All Chapters of Pendekar Mayat Bertuah.: Chapter 41 - Chapter 50
255 Chapters
Pangeran yang gagal paham
Setelah selesai mendengarkan Pangeran Cayapata bercerita Dipasena bermaksud ingin kembali membahas rencananya yang telah gagal itu.  "Nanda Pangeran," panggil Dipasena.  "Iya Paman, ada apa?" sahut sang Pangeran.  "Aku pun sangat mendukung hasrat Nanda Pangeran untuk bisa memiliki Ratu Manika," ujar Dipasena memulai aksinya dengan memuji Pangeran Cayapata terlebih dulu.  "Iya, bagus," jawab Pangeran singkat.  "Menurutku rencana ini bukan sembarang rencana, ini adalah sebuah rencana yang sangat besar, yang sangat memerlukan perencanaan, pengaturan strategi dan pengeksekusian yang tepat pula," papar Dipasena memberi penjelasan. "Ya memang benar, memang inilah yang aku inginkan," timpal Pangeran Cayapata. "Lalu apakah Nanda Pangeran Cayapata sudah memiliki rencana untuk itu? Dan kira-kira kapan akan memulainya?" tany
Read more
Ide gila Dipasena
"Lalu kalau tidak berperang bagaimana bisa aku menyingkirkan Ayahanda Prabu Paman?" tanya Pangeran terlihat masih bodoh dalam urusan itu. "Tenang Nanda Pangeran, ada cara lain yang lebih jitu dibanding bertarung," ujar Dipasena sambil menatap Pangeran Cayapata. "Apa itu?" tanya Pangeran Cayapata dengan segera. "Racun," sahut singkat Dipasena. "Apa?! Racun?!" seru Pangeran Cayapata nampak kaget. "Ya, benar Pangeran .. racun. Racun adalah cara yang senyap tanpa adanya kegaduhan namun cukup jitu untuk melenyapkan nyawa seseorang," timpal Dipasena meyakinkan. Sesaat sang Pangeran terlihat masih berpikir dengan saran Rakryan Dipasena itu, namun tidak lama kemudian dia pun kembali berkata merespon ucapan sepupu Ayahandanya itu. "Ya, ya, aku tidak pernah berpikir sebelumnya sama sekali. Baiklah Paman, aku sangat setuju dengan usulanmu itu tadi, tapi ngomong-ngomong racun apakah yang nanti akan aku gu
Read more
Nasehat Dipasena
"Ya gak mungkinlah kalau sampai aku keluar istana tanpa sepengetahuan dari Ayahanda Prabu, ya paling tidak Gusti Ratu Bhanuwati juga harus tahu, karena kalau sampai aku nekad pergi dan Gusti Prabu atau Ratu Bhanuwati tidak tahu, maka kalau sewaktu-waktu mereka mencari aku kan bisa bahaya? Iya kan?" terang Dipasena sambil melontarkan tanya pada sang Pangeran, dan terlihat Pangeran Cayapata juga langsung mengangguk pelan, menandakan kalau dia juga bisa memahami dengan apa yang dimaksudkan oleh Pamannya itu.  Sesaat Dipasena berhenti melanjutkan ucapannya, sengaja dia memberi waktu untuk Ponakannya itu kalau memang dia mau menyanggah ucapannya tadi, namun setelah beberapa saat ditunggu sang Pangeran tidak juga kunjung berbicara, akhirnya Dipasena pun kembali melanjutkan kata-katanya.  "Karena gini Nanda Pangeran ... aku itu tidak ingin rencana besar ini terbongkar, makanya sengaja saya akan memerintah ke beberapa Prajurit pilihan untu
