah nur mengingat sesuatu. Dia sama sekali belum menanyakan keadaan mertua lelaki nya. Apakah sudah membaik atau belum?. Umi yang sangat nur sayang, apa sudah makan? nur tahu betul, bila umi di rundung masalah, kadang kala beliau lupa akan jadwal makan nya sendiri."Abah sama umi sudah makan apa belum mba Hanin?""Belum. Neng, dari tadi siang lauk masih utuh." Jwb nya sopannur sedikit kaget, dia menggeser posisi tubuh nya, sedikit miring ke arah khodimah itu. "Loh!, Tapi makanan buat keluarga sudah di siap kan, mbak?"Khodimah itu hanya mengangguk, tanpa bersuara.nur membuang pandangan ke arah jendela. Ia merutuki diri sendiri, tak ia tanyakan lebih dahulu Abah dan umi nya. Dia seolah lupa akan kesemuaannya, kala Gus naufal mengajak nya keluar, semua itu tampak seperti taman yang berbunga indah. Seolah tak ada satupun kesedihan dan kesakitan di dalam nya.Padahal di ujung taman itu, mertua nur sedang mengalami kesakitan. Terkadang memang bahagia, duka, ataupun lara, bisa membuat kita tak sadar dengan sekitar kita.Suami yang berhari hari selalu dingin tak terjamah, mendadak sedikit memberikan perhatian. Istri mana yang tak melayang bahagia? Sampai ia lupa orang orang di sekitar."Nanti kamu siap kan kunir empu, ya, mbak Hani. sama bahan bahan lain yang biasa aku racik buat jamu." Titah nur tanpa berpaling. Ah, sebelum dia menjadi menantu Umi nya, bahkan sering kali nur buatkan jamu apa bila Abah kyai lagi sakit. sekarang? Justru, umi nya terlihat segan meminta tolong. Apa mungkin karena nur sudah jadi menantu nya?Kali ini Hani menjawab, dengan setengah mengangguk kan kepala. "nggeh, neng."nur berjalan di depan Hani, bukan maksud dia mendahului khodimah itu. Namun, Hani sendiri yang memberi jarak lebih ke belakang. Di budaya pesantren, memang saat menjunjung tinggi nilai kesopanan, lebih lebih bila seseorang itu masih keluarga kyai nya sendiri.Dapur jam segini sangat sepi. Meski masih bisa terdengar suara tawa beberapa santri putri dari sudut kamar. Memang, dapur ndalem menyatu dengan dapur santri, karena yang memasak untuk ndalem , terkadang juga ikut masak lauk buat santri. Jadi, untuk menghemat tempat dan waktu juga, maka lebih baik di satukan saja.Dahulu, bagi nur jam segini serasa surga bagi nya. Dia bisa melempar canda dengan kawan sekamar, sembari kadang membahas pelajaran besok, atau malah terkadang pembahasan bisa kemana, mana. Misal saja, mengenai santri putra yang memiliki suara indah saat melantun kan sholawat di masjid, atau tentang santri putri yang memiliki jemuran di belakang yang berminggu Minggu tak pernah di ambil, atau kadang berbicara tentang tingkah santri baru yang lucu dan polos. Memang hanya pembahasan receh, namun lumayan lah untuk melepas penat setelah seharian berjibaku dengan seabrek kegiatan.Tangan nur dengan lincah mengolah bahan bahan yang telah di siap kan Hani."Duduk saja, mbak! Biar aku saja! Kalau racik racik kayak gini, saya suka racik sendiri. Kurang mantep istilah nya kalau campur tangan orang lain." Seloroh nur saat Hani hendak membantu."Nggeh, neng!"Saat nur membuka almari, guna mencari wadah yang pas dan bersih, ia sedikit terkejut mendapati lukisan karikatur mini, seseorang yang dahulu pernah membuat hati nya berdesir, terukir indah dan sangat pas di