All Chapters of Dear Joy: Chapter 71 - Chapter 80
88 Chapters
70. Deep Talk?
Aku dan Nagita menghabiskan waktu bersama kami. Gadis itu terkadang menyebalkan tetapi di saat yang sama juga hanyalah gadis manis yang ambisius. Sayangnya, taraf ambisinya sudah terlalu jauh sampai rela meninggalkan teman-temannya. Ah, mungkin lebih tepatnya, karena teman-temannya tak dapat menyesuaikan, akhirnya mereka menjadi iri. Who knows? Tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain Nagita sendiri. Kami sudah selesai makan, tetapi masih di ruang tamu. Rasanya, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua saling bercerita. “Apa yang kamu rencanakan setelah lulus nanti? Ikut wisuda periode ini kan?”Aku menggelengkan kepala. “Waktunya terlalu mepet. Lagipula, ada banyak yang perlu dire
Read more
71. Skincare Bekas?
Buku harian Joy yang tergeletak tak berdaya di atas meja belajarku pun menjadi sasaran yang sangat empuk untuk aku buka. Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan kalau sudah kepo seperti ini? Rasanya memang sudah saatnya untuk membuka dan membaca sedikit saja dari buku itu. “Benar, kan … kalau Joy memperbolehkan aku untuk membaca ini? Ataukah … ia malah akan marah padaku karena sudah sangat lancang melakukannya?” Lagi dan lagi, aku berusaha keras untuk mengingat pesan apa yang dimaksudkan oleh Joy. “Aku rasa … tidak apa-apa.” Mataku melihat ke kiri dan kanan. Jangan sampai arwah Joy malah bergentayangan di dalam kamarku dan memarahiku habis-habisan karena telah membacanya? Ugh, kalau itu terjadi, aku bisa lari te
Read more
72. Sedikit Kilas Balik
Setelah sarapan bersama, aku dan Muti jelas tak langsung pergi. Ini masih jam delapan pagi. Memangnya, ada Mall yang sudah buka? Hm … mungkin di kota lain. Yang jelas, di kota ini biasanya Mall buka mulai pukul sepuluh pagi. Lalu, ke mana Cintia? Yang jelas belum ada di sini. Muti memang sedikit keterlaluan kali ini. Bisa-bisanya ia mengganggu ketentraman di pagi hari! Karena sudah membawa sarapan, aku anggap semuanya impas. “Ayo kembali ke kamar. Mau aku perlihatkan apa saja yang ada di dalam karton itu. Seandainya aku tahu kartonnya berat, aku akan mengajakmu waktu itu,” ucapku.“Eh? Luar biasa sekali. Giliran ada hal yang sangat penting dan memerlukan bantuan, kamu langsung terpikirkan tentangku. Aku ini sudah kayak bala bantuan, ya ….”
Read more
73. Keseharian di Rumah Bersama Lara (1)
Aku tidak akan menyangka bila kebersamaan itu adalah yang terakhir kali. Setelah waktu itu, kami tidak pernah keluar bersama kecuali saat bertemu di kampus untuk pengurusan berkas. Hari wisuda Muti tiba dan kami sempat merayakannya di rumah Muti. Lalu, masa-masa berpisah selama tiga bulan sampai waktu aku dan Cintia akan wisuda. Cintia sama denganku, memilih untuk pulang ke kota kelahirannya sambil menunggu masa wisuda.Memang, kami masih wajib membayar sewa kos meski tidak ditinggali. Mau bagaimana lagi? Membawa langsung barang-barang rasanya terlalu berat—lebih tepatnya malas. Lalu, Nagita? Entahlah, ia juga sudah tidak menghubungiku lagi. Mungkin ambisinya tentang dunia perkuliahan sudah membawanya kembali dengan kesibukan yang amat padat. ***“Amel
Read more
74. Kesedihan Joy yang Tertulis
“Iya, donk. Mengapa pula Mama tidak memanfaatkan kesempatan ini. Kamu tidak akan tahu betapa banyaknya informasi dari orang-orang yang sangat suka bergosip. Itu adalah info yang terkini meskipun mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya.” Makanan sudah dihidangkan. “Makanlah. Ini sekalian untuk makan siangmu, ya.”“Memangnya acara gosip-menggosip itu kapan, sih? Kayaknya Mama arisannya sore, deh. Ini masih pagi, loh ….”“Memangnya siapa yang bilang pagi ini mau pergi arisan? Pagi ini Mama dan Bibi Susana mau pergi belanja bulanan. Kamu duduk tenang di rumah dan jaga Lara. Biar tahu kamu bagaimana capeknya urus anak.”“Duh, ujung-ujungnya disindir lagi.” Kebiasaan ibu yang paling tak kusukai di