Read more
Hasrat Ranggawuni
"Mungkin saja Wuni, apa sih di dunia ini yang tidak mungkin kalau memang sudah menjadi kehendak Dewata Agung?" balas Adhinata dengan jawaban yang terbilang sudah mentok. "Widih ... makin mantap saja temanku ini, ya udah kalau gitu saya mohon pamit aja, karena kayaknya sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," timpal Ranggawuni dengan berpura-pura sewot. "Lho yo jangan mutung gitu to ... gini lho ya, mengenai mayat sakti itu sebenarnya ya seperti yang banyak orang ketahui itu, bahwasannya tidak akan pernah ada orang yang bisa masuk ke dalam Goa itu kecuali lewat Tuan Biswara, atau kalaupun toh ada, sudah pasti orang tersebut benar-benar memiliki kesaktian yang melebihi Tuan Biswara. Tapi jujur, aku sendiri tidak yakin kalau saat ini ada pendekar yang mampu menandingi kesaktian beliau, karena aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku ini," ujar Adhinata menerangkan pada Ranggawuni. "Benarkah itu Adhinata?!" tim
Read more
Obrolan berlanjut
"Wah ... benar-benar luar biasa, itu kamu dengan naik kuda kan?" lanjut Ranggawuni bertanya.  "Lha iya to, bahkan tuah dari rambut mayat sakti itu juga dirasakan oleh kudaku," tutur Biswara mengisahkan. "Masak to?! Memangnya tuah seperti apa yang bisa dirasakan oleh kudamu itu Adhinata?" lanjut tanya Ranggawuni nampak makin penasaran dengan cerita sahabatnya itu. "Ya larinya to Wuni, pokoknya kudaku itu sudah seperti kilat saja larinya, banyak sungai dan jurang yang ketika berangkat harus aku lewati dengan memutar arah, namun pulangnya ketika aku sudah membawa rambut sakti itu, kudaku mampu melewati sungai dan jurang tersebut hanya dengan sekali lompatan saja," lanjut papar Adhinata mengenang.  "Tapi kira-kira kalau selain kamu ada gak orang-orang istana yang berminat untuk mendapatkan mayat sakti itu?" tanya Ranggawuni.  "Kalau yang berminat sih kira-kira ya banya
Read more
Menguatkan tekad
"Kok saya merasa saat ini pendapat orang sama ya dalam urusan kekuatan," ujar Ranggawuni yang dirasa nampak masih belum jelas oleh Adhinata. "Sama? Maksud kamu?" timpal balik Adhinata dengan ekspresi muka nampak seperti masih bingung dengan ucapan dari sahabatnya itu.  "Ya saat ini menurutku... tentu ini terlepas dari benar atau salah lo ya? Saat ini saya merasa semua orang, terlebih yang menjadi pendekar, kok pada berpendapat dan meyakini bahwa sumber kekuatan hanya ada pada mayat sakti itu to Adhinata? Semua mata pendekar seolah hanya tertuju padanya saja, tidak perduli dari golongan mana mereka berasal," lanjut ujar Ranggawuni "Ya benar sekali Wuni, saya pun juga berpendapat sama seperti kamu itu, bisa dibilang, saat ini memang seperti sudah tidak ada lagi benda pusaka lain yang mampu menandingi kekuatan yang ada pada mayat sakti tersebut," balas Adhinata mengukuhkan pendapat sahabatnya itu. 