pandang."Neng...." Lirih Hani dari belakang nur, Hani berdiri mematung, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali."Indah. Kamu yang membuat nya?""Itu neng, punya kang Harun. Dia minta.... Emm, minta saya hatur kan sama Gus Adnan. Neng sendiri kan tahu, kalau kang Harun pengagum berat Gus Adnan.Cepat cepat nur segera menguasai diri, dia tersenyum, lalu berbalik kearah Hani.nur manggut manggut saja. Meski terasa janggal, tapi ia berusaha memaklumi nya saja. Entah dia jujur atau tidak, biar lah itu urusan dia dengan Rabb. Nya.nur berbalik, lalu berjalan ke arah meja. "Gus adnan itu memang baik, dan cerdas. Wajar kalau kang Harun pengagum berat buat Gus Adnan.""Nggeh, neng. Yang itu saya setuju."nur terkekeh mendengar perkataan hani, yang begitu terlihat semangat."Beliau sangat baik, neng" tanpa di minta Hani bercerita dengan sopan."Pernah suatu kali, ada kang santri kecil, masih kelas satu Mts nangis gara gara nggak pernah di sambang sama orang tua nya. Padahal anak itu, butuh uang buat kebutuhan dan bayar bayar bulanan pondok. Gus adnan tahu, neng. Lalu, beliau memberikan anak itu sejumlah uang yang cukup lumayan, kadar santri. Kagum nya saya. Kagum nya saya, beliau memberi uang dengan mengatas nama kan orang tua si santri kecil, itu neng. Beliau itu nggak mau, kalau sampai hubungan antara anak anak dan orang tua melenggang hanya gara gara masalah sepele. Makanya Gus adnan mengatas namakan uang itu dari si ayah santri. Hani sendiri tahu nya dari kang Harun, udah biasa gus adnan seperti itu." Ungkap nya panjang lebar dengan suara yang terdengar rendah.nur meletakan pisau nya, lalu berbalik ke arah Hani. Merasai ada sesuatu yang sangat mengganjal hati dan pikiran nya."Tadi yang nyuruh jemput saya ke rumah sakit. Apa benar, Gus Naufal? Atau itu hanya ide Gus adnan saja, mba Hani?"Udara malam yang menusuk tulang , semakin membuat ngilu persendian nur. Awalnya, dia masih bisa sedikit menahan, namun, kediaman Hani tidak hanya menusuk tulang belaka, melain kan juga dasar hati nur yang sempat sedikit berbunga."Mbak? Jadi benar? Bukan Gus Naufal kan?" nur mengulangi nya lagi karenna lekas tak ada gerak bibir dari wanita yang bergeming itu. Perempuan itu terlihat tegang dan tangan nya tak berhenti mencengkram sarung batik nya. Wajah nya kentara sekali menyiratkan keraguan.nur rasa dia sudah tau jawaban nya. Segera ia berbalik lagi untuk merapikan pekerjaan yang sempat tertunda. Dia tak boleh terlihat marah, apalagi sampai membuat perempuan itu gemetar. "Mbak Hani, besok Abah sama umi enak nya di masakin apa?"Tergagap, perempuan santun itu menjawab."belum tahu, neng.""Soto, gimana? Biar besok aku aja yang masak. Kamu masak buat lauk santri saja.""Nggeh, neng."nur membalikkan badannya kembali. Wanita cantik berusia 23 tahun itu menatap hangat wanita di depan nya
