All Chapters of Atas Nama Pohon Suci: Chapter 31 - Chapter 40
52 Chapters
30 | Sang Putri Kaisar
DI beranda, Suk Budi sepertinya mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Rupanya, dia mengambil cangklong bambu-gading berukir, korek api, dan sejumput tembakau dan cengkeh. Suk Budi duduk di seberang Koh Vincent yang sibuk mengamati kliping berita.Cangklong itu pipa rokok atau once, kalok kalen gak tau.Jari-jari Suk Budi tampak lincah saat mencampur tembakau dan cengkih. Ramuan jamu itu dia masukkan ke ujung pipa yang menyerupai cawan. Suk Budi kemudian membakarnya dengan korek api.Pria tua Tionghoa ini memejamkan mata dan menghirup nikotin dengan sungguh-sungguh. Asap yang keluar dari mulutnya sama seperti asap knalpot becak tua.Saat menghisap pipa rokok, Suk Budi terlihat lebih karismatik. Tapi menurutku, dia juga pria berkelas. Cangklong memang perangkat legendaris. Berdasarkan sejarahnya, alat tersebut sudah digunakan jauh sebelum industri rokok berkembang.Setelah itu, Suk Budi putar berdiri lalu mengantarku masuk ke ruang tamu da
Read more
31 | Rahasia Putri Cina
DARI kejauhan, aku melihat lampu pengatur lalulintas berubah menjadi merah. Kuhentikan mobil di belakang mobil pikap yang mengangkut sejumlah penumpang bergamis. Mereka tampak sedang koor dengan bahasa Arab yang tak aku tahu artinya. Bunyi rebana-rebana membahana mengalahkan bising lalulintas. Ada acara apaan, tanyaku dalam hati?Setelah berkendara beberapa lama, kami masuk Jalan Ahmad Yani. Dari kejauhan, aku bisa melihat gedung Emerald Exhibition and Convention Center diterangi lampu-lampu sorot yang diarahkan ke langit. Puluhan mobil tampak mengular antre demi masuk ke parkiran.FYI, Gedung Emerald ini merupakan salah satu gedung paling megah se-Kota Surabaya. Bangunan ini biasanya dipakai untuk perhelatan acara besar, seperti kongres partai politik, pameran otomotif, hingga bursa lowongan kerja.Selain itu, Gedung Emerald ini memang biasa dipakai oleh orang-orang kaya menggelar resepsi, lantaran ballroom-nya yang super luas dan desainnya yang modern. Fasilit
Read more
32 | Rasa Ingin Tahu
“BENERAN, nih, Mel,” tanyaku setengah menggeram.Amelia tak langsung menjawabku. Dia malah memarahi manja Kirana karena telah membocorkan rahasianya. Menurutku sih, itu bukan keterampilan yang mesti dia rahasiakan.Demi memproses informasi yang terbaru tentang Amelia ini, aku pun pamit ke dua cewek ini untuk menenangkan diri di luar gedung. Sementara dua cewek cantik ini, melanjutkan mengobrol cantik mereka. Padahal aku cuma ingin merokok.Di luar gedung, aku bisa melihat Jalan Ahmad Yani yang hidup. Cahaya-cahaya dari lampu kendaraan melesat-lesat tak keruan. Di awang-awang, langit tampak cerah menampilkan kerlap-kerlip bintang. Aku jadi membayangkan si Amelia di tengah panggung memainkan biola, sambil disorot lampu. Betapa syahdunya.Di tengah menatap langit itu, aku tiba-tiba teringat dua lintang kemukus yang menjelma bidadari, kemarin. Juleha. Aku periksa WhatsApp di ponsel. Doi tak juga membalas. Rokokku pun sudah habis. Setelah mematikan
Read more
33 | D Minor
