Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?
Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, berharap mereka bisa memberiku kabar, namun mereka hanya membaca pesanku tanpa membalasnya. Tiga hari telah berlalu, dan aku masih terjebak dalam ketidakpastian yang menguras energi dan pikiranku.
Pikiranku terpecah, dan aku semakin kesulitan berkonsentrasi dalam kuliah. Selama dua hari terakhir, aku merasa seperti ada yang hilang. Setiap kali aku memikirkan rumah, aku merasa semakin jauh dari mereka. Setiap panggilan telepon atau video call yang gagal membuat perasaan cemas itu semakin mencekam. Apa yang sedang terjadi? Kenapa semua komunikasi begitu sulit?
Hingga suatu hari, saat kuliah sedang berlangsung, ponselku bergetar di dalam tas. Aku memeriksanya sejenak, lalu kulihat nama yang muncul di layar: Sandy. Aneh sekali. Biasanya, Sandy jarang sekali menghubungiku melalui pesan atau telepon. Aku merasa ada yang berbeda.
Setelah kuliah selesai, aku menuju taman kampus yang lebih sepi, mencari tempat untuk membaca pesan-pesan tersebut. Aku memilih tempat yang lebih tenang, di bawah pohon besar yang sudah mulai menggugurkan daun-daunnya. Aku duduk di bangku taman, mengambil ponsel, dan membuka pesan-pesan itu. Seketika, rasa penasaran memenuhi pikiranku.
(Zara sayang)
(Apa kabar?)
Aku tahu, itu pasti Mama. Sandy tidak pernah memanggilku dengan sebutan seperti itu. Aku terus membaca pesan-pesan berikutnya, yang berisi permintaan maaf dari Mama. Rasa cemas dan kekhawatiranku semakin besar seiring membaca setiap kalimat yang dikirim.
(Sekali lagi Mama minta maaf. Handphone Mama diambil Papa, nggak tahu disimpen di mana. Papa juga ngelarang Mama, Sandy, dan Marcell buat ngehubungin kamu.)
(Papa kenapa jadi begini, Mama? Ada masalah apa sih?)
Pesan dari Mama itu membuat perasaan cemas semakin meningkat. Aku merasa terkejut. Kenapa tiba-tiba Papa begitu marah? Apa yang terjadi pada mereka di rumah? Kenapa mereka tidak memberitahuku apa-apa sebelumnya?
(Kamu jangan marah sama Papa. Mama ngerti banget Papa kamu lagi pusing beberapa bulan terakhir ini.)
(Pusing kenapa?)
(Usaha mebel Papa lagi ada masalah, sampai terlilit banyak hutang. Bisa jadi sebentar lagi, kita terpaksa pindah dari rumah ini kalau Papa nggak bisa ngelunasin hutangnya ke bank.)
Kata-kata Mama membuat hatiku semakin berat. Aku merasa cemas dan bingung. Aku tidak pernah mendengar tentang masalah hutang ini sebelumnya. Usaha mebel Papa, yang selama ini terlihat lancar, kini sedang terancam. Aku tak bisa membayangkan apa yang sedang mereka alami.
(Banyak hutang? Kok bisa? Papa kan bukan orang baru di dunia permebelan.)
(Papa kamu kena tipu rekan bisnisnya, yang sekarang ngilang.)
(Kalau gitu, Zara pulang ke Indonesia aja deh, Mama. Daripada nanti jadi beban buat Papa sama Mama. Biaya kuliah di sini kan mahal.)
(Jangan, Sayang. Papa sekarang lagi ke luar kota cari pinjaman dari temen deketnya, biar bisa ngelunasin hutang, sekaligus mulai usahanya lagi.)
(Tapi, Mama. Aku nggak bisa seneng-seneng di atas penderitaan Mama sama Papa.)
(Sekarang kamu berdoa aja, semoga segala urusan dan usaha Papa lancar. Biar nanti Mama bisa nengok kamu juga.)
Obrolan kami berlanjut lebih ringan setelah itu, seolah mencoba mengalihkan perhatian dari masalah besar yang sedang dihadapi. Mama bertanya tentang kehidupan kampusku, tentang teman-teman baru yang kutemui, dan pria yang sempat dekat denganku. Mama juga menanyakan tentang makanan kesukaanku dan hal-hal kecil lainnya yang mengingatkanku pada rumah.