Read more
75. Keseharian di Rumah Bersama Lara (2)
Sungguh, aku sama sekali tidak membayangkan peristiwa demi peristiwa sesakit ini telah dialami oleh Joy. Seorang gadis cantik yang sangat disayangi dan dibanggakan oleh orang tuanya harus melewati masa-masa seperti ini? Kasihan sekali …. Kututup buku itu karena suara tangis Lara terdengar. Waow! Siapa yang menyangka bila bayi mungil yang terlihat lemah ternyata memiliki suara yang sangat keras. Hihihi, entah bagaimana yang sudah terlewati oleh ibu dan Bibi Susana? Apa mereka juga merasa bila bayi ini memiliki tangisan yang sangat keras?   “Iya, iya … aku datang ….”   Segera kakiku menuju ruangan itu. Aku memeriksa popok terlebih dulu. Biasanya bayi akan menangis karena merasa tidak nyaman atau kelaparan. Hm … a
Read more
76. Pujian
Buku itu memanglah istimewa. Sampai halaman terakhir, aku baru menyadari bila Joy sama sekali tidak membenci atau mengharapkan hal yang buruk pada Bima. Cinta yang sangat tulus untuk seorang pria yang bahkan tak tahu diri! Aku iri, ini adalah bagaimana seorang anak perempuan di zaman sekarang masih bisa mencintai dengan tulus. “Huft! Bima … kamu sudah meninggalkan seseorang yang sangat tulus padamu demi gadis yang belum tentu merasa beruntung bersamamu. Brengsek!” Pedekate, pacaran, hamil lalu terpaksa menikah. Belum lagi diusir keluarga, ditinggalkan Bima dan diselingkuhi. Bagai paket lengkap yang memaksamu untuk bertahan demi bayi di dalam perutmu. Joy sayang, Joy malang. Semua penderitaanmu sudah selesai.
Read more
77. Muti dan Pekerjaannya
Muti menepati apa yang ia katakan. Meski aku sebenarnya tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, ia benar-benar melakukannya. Siapa yang menyangka bila hari ini aku akan bertemu dengannya di kota ini. Tentu saja menjemputnya di bandara adalah hal yang sangat menyenangkan. Muti akan tinggal di rumahku dua hari—sampai ia mendapatkan tempat tinggal. Maksudnya, sampai ia benar-benar menyiapkan kamar di asramanya dengan baik.Aku sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya!Satu minggu berlalu setelah ia memberitakan kabar sukacita yang rupanya juga disambut dengan cukacita oleh anggota keluargaku. Pekerjaan Muti yang pertama setelah lulus kuliah. Lagi dan lagi, apa yang dia lakukan membuatku iri sekaligus minder di saat yang bersamaan. “Ayolah, aku sudah
Read more
78. Rencana
Muti hanya bisa tertawa saat selesai mendengarkan kalimatku tadi. Memang lucu sih bila membayangkan Cintia sudah melupakan jika ia masih harus kembali dan bersiap untuk wisuda. Tapi apakah ada orang yang seperti itu? Aku selalu bertanya-tanya tentang hal ini. Apa boleh seseorang tidak hadir dalam acara wisudanya? Hm … menarik untuk dibahas, bukan?Lupakan tentang itu. Intinya adalah aku akan kembali ke kota tempat kuliahku satu minggu sebelum acaranya dilaksanakan. Tidak ada alasan khusus, sih—ini lebih ke ada satu hal di luar urusan kampus yang ingin aku cicil. Ini tentang mencari tahu di mana keberadaan Bima yang sebenarnya.Beberapa hari yang lalu, aku sudah menghubunginya. Bukan hanya itu, aku juga mengatakan padanya bahwa akan mempertemukan Lara dan dirinya. Alih-alih langsung percaya, Bima malah menolak. Ia bahkan mengatakan padaku seorang pe
Read more
79. Gelisah?
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil. “Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status