AKU pun masuk barisan sambil malas-malasan.Kirana berinisiatif swafoto berempat. Kami pun mulai berpose menyesuaikan diri dengan lebar layar kamera. Dan, cekrek, bunyi shutter ponsel. Kirana lantas melihat-lihat hasil foto lalu mengaguminya. Pada saat itu, ada suara berbisik di telingaku.“Sopo maneh iki?” bisik Mas Inod kepadaku. (Siapa lagi ini?)“Ojok mulai nggosip,” aku menjawab. (Jangan mulai bergosip)“Lha, yang berhijab dulu mana?” tanya Mbak Wulan berbisik.“Jangan mulai bergosip,” aku mengulangi.Kirana lantas berbalik mengadap kami bertiga. Mas Inod, Mbak Wulan dan aku pun langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa.Aku dan Kirana lantas bersalaman, lalu mengucap terima kasih kepada Mas Inod dan Mbak Wulan. Kirana pun berbalik dan mulai berjalan di depanku. Ketika itu, pantatku didorong Mas Inod, hingga ‘senjataku’ hampir menyentuh pantat Kirana. Untung aku pu
Read more
34 | Persimpangan
Bunyi dawai-dawai yang digesek busur Amelia Limantoro sungguh menghanyutkan. Seolah-olah perasaanku yang campur aduk malam ini, terwakili oleh permainan biolanya yang menakjubkan.Aku merasa, ada kebahagiaan dalam nada-nada mayor, dan ada pula kesedihan dalam nada-nada minor. Semuanya terjalin kelindan dalam satu harmoni yang agung. Sampai-sampai, aku tak sadar tanganku menggenggam tangan Juleha.Kendati terkejut, aku tak ingin segera melepas genggaman tanganku padanya. Aku masih bersikukuh merasakan kasarnya telapak tangan Juleha. Pikiranku seakan terhubung, betapa keras dan seringnya telapak ini digunakan, hingga menimbulkan bilur dan lecet. Sebagai laki-laki, aku jelas tak sampai hati. Juleha adalah wanita yang kuat nan tabah.Seingatku, sejak kami masih kecil aku tak pernah menyentuhnya dengan sengaja, walau sekedar telapak tangan. Meski Juleha orang yang suka ngomel, aku sangat menghormatinya, sebagai seorang perempuan. Tapi, aku sendiri tak mengerti, menga
Read more
35 | Kawan Lama
 “JUWONO!” panggil Suk Alex. “Ambil kursi, bawa ke sini!”Yang dipanggil pun manut. Ketika berdiri dari tempatnya duduk, aku bisa melihat, perawakan Juwono ini jangkung nan tegap. Dengan balutan jas hitam, dia seperti pengawal pribadi Suk Alex. Rambutnya yang pendek rapi, membingkai wajahnya yang oval.Dengan berkacamata, ada kharisma sekaligus kecerdasan yang terpancar. Aku menaksir, usianya setara dengan Koh Vincent, putra sulung Suk Budi. Juwono menyeringai, membetulkan kerah jas, lalu menuruti perintah bapaknya.“Itu putra tertua Suk Alex,” bisik Amelia.Ketika Amelia berbisik itu, aku bisa mengendus aroma mint. Ingin rasanya kugeser pipiku supaya bertemu bibirnya yang tipis-mungil itu. Tapi, aku jadi bertanya-tanya, apa yang telah diperbuat kakekku, sehingga cucunya bisa menerima kehormatan, diambilkan kursi secara langsung oleh putra sulung tuan rumah.Oleh Juwono, kursi yang diambilkannya itu kemudian
Read more
36 | Kawan Lama 2
"Ambil itu! Yang itu juga!" orang Tionghoa tua itu memerintahkan dengan suara yang keras dan serak kepada anak buahnya.Para katering yang sibuk merapikan makanan tampak ketakutan oleh beberapa orang besar yang mendatangi mereka. Padahal mereka sama-sama orang Jawa.Tiba-tiba aku merasakan seseorang memperhatikan aku lagi. Kali ini, lebih intens dari sebelumnya."Troy!" sapa Alex dengan berdiri lantas membuka tangannya lebar-lebar."Dasar tua bangka! Ngundang gua ke pesta malam-malam!" jawabnya kasar lalu menyapa Alex dengan pelukan ramah.Dari jarak sedekat ini, aku bisa menamatkan wajah enkong Tionghoa satu ini. Wajahnya persegi dibalut rambut cepak ala militer njeprak. Bekas luka di wajahnya yang aku sebutkan sebelumnya, bukan luka bekas luka sayat atau akibat benda tajam lainnya, tapi lebih seperti luka bakar. Dan itu berbekas di separuh wajah dan telinganya.Orang tua yang dipanggil Troy itu lalu menatap Cak Ji. Dia tersenyum sejenak la