Video call pun terhubung dengan Marcell dan Sandy, dan aku merasa sedikit lebih lega meskipun rasa cemas masih menghantui. Marcell yang sudah mulai bisa bicara lancar menyapaku dengan ceria, dan Sandy yang lebih pendiam hanya tersenyum. Aku merindukan mereka begitu banyak. Rasanya ingin memeluk mereka erat-erat, namun itu mustahil dilakukan sekarang. Aku hanya bisa tersenyum sambil menatap layar ponsel, merasa terhubung kembali meski hanya lewat teknologi.
Hari itu, aku duduk di taman selama hampir satu jam, memandang daun-daun yang berguguran di sekitar meja batu yang tempat aku duduk. Udara musim gugur yang dingin menyentuh kulit, dan entah mengapa, saat aku menyentuh salah satu daun yang sudah berwarna kecoklatan, perasaan kesedihan yang mendalam muncul begitu saja. Mataku mulai berkaca-kaca, dan aku tidak bisa menahan air mata yang jatuh begitu saja.
Perasaan itu datang begitu kuat. Rasanya, aku seperti kehilangan sesuatu yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Sesuatu yang sangat berharga. Aku merindukan Mama, merindukan rumah, dan bahkan merindukan Papa meskipun dia tidak pernah memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Semua perasaan itu datang begitu saja, tak terkendali.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan yang semakin sulit aku atasi. Aku berusaha menjalani rutinitas kuliah dengan semangat, tetapi tetap saja pikiranku terpecah. Semua yang terjadi di rumah terus mengganggu pikiranku, membuatku lebih sering melamun di tengah kuliah dan kehilangan fokus.
Untungnya, Mama selalu menghiburku setiap malam lewat pesan-pesan yang meyakinkan, memberi aku sedikit ketenangan. Mama selalu berkata bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun aku tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mereka hadapi. Mama juga mengabarkan kalau Papa belum pulang dari luar kota. Setiap kali Mama menelepon, jawabannya selalu sama: "Nanti juga pulang."
Suatu malam, aku terbangun dengan perasaan campur aduk, antara kesedihan dan kekhawatiran. Aku merasa ada yang tidak beres. Begitu aku bangun dari tempat tidur, perasaan itu semakin menekan. Aku mencoba untuk menenangkan diri, tetapi tidak bisa. Aku merasa seperti terperangkap dalam kebingunganku.
Saat pulang ke apartemen, aku merasa lebih tenang. Aku duduk di balkon sambil menikmati segelas coklat hangat. Suasana kota Bonn yang sunyi di sore hari terasa damai. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu ketika ponselku berbunyi. Nama Marcell tertera di layar ponsel. Aku terkejut, karena biasanya Marcell tidak meneleponku di waktu-waktu seperti ini.
Aku mengangkat telepon, dan suara Marcell yang panik langsung terdengar.
"Kak... Mama... Kak," suara Marcell terputus-putus, seperti sedang menangis.
Aku merasa jantungku berdegup kencang. "Kenapa, San? Apa yang terjadi dengan Mama?"
"Mama sakit, Kak." Suara Marcell semakin panik.
"Sakit apa?" tanyaku dengan cemas.
Marcell hanya bisa menjawab dengan terbata-bata, "Badan Mama panas, kulitnya merah-merah."
Aku langsung minta Marcell untuk mengirimkan foto Mama. Beberapa detik setelah itu, gambar Mama yang terbaring lemah di tempat tidur muncul di layar ponselku. Kulitnya merah, seperti terbakar matahari. Aku merasa panik.
Aku segera menelepon Marcell lagi, "Cell, kasih teleponnya ke Mama!"
Namun, Marcell hanya menjawab, "Mama nggak mau, Kak."
Aku memberi instruksi padanya untuk meminta Bi Ikah, pembantu rumah tangga mereka, untuk sementara mengoleskan bedak dingin ke tubuh Mama. Aku tahu, itu mungkin hanya solusi sementara, tapi aku harus memastikan Mama segera mendapat bantuan medis.
Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m
Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan
Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se
Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se
Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.
Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi