Semua Bab Pernikahan Nona Smith: Bab 31 - Bab 40
186 Bab
Bab 31_ Kebohongan yang Membanggakan
Smith tidak bisa berhenti mengumpat. Ia sungguh jijik pada dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan di rumah sakit."Yang benar saja, buat apa aku memeluknya? Mengapa aku harus mengorbankan diri demi menyayat batin gadis sint*ng itu? Haaah, aku pasti sudah gila."Smith terus menggerutu sambil membaui badannya sendiri. Ia sudah mandi dengan menggunakan sabun lebih dari tiga kali. Smith juga telah menghabiskan satu botol parfum.Tapi gadis itu seolah masih bisa mencium bau badan Janu. Padahal Bibi Ipah sampai bersin berulangkali akibat wangi yang begitu menyengat dari tubuh Smith.Sudah barang tentu Smith tidak bisa menghilangkan bau badan Janu. Sebab bau itu melekat erat dalam pikirannya sendiri.Itu kali pertama Smith memeluk seorang lelaki, selain ayahnya. Dan Smith pun tidak mengerti pada jalan pikirannya sendiri. Smith bahkan selalu kesal pada Janu untuk semua hal yang ada pada diri pemuda itu. Tapi, tadi Smith malah memeluknya, di
Baca selengkapnya
Bab 32_ Dialog Menyedihkan Ayah dan Anak
Hendry memandang wajah putri kandungnya dengan khidmat. Ia tidak percaya jika putri kecilnya, kini sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Rasanya baru kemarin Smith berada di punggungnya, tertawa renyah saat berada dalam gendongannya.Waktu berjalan tanpa bisa dijeda. Dan segalanya terasa cepat karena ada banyak hal yang terlewat. Lebih tepatnya, ia lewatkan tanpa ada di sisi gadis itu.Hendry tersenyum. Melihat wajah Smith, sudah seperti melihat almarhum istrinya saat masih muda. Keduanya sungguh mirip. Hanya mata Smith yang berbeda. Mata itu sama persis dengan mata Hendry."Ayah senang kau ada di sini," ucap Hendry yang masih belum bisa bergerak bebas akibat cidera di punggungnya."Bagaimana kabarmu? Apa semua baik-baik saja? Maafkan ayah karena sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah membawa ayah ke rumah sakit,. Jika tidak, ayah tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Hendry lagi dengan senyum haru. Ia tahu, Smith masih sangat pedu
Baca selengkapnya
Bab 33_ Haram untuk Menangis
Sisil sungguh tidak tega melihat ayah sambungnya berwajah demikian sedih. Ia benar-benar mengerti betapa besar rasa sayang ayahnya pada Smith. Dan selama bertahun-tahun, Hendry sudah sangat menderita atas sikap Smith yang dingin dan tidak banyak bicara itu."Smith! Apa kau tidak mendengar ayahmu bicara? Ya ampun, aku bisa gila karena gadis keras kepala ini!" sambar Sinta lagi. Kali ini ia sampai berdiri dan berjalan mendekati Smith. Ia menatap tajam putri sambungnya itu.Smith berdiri dengan pandangan yang masih ke bawah. Ia selalu kesulitan untuk menatap mata ayahnya lantaran kebencian yang tidak terkira timbangannya. Membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk melakukan itu."Kau mau kemana, nak? Katakanlah sesuatu tentang keputusan ayah. Kau boleh menolaknya, memarahi ayah, bahkan kalau perlu pukul ayahmu ini.""Tidak, ayah. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Keputusan ayah selalu terjadi. Dan akan terus begitu. Sampai detik ini, bodyguard
Baca selengkapnya
Bab 34_ Helm Ber-SNI