Read more
37 | Pop the Cherry (21+)
VROOOMMM! Gemuruh suara kenalpot mobil mungilku melengkapi suasana semarak kerlap-kerlip lampu kota metropolitan. Kendati sudah hampir larut, denyut hiruk pikuk kehidupan masih kentara di kota terbesar kedua di Indonesia ini.Di Jalan Ahmad Yani ini, aku mendengar suara gemuruh memburuku dari arah belakang. Aku menoleh dari kabin kemudi, gandengan gerbong-gerbong kereta api melesat mendahuluiku. Kugeser tuas perseneling manual mobil lebih tinggi lagi. Lantas kutancap pedal gas lebih dalam.Aku berpikir, apa yang ada di benak Juleha saat dia tahu aku dan Amelia pulang malam-malam begini. Apalagi dengan adegan dalam kabin mobil tadi. Aku khawatir Juleha salah paham. Pada saat yang sama, aku  memergoki Juleha sedang bersama dengan pria lain. Aku tidak terima!"Mau ke mana kamu habis ini, Lang?" tanya Amelia malu-malu."Gak  tahu!" aku tidak sadar mengatakannya dengan berseru.Dari paparan cahaya lampu kota yang menembus kaca depan mobil, aku
Read more
38 | Selamat Datang
DOK! Dok! Dok!Bunyi nyaring pintu diketuk itu membuatku terbangun tipis-tipis. Siapa pula yang mengganggu waktu istirahatku? Padahal, setelah semua yang terjadi semalam, aku masih ingin tidur lebih lama lagi. Khususnya momen hangat dengan Amelia. Doi benar-benar menguras habis tenagaku.Dok! Dok! Dok!"Mas, digoleki Cak Kentung," suara Yeyen dari balik pintu kamarku."Opo?" aku setengah sadar. "Kentung opo'o?""Metuo!" perintah Yeyen. (Keluarlah!)“Yo!”Jam berapa sekarang? Aku pun merenggangkan otot lantas meraih ponsel dengan malas-malasan. Layar ponselku menampilkan angka 09.00 A.M. What? Baru jam sembilan pagi rupanya. Aku kira sudah jam sebelas atau malah jam dua belas. Jadi, baru sekitar lima jam saja aku tertidur. Kendati begitu, aku tak merasa pusing, meski sedikit capek.Aku pun keluar rumah untuk menunjukkan kalau aku sudah bangun. Di luar rumah, Kentung sedang terduduk di badukan rumahku sambil merokok.
Read more
39 | Sang Hawa
CEWEK itu lantas berlari-lari kecil menuju warung Yuk Tari. Aku harus menguatkan diri. Soalnya, dua tonjolan itu mengayun seakan hendak lepas dari tempatnya. Aku ingin sekali menolongnya.Kukeluarkan satu bungkus rokok dari saku, mengambil sebatang, dan menyalakannya. Aku meletakkan sebungkus rokok itu di atas meja. Joko menyambarnya tanpa meminta izinku. Ya, aku tahu apa itu voluntary cooperation, mutual aid, and direct action. Benar-benar bocah punk sejati.“Yuk Tari," sapa cewek itu kepada pemilik warung. "Tumbas sabun?"Oh, mau beli sabun rupanya.Seakan mengetahui ada cowok di sampingnya, dia menoleh. Saat saling menatap itulah, aku dibuatnya terkejut. Rupanya, cewek ini yang melempar cium jauh kepadaku dari atas mobil pikap yang berjalan, tempo hari.Anjir! Kok malah ketemu di sini, sih.Woi! Kok doi malah melengos? Gak ingat aku apa? Yang kasih dia cium jauh duluan itu. Aku protes dalam hati. Padahal, cium jauh itu aku lakukan u
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status