AKU pun masuk barisan sambil malas-malasan.
Kirana berinisiatif swafoto berempat. Kami pun mulai berpose menyesuaikan diri dengan lebar layar kamera. Dan, cekrek, bunyi shutter ponsel. Kirana lantas melihat-lihat hasil foto lalu mengaguminya. Pada saat itu, ada suara berbisik di telingaku.
“Sopo maneh iki?” bisik Mas Inod kepadaku. (Siapa lagi ini?)
“Ojok mulai nggosip,” aku menjawab. (Jangan mulai bergosip)
“Lha, yang berhijab dulu mana?” tanya Mbak Wulan berbisik.
“Jangan mulai bergosip,” aku mengulangi.
Kirana lantas berbalik mengadap kami bertiga. Mas Inod, Mbak Wulan dan aku pun langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa.
Aku dan Kirana lantas bersalaman, lalu mengucap terima kasih kepada Mas Inod dan Mbak Wulan. Kirana pun berbalik dan mulai berjalan di depanku. Ketika itu, pantatku didorong Mas Inod, hingga ‘senjataku’ hampir menyentuh pantat Kirana. Untung aku pu
Bunyi dawai-dawai yang digesek busur Amelia Limantoro sungguh menghanyutkan. Seolah-olah perasaanku yang campur aduk malam ini, terwakili oleh permainan biolanya yang menakjubkan.Aku merasa, ada kebahagiaan dalam nada-nada mayor, dan ada pula kesedihan dalam nada-nada minor. Semuanya terjalin kelindan dalam satu harmoni yang agung. Sampai-sampai, aku tak sadar tanganku menggenggam tangan Juleha.Kendati terkejut, aku tak ingin segera melepas genggaman tanganku padanya. Aku masih bersikukuh merasakan kasarnya telapak tangan Juleha. Pikiranku seakan terhubung, betapa keras dan seringnya telapak ini digunakan, hingga menimbulkan bilur dan lecet. Sebagai laki-laki, aku jelas tak sampai hati. Juleha adalah wanita yang kuat nan tabah.Seingatku, sejak kami masih kecil aku tak pernah menyentuhnya dengan sengaja, walau sekedar telapak tangan. Meski Juleha orang yang suka ngomel, aku sangat menghormatinya, sebagai seorang perempuan. Tapi, aku sendiri tak mengerti, menga
“JUWONO!” panggil Suk Alex. “Ambil kursi, bawa ke sini!”Yang dipanggil pun manut. Ketika berdiri dari tempatnya duduk, aku bisa melihat, perawakan Juwono ini jangkung nan tegap. Dengan balutan jas hitam, dia seperti pengawal pribadi Suk Alex. Rambutnya yang pendek rapi, membingkai wajahnya yang oval.Dengan berkacamata, ada kharisma sekaligus kecerdasan yang terpancar. Aku menaksir, usianya setara dengan Koh Vincent, putra sulung Suk Budi. Juwono menyeringai, membetulkan kerah jas, lalu menuruti perintah bapaknya.“Itu putra tertua Suk Alex,” bisik Amelia.Ketika Amelia berbisik itu, aku bisa mengendus aroma mint. Ingin rasanya kugeser pipiku supaya bertemu bibirnya yang tipis-mungil itu. Tapi, aku jadi bertanya-tanya, apa yang telah diperbuat kakekku, sehingga cucunya bisa menerima kehormatan, diambilkan kursi secara langsung oleh putra sulung tuan rumah.Oleh Juwono, kursi yang diambilkannya itu kemudian
"Ambil itu! Yang itu juga!" orang Tionghoa tua itu memerintahkan dengan suara yang keras dan serak kepada anak buahnya.Para katering yang sibuk merapikan makanan tampak ketakutan oleh beberapa orang besar yang mendatangi mereka. Padahal mereka sama-sama orang Jawa.Tiba-tiba aku merasakan seseorang memperhatikan aku lagi. Kali ini, lebih intens dari sebelumnya."Troy!" sapa Alex dengan berdiri lantas membuka tangannya lebar-lebar."Dasar tua bangka! Ngundang gua ke pesta malam-malam!" jawabnya kasar lalu menyapa Alex dengan pelukan ramah.Dari jarak sedekat ini, aku bisa menamatkan wajah enkong Tionghoa satu ini. Wajahnya persegi dibalut rambut cepak ala militer njeprak. Bekas luka di wajahnya yang aku sebutkan sebelumnya, bukan luka bekas luka sayat atau akibat benda tajam lainnya, tapi lebih seperti luka bakar. Dan itu berbekas di separuh wajah dan telinganya.Orang tua yang dipanggil Troy itu lalu menatap Cak Ji. Dia tersenyum sejenak la
VROOOMMM! Gemuruh suara kenalpot mobil mungilku melengkapi suasana semarak kerlap-kerlip lampu kota metropolitan. Kendati sudah hampir larut, denyut hiruk pikuk kehidupan masih kentara di kota terbesar kedua di Indonesia ini.Di Jalan Ahmad Yani ini, aku mendengar suara gemuruh memburuku dari arah belakang. Aku menoleh dari kabin kemudi, gandengan gerbong-gerbong kereta api melesat mendahuluiku. Kugeser tuas perseneling manual mobil lebih tinggi lagi. Lantas kutancap pedal gas lebih dalam.Aku berpikir, apa yang ada di benak Juleha saat dia tahu aku dan Amelia pulang malam-malam begini. Apalagi dengan adegan dalam kabin mobil tadi. Aku khawatir Juleha salah paham. Pada saat yang sama, aku memergoki Juleha sedang bersama dengan pria lain. Aku tidak terima!"Mau ke mana kamu habis ini, Lang?" tanya Amelia malu-malu."Gak tahu!" aku tidak sadar mengatakannya dengan berseru.Dari paparan cahaya lampu kota yang menembus kaca depan mobil, aku