"Smith, bagaimana ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?""Aku tidak percaya. Mengapa aku harus satu kelompok denganmu lagi? Menyebalkan sekali," ujar Smith yang duduk di jok belakang pada motor yang dikendarai Janu. Ia sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Janu.Janu yang mendengar dengan jelas ungkapan kekesalan Smith itu, tidak memberi tanggapan dan hanya tersenyum saja. Senyum yang sangat lebar.Ia juga tidak mengulangi pertanyaannya yang menguap tanpa jawab menyoal Hendry. Janu sangat yakin, Smith mendengarnya. Tapi gadis itu sepertinya memang tidak ingin membicarakan ayahnya. Ring... ring... ring..."Ponselmu berdering," kata Janu singkat, mengingatkan Smith lantaran tidak lekas mengangkat telepon karena masih sibuk menggerutu, meratapi nasibnya yang mesti satu kelompok lagi dengan Janu."Apa kau kira aku t*li? Diam dan fokus saja menyetir! Kau hampir menabrak pembatas tr
Baca selengkapnya
Bab 35_ Senyum Janu
Smith memasuki kamar Janu. Ia terkesan dengan kerapiannya. Semua barang tertata dengan apik hingga ruang yang luasnya hanya 3x4 meter persegi itu bisa menampung banyak barang dan tetap terlihat longgar. Tidak berjubel-jubel layaknya penumpang kereta api kelas ekonomi menjelang Lebaran. Kamar kecil Janu juga dilengkapi dengan rak kayu mini yang menempel di dinding. Rak itu dipenuhi buku-buku karya sastra. Ada novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, juga beberapa naskah drama. Namun dari sekian banyak benda di kamar Janu, mata Smith tertarik pada sebuah pigura kecil yang ada di atas meja dekat tempat tidur. Smith berjalan menghampiri pigura itu. Lantas duduk di atas ranjang, dan mengambil sebuah potret keluarga kecil. Ada ayah, ibu, dan seorang anak lelaki yang usianya mungkin sekitar tiga tahun. Smith mengamati wajah anak kecil itu. Meski foto itu sudah agak buram, Smith bisa melihat ada kemiripan ant
Baca selengkapnya
Bab 36_ Tawa Smith
"Tidak, tidak. Kau keliru. Mereka bukan orang tuaku. Itu paman dan bibiku.""Apa? Lalu dimana orang tuamu saat foto ini diambil? Mereka pasti sangat malu punya anak sepertimu, hahaha, sampai untuk berfoto saja tidak mau. Heeem, kasihan sekali mereka."Smith terkekeh, merasa sangat senang bisa menertawakan Janu. Ia sangat yakin, Janu tidak bisa membalas ejekannya kali ini.Dan Janu memang diam saja. Membiarkan Smith menuntaskan tawanya. Janu senang melihat Smith demikian. Itu kali pertama ia melihat Smith tampak begitu bahagia."Kenapa? Kenapa kau menjadi pendiam sekarang?" tanya Smith setelah tidak terbahak-bahak lagi."Sudah aku katakan padamu, ayah dan ibuku meninggal sebelum menjadi orang kaya, hehe."Janu memang sedang bercanda. Tapi Smith bisa melihat ada kesedihan yang disembunyikan Janu dalam mata kucingnya.Maka, raut wajah Smith pun berubah seketika. Kini i
Baca selengkapnya
Bab 37_ Kenyang Ocehan
Seperti biasa, pagi di kediaman Smith selalu pecah oleh omelan Sinta yang tiada akhir. Perempuan itu terus berbicara menyoal satu hal, yakni keburukan Smith. Mengeluh ini dan itu."Sudahlah, ma. Apa perlu marah-marah di meja makan?" kata Sisil lembut sambil menyodorkan segelas teh hangat untuk mamanya, supaya lebih tenang."Dimana Smith? Bibi Ipah, apa Smith sudah bangun?" tanya Hendry celingukan."Su....""Tentu saja belum!" sambar Sinta menyela ucapan Bibi Ipah. Membuat pembantu rumah tangga itu menelan ludahnya bersama sisa kata yang belum terucap."Dia saja jam setengah dua belas baru pulang. Sudah pasti sekarang masih molor. Heran, apa yang dilakukannya di luar sana hingga pulang tengah malam," ujar Sinta lagi sambil memotong roti di piringnya dengan penuh penekanan seperti sedang memotong leher seseorang. Kali ini membuat Bibi Ipah mengelus lehernya sendiri."Tidak, Nyonya. No
Baca selengkapnya
Bab 38_ Menyogok Tuhan?