Rayyan Abdullah hatmajaya, merasa ia sedang dalam emosi cukup tinggi, wajah nya memerah dengan nafas memburu. Dengan sekali gerakan saja, ia mendorong tubuh adik ipar nya, Gus Naufal terjerembab ke dasar tembok rumah sakit yang cukup dingin karena udara malam bercampur dengan terpaan angin.Gus Naufal sedikit meringis, kesakitan. Diam seribu bahasa, bukan karena ia tak bisa melawan, namun, dia sadar betul siapa lelaki yang ada di hadapan nya itu. Gus Naufal masih bisa kendalikan kemarahannya.Rayyan sangat keterlaluan. Tak sampai di situ, lelaki berahang tegas dengan bada tegap dan kekar itu dengan berani menjepit salah satu lengan nya ke leher Gus Naufal ."Bisakah kau cerai kan adik ku?"Gus Naufal meringis, kesakitan, jepitan lengan yang lebih mendekat cekikan. Berhasil membuat nya meraung Raung, mengemis udara."lepas!" Gus Naufal sedikit mendorong tubuh kekar itu. Meski badan lawan nya jauh lebih besar, namun untuk urusan tenaga seperti Gus Naufal sedikit unggul. Meski dia seoran
nur berkali kali mencoba memfokus kan diri ke masakan yang ada di hadapan nya, menghalau segala pernyataan Gus Naufal, agar hatinya tak terlalu sakit bila mengingat secara terus menerus. Hatinya terlalu banyak bertanya tanya, sampai ia sendiri tak menyadari, apa saja yang ada di sekitar nya."Nur, ini bau apa?" Gus Naufal tergopoh gopoh menghampiri nur, dengan bergerak cepat ia menghalau tubuh nur mengambil alih istri nya untuk mematikan kompor.nur menatap lauk di hadapan nya. Warna nya coklat kehitam hitaman, suram, tanpa ada selera menatap nya, seruram hidup nur pula. "Astaghfirullah, aduh, maaf, Gus__" nur tak melanjutkan ucapan nya, segera ia menunduk, lalu menghampiri tempe yang sudah berwarna kehitaman itu, lalu mengangkat meniris kan ke atas piring dan bersiap nur untuk membuang ke tempat sampah yang tak jauh dari nur dan Gus Naufal berdiri.Gus Naufal mencegah tangan sivna. "Mau di apain?"nur masih menunduk dengan perasaan kacau. "Di buang Gus, kan udah gosong."Gus Naufal m
Zulaikha nuralifiyah sabbath.'gus saya minta cerai, ceraikan saya saja, saya ikhlas.'nur hanya bisa menjerit di dalam hati. Ia ingin berkata lebih dari itu, lalu menuang kan segala gundah nya ke hadapan sang suami. Namun, perasaan itu menguar begitu saja, seiring dengan tatapan heran Gus Naufal ke arah kantong lusuh, berisikan beberapa potong baju yang tak nilai keindahan, bila di bandingkan potongan baju Zahra.Gus Naufal mendekat ke arah benda yang membuat nya penasaran di dekat almari, dia harus berjongkok demi melihat isi nya. "Apa ini nur?" Tanya Gus Naufal membuat jantung nur berdetak lebih kencang. "Lap-lap meja ini mau kamu bawa kemana?" Gus Naufal berniat bercanda. Bukan malah mengundang tawa, justru nur malah memanyunkan bibir nya tak suka."Hehe, maaf bercanda, ini baju baju kamu mau kamu kemanain? Kamu mau pergi dari ku?" Gus Naufal menatap nur, dengan tatapan seolah mengiba, tak ingin nur jauh dari nya.Susah payah nur menelan Saliva Nya sendiri. Harus jawab apa dia? Ju
Lelaki dengan tinggi 165 cm dengan wajah teduh dan kulit putih nya itu sedang menyodorkan sapu tangan yang baru saja ia ambil dari saku baju nya, beliau memang terbiasa membawa sapu tangan sendiri, di samping lebih terjaga kebersihan nya. Juga memang beliau tidak terlalu suka mengotori lingkungan dengan banyak nya sampah sampah tisu.nur bergeming cukup lama, memandang sapu tangan itu. Bibir nya bergerak gerak, seolah berucap tanpa suara."Bisakah kau ambi." Gus Adnan mulai mengeluhkan, tentu tanpa menatap nur yang masih berjongkok, menatap dasar lantai, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan nya. "Tangan ku capek sekali."nur hendak menerima nya, menjulurkan tangan nya malu malu. "Di liatin itu! Awas nanti kena tangan ku, kita bukan mahrom."nur mencebik. Sungguh, Gus Adnan sangat menyebal kan detik ini. Padahal, mereka sangat jarang berbicara berdua seperti ini, sekali ia bicara, sungguh Gus Adnan sangat menyebalkan."Te-terima kasih." nur menerima nya dengan sedikit gu