DOK! Dok! Dok!Bunyi nyaring pintu diketuk itu membuatku terbangun tipis-tipis. Siapa pula yang mengganggu waktu istirahatku? Padahal, setelah semua yang terjadi semalam, aku masih ingin tidur lebih lama lagi. Khususnya momen hangat dengan Amelia. Doi benar-benar menguras habis tenagaku.Dok! Dok! Dok!"Mas, digoleki Cak Kentung," suara Yeyen dari balik pintu kamarku."Opo?" aku setengah sadar. "Kentung opo'o?""Metuo!" perintah Yeyen. (Keluarlah!)“Yo!”Jam berapa sekarang? Aku pun merenggangkan otot lantas meraih ponsel dengan malas-malasan. Layar ponselku menampilkan angka 09.00 A.M. What? Baru jam sembilan pagi rupanya. Aku kira sudah jam sebelas atau malah jam dua belas. Jadi, baru sekitar lima jam saja aku tertidur. Kendati begitu, aku tak merasa pusing, meski sedikit capek.Aku pun keluar rumah untuk menunjukkan kalau aku sudah bangun. Di luar rumah, Kentung sedang terduduk di badukan rumahku sambil merokok.
CEWEK itu lantas berlari-lari kecil menuju warung Yuk Tari. Aku harus menguatkan diri. Soalnya, dua tonjolan itu mengayun seakan hendak lepas dari tempatnya. Aku ingin sekali menolongnya.Kukeluarkan satu bungkus rokok dari saku, mengambil sebatang, dan menyalakannya. Aku meletakkan sebungkus rokok itu di atas meja. Joko menyambarnya tanpa meminta izinku. Ya, aku tahu apa itu voluntary cooperation, mutual aid, and direct action. Benar-benar bocah punk sejati.“Yuk Tari," sapa cewek itu kepada pemilik warung. "Tumbas sabun?"Oh, mau beli sabun rupanya.Seakan mengetahui ada cowok di sampingnya, dia menoleh. Saat saling menatap itulah, aku dibuatnya terkejut. Rupanya, cewek ini yang melempar cium jauh kepadaku dari atas mobil pikap yang berjalan, tempo hari.Anjir! Kok malah ketemu di sini, sih.Woi! Kok doi malah melengos? Gak ingat aku apa? Yang kasih dia cium jauh duluan itu. Aku protes dalam hati. Padahal, cium jauh itu aku lakukan u
"MAU, aku kasih les tambahan," Sekar menawariku dengan lembut nan manja.Ya ampyun! Suaranya merdu sekali sampai terngiang-ngiang di telingaku. Aku tak ingin kesyahduan ini cepat berakhir. Biarkan saja dia merajuk nantinya. Yang penting aku ingin menikmati kehangatan sekaligus keda ..."Mas!" ada suara perempuan lainnya. "Mas, woi!"Aku terkejut dengan sentakan Yuk Tari. Sampai-sampai, gelas es teh-ku nyaris tersenggol lenganku. Lho! Mana si Sekar tadi? Aku pun menoleh ke kanan dan kiri. Doi raib, coy!"Sekar nang ndi, Yuk?" tanyaku panik."Wes balik nang Arini" katanya. "Lha sampeyan dijak, meneng ae.”Anjir! Sampai ngelamun aku dibuatnya."Hape-ne sampeyan muni terus iku, loh!" Yuk Tari memberitahuku.Aku pun mengambil ponsel, lalu kulihat ada nama Kentung, menelepon via WhatsApp. Ada apa raja tuyul itu menghubungi?"Halu?" aku menjawab panggilannya."#$_&=©%," kata Kentung."Opo?" aku gak
BELUM jauh meninggalkan rumah berserabut hitam Pak Wayan, alarm radar feromonku meraung-raung. Aku pun mendorong tubuh sekaligus kepala sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Meskipun aku tahu, kalau posisi duduk tegak pun jangakauan pandanganku sama saja.Tapi aku bersikeras fokus menemukan Sekar!Rupanya, di blok ini, semakin banyak perempuan usia produktif yang berseliweran. Di sebelah kanan-kiri jalan, aku bisa melihat setiap rumah memasang kaca besar seukuran terasnya.Di kaca itu, tertempel semacam stiker kayak yang tertempel di kaca kios-kios tukang pangkas rambut. Ada yang bertuliskan BARBARA, MADONNA, ANGELA dan lain sebangsa nama-nama hot lainnya. Dari balik kaca jendela, aku memergoki ada sejumlah cewek ketawa-ketiwi di dalamnya.Sedikit lebih jauh, di sebelah kiri, aku bisa melihat kedai semipermanen punya Yuk Tari. Ternyata, dari blok ini, bisa memotong jalan melintasi rumah-rumah yang gak berpagar, ke blok lainnya, seperti ke blok-nya Yuk Tari