Sinta tercekat atas komentar pedas Smith yang disampaikan dengan nada datar saja. Ia sudah tidak mengomel lagi, dan mulai mengalihkan rasa malunya dengan menyantap hidangan di piringnya."Jangan begitu. Tante Sinta hanya khawatir padamu. Makanlah. Bibi Ipah sudah memasak semua ini untukmu juga," ujar Hendry mengambilkan beberapa sendok sayur untuk Smith."Aku akan makan bersama Bibi Ipah dan Pak Jono di dapur. Aku merasa tidak cocok dengan meja mewah ini. Selamat menikmati."Smith pergi menggondol piring makannya tanpa mengambil kekesalan di batin Sinta. Ibu sambungnya itu bahkan sudah hampir berteriak karena dongkol. Tapi Sisil dan Hendry meminta padanya untuk menahan diri. "Biarkan saja. Yang penting dia mau sarapan. Tenangkan dirimu dan habiskan makananmu.""Hahaha...."Suara tawa Smith yang lantang dan panjang terdengar hingga ruang makan. Gadis itu sepertinya sangat bahag
Baca selengkapnya
Bab 39_ Batin Anak Pelakor
Sisil berdiri menunggu seseorang membuka pintu dengan perasaan tidak karuan. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.Sisil sadar dirinya sangat nekat. Saat melewati gerbang dan memasuki pekarangan rumah megah itu saja, ia sudah mengumpulkan segenap keberaniannya. Sisil tidak menduga jika ia membutuhkan lebih banyak keberanian untuk berada di depan pintu.Ting tong!Sisil memencet bel lagi karena sepertinya tidak ada yang mendengar bel yang ia bunyikan sebelumnya. Ia bisa melihat sendiri, bagaimana tangannya bergetar tidak berhenti. Apalagi setelah terdengar suara perempuan yang memintanya untuk menunggu sebentar.Sisil sangat mengenal suara itu. Berasal dari perempuan yang tidak pernah berhenti mengumpat pada mamanya. Dan sebagai balasan, mamanya memberi julukan yang sangat tidak pantas pada perempuan itu, "anj*ng penjaga".Sesaat terbesit dalam benak Sisil soal perkataan Smith tentang
Baca selengkapnya
Bab 40_ Teman Bertengkar
Sisil duduk di bangku panjang yang ada di taman kota. Ia menumpahkan semua air matanya, menangis sejadi-jadinya.Segala ucapan Sheira yang begitu menyakiti hatinya masih saja terdengar jelas di telinganya. Meski Sisil jelas tidak suka dengan segala ocehan sarkasme Sheira, masalahnya ia tidak bisa menolak itu. Sebab kenyataannya ucapan Sheira memang benar adanya."Sisil? Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menangis begini?"Janu yang baru datang di taman atas undangan Sisil sudah panik ketika mendengar suara isakan gadis itu melalui ponsel. Dan setelah melihat Sisil di bangku itu menangis sesenggukan sendiri saja, Janu menjadi semakin khawatir."Janu ...."Sisil memeluk erat Janu yang duduk di sampingnya. Ia membenamkan wajahnya yang menyedihkan ke dada Janu yang bidang."Tenanglah. Aku sudah di sini. Semua akan baik-baik saja."Janu mengusap rambut Sisil. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada temannya itu. Sisil belu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
19
DMCA.com Protection Status