nur menghela nafas panjang, dia menarik salah satu kursi, lalu meletakkan kitab serta ponsel nya di atas meja. "Alhamdulillah, hari ini jam ngajar sudah selesai. Capek banget, ma!" nur mengeluhkan rasa capek pada sahabat nya. Seharian dia harus naik turun tangga, ada kelas yang di lantai bawah, ada yang di lantai atas. Belum termasuk, harus cari bahan referensi mengajar di perpustakaan, lantai bawah paling pojok.Rahma menyodorkan es jerus pada sahabat nya. "Minum dulu, lah. Nggak puasa, kan?"nur menerima dengan senang hati, lalu meminum nya dengan beberapa tegukan saja sudah habis setengah. "Makasih"nur lalu meraih ponselnya yang dari tadi berdering karena pesan masuk. Dia lekas mengecek nya, ternyata pesan dari Gus Naufal Wajah yang mulai tenang kembali menyiratkan aura mendung di wajah ayu wanita berlesung pipi itu."Kenapa? Ada masalah?" Rahma menangkap aura yang berbeda dari sehabat nya itu.nur bergeming, tak ada rasa keinginan menjawab teman nya itu."Pasti dari Gus naufal,
"Buku, gus. Itu semua buku yang pernah njenengan kasih kan kepada saya."Hening, tak ada sahutan sama sekali dari lelaki yang sudah mengganti pakaian nya dengan sarung dan kaos biasa untuk bersantai.nur yang masih berdiri, berinisiatif untuk meletakkan nya di lantai, karena tak kunjung ada jawaban dari Gus Adnan."Terima kasih semua saya kembali kan, termasuk buku tentang__" nur berhenti sejenak, mengatur nafas. Sejujurnya, berat juga melepas buku buku itu. Kalimat demi kalimat yang di tulis beberapa penulis muslim terkenal, sudah lama menemani hari hari nya saat menimba ilmu di pesantren."Buku yang kemarin, tentang Yusuf dan Zulaikha, juga sudah saya masukkan.""Kenapa? Itu kado ulang tahun kamu? Dan... Itu juga baik untuk hubungan mu dengan mas Naufal." Akhirnya Gus adnan bertanya dan terheran heran.nur menggeleng lirih, tetap dengan pandangan menunduk. Gadis itu memilin-milin ujung kerudung nya, guna meredam kegugupan."Saya tidak ingin menyimpan nya. Saya khawatir, ada kesalahp
Baru saja bu nyai serta putra nya sampai di depan ruangan Zahra, mereka di kejut kan dengan suara menyanyat hati dari suara yang seperti nya mereka kenal."Astaghfirullah, astaghfirullah." Berkali kali lafadz istighfar terucap seolah sedang berlomba lomba dengan air mata nya yang berjatuhan. Gadis dengan memakai hijab syar'i berwarna kuning gading itu, mengaitkan kedua tangan nya. Sangat kentara sekali, bila dia sedang di Landa kegelisahan.Gus Naufal mengernyitkan kening, lalu memicingkan mata, memfokuskan pada satu pandangan. "Bukannya itu Rahma, mik? Teman, nur?" Duga Gus Naufal , karena laki laki itu hanya samar samar melihat wanita yang ia duga sahabat sang istri.Terlebih punggung gadis tambun itu, berbalik di lorong yang berbeda. "Kamu mungkin salah lihat, le. Wes, ayo cepetan, masuk!" Sanggah Bu nyai yang di jawabi anggukan Gus Naufal . "Semoga saja begitu, Mik!"Di dalam kamar, Zahra sedang berusaha duduk saat melihat mertua nya datang."Hati hati!" Pekik Gus Naufal seraya me