Read more
Salam perpisahan
Ranggawuni dan Adhinata pun terus ngobrol hingga larut malam, sementara dua orang murid Ranggawuni nampak telah tertidur dengan pulas di kursi yang ada di taman halaman rumah Adhinata. Dan sebagai seorang sahabat lama yang lama tidak ngobrol ditambah memang sudah memiliki kecocokan satu sama lain maka begitu kesempatan ngobrol itu ada topik yang mereka berdua obrolkan pun tidak pernah habis, dari satu tema ke tema yang lain, hingga tidak terasa waktu pun telah melewati tengah malam. "Gimana Wuni apakah kamu sudah ngantuk?" tanya Adhinata sambil melihat ekspresi muka sahabatnya yang memang nampak terlihat letih itu. "Ah, enggak. Biar sekalian tembus sampai fajar, lagian kayaknya tidak akan lama lagi fajar juga akan muncul," balas Ranggawuni. Meski selama ngobrol dari kemaren sore tidak terlihat menguap, namun Adhinata sebenarnya juga tahu kalau sahabatnya itu pasti letih, karena memang belum istirahat sama sekali sejak kedatangannya kemarin.&nbs
Read more
Darto dan Darso
"Waduh! Apa ini kok basah-basah?" seru si Pardi nampak kaget. Sebenarnya entah memang gak tahu atau cuma iseng, tangannya yang baru saja menyentuh pantat kuda yang basah itu malah dia dekatkan ke arah hidungnya, dan sontak saja dia pun kembali berteriak. "Bbuah! Juih! Kurang ajar! Tahi Jaran!" ujarnya sambil jingkrak-jingkrak dengan meludah-ludah. Lalu dia pun langsung berlari menuju ke tempat mandi para pegawainya Tuan Dipasena untuk sekedar membersihkan tangan dan hidungnya itu.  "Tolong bersihkan dulu ki Warso!" seru si Pardi sambil berlari. Sementara itu ki Warso sendiri begitu melihat tingkah si Pardi itu malah tertawa terkekeh-kekeh.  "Eh, eh, eh ... tadi kan aku sudah bilang ... kalau kudanya itu belum dibersihkan ... tapi kamu maksa dan katanya tidak apa-apa ..." ujar pria setengah baya itu. Lalu dengan masih terkekeh-terkekeh ki Warso pun segera menuntun kuda itu ke tempat pemandian biasanya. 
Read more
Menghadap Gusti Dipasena
Si Pardi pun terus melaju kudanya dengan tidak terlalu cepat, dan Darso pun mengetahuinya.  "Dasar bocah gemblung! Disuruh segera pulang malah jalan pelan-pelan," ujar Darso sambil kembali masuk ke dalam rumah. Lalu begitu Darso masuk rumah rupanya si Darto yang tadi masih tidur nampak sudah bangun dan juga dua perempuan panggilan mereka itu.  "Siapa itu tadi So?" tanya Darto.  "Pardi," jawab Darso singkat.  "Si Pardi nya Gusti Dipasena?" lanjut tanya si Darto.  "Iya lah, memang siapa lagi kalau bukan dia?" balas datar si Darso.  "Gusti Dipasena memanggil kita ya?" tanya Darto lagi.  "Iya," jawab Darso singkat. "Tadi sempat tanya gak ke Pardi? Untuk tugas apa Gusti Dipasena memanggil kita?" "Tanya, cuma Pardi juga gak tahu. Dia tadi cuma bilang kalau Gusti Dipase
Read more
Mencari daun racun
"Mari ikut aku," ajak Dipasena sambil beranjak menuju ke ruangan bawah tanah yang ada di dalam rumahnya tersebut. Sementara itu sambil berjalan di belakang Dipasena baik Darto maupun Darso nampak sama-sama berpikir dan bertanya-tanya dalam hati. 'Apa sebenarnya yang mau sampaikan oleh Gusti Dipasena ini? Kok ngomongin nya sampai diajak ke ruang bawah tanah segala?'Kemudian begitu mereka bertiga sudah berada di ruang bawah tanah itu, Dipasena pun segera mempersilahkan Darto dan Darso untuk duduk. "Duduklah," ujar Dipasena sambil mengulurkan tangan kanannya. "Terimakasih Gusti," balas Darto dan Darso dengan kompak. Nampak dua pendekar kembar itu mengambil posisi duduk berhadap-hadapan. Untuk sekedar diketahui bahwa ruangan bawah tanah milik Dipasena itu terbilang cukup luas, karena di dalamnya terdapat tujuh buah kursi dengan satu kursi yang berukuran lebih besar berada dipaling ujung, sedangkan ke-enam kursi yang lain nampak
Read more
PREV
1
...
34567
...
26
DMCA.com Protection Status