Semua Bab Sang Penakluk: Bab 31 - Bab 40
217 Bab
Hati Terkikis
Keenan masih memimpin rapat hingga siang. Satu persatu problem yang muncul mulai menemui titik terang. Ada dana sebesar dua puluh milyar yang raib dalam lima tahun terakhir dari perusahaan ini. Sedangkan ia baru saja dia beli dari nenek tirinya. Inilah kenapa, perusahaan kopi kemas yang sudah berjalan puluhan tahun masih membutuhkan kucuran dana dari papanya. Rupanya pakde dan pamannya yang menguras keuntungan. Eyang Widari melakukan transfer yang cukup fantastis selama lima tahun terakhir hingga beberapa kali.  Keenan merasakan kegeraman pada keluarga papanya kembali memuncak. Dia tidak paham, kenapa ada manusia yang bisa menjadi benalu selama bertahun-tahun tanpa dikejar rasa bersalah. Di mana Nurani dan kewarasan mereka? Keenan akui, sebagai pribadi dia juga termasuk manusia yang berfoya-foya. Tapi setelah dia mulai terjun ke dunia bisnis, pria itu baru sadar, bahwa dirinya melakukan kesalahan yang sangat bodoh. Kucuran
Baca selengkapnya
Jiwa Yang Pahit
Selama makan malam, Alden mulai memaparkan hasil penyelidikannya tentang Bagus dan Sandi. Paman Keenan dan Siwi. “Om Bagus itu ternyata punya galeri batik sendiri di Jogja. Yang mengejutkan, tidak ada aktivitas pembuatan batik sama sekali. Dia hanya menerima tampungan batik dari pengrajin lokal. Yang paling mengejutkan, Om Sandi menjadi partnernya dalam mensupplai semua kebutuhan batik galerinya. Itu semua hanya untuk kedok, karena Mercure Asia mulai mengambil stok dari mereka sejak empat bulan yang lalu. Seminggu setelah kita menandatangani kontrak,” papar Alden. Siwi terlihat gemas dan jengkel dengan semua fakta yang terungkap satu persatu. “Dan maaf, akhirnya aku mulai mengulik satu persatu. Perusahaan Om Seto, ayah kalian, juga sudah disusupi sama Om Sandi dan Om bagus. Keduanya menjadi supplier terselubung untuk perusahaan garmen kalian. Om Seto mungkin nggak tau kalo benang yang mereka beli kualitasnya jelek. Kedua om kalian menyabotase dan
Baca selengkapnya
Langit Esok Masih Biru
Indira masuk kantor pagi itu dengan langkah gamang. Sekilas dia melihat Alden yang masuk bersama Siwi ke ruangan meeting. Hatinya berdesir. Terakhir kali dia bicara dengan Alden dalam suasana tidak menyenangkan. Dia ingin menghindari dan berusaha tidak ada pembicaraan yang harus dia lakukan dengan Alden. Indira mengakhiri keresahan hatinya dan memilih tenggelam dalam desainnya. Ada target yang harus dia penuhi. Mungkin itu yang terpenting saat ini. ***Alden membahas dengan Siwi tentang konsep butik yang akan mereka pasarkan dengan brand sendiri. Alden bahkan mengajukan diri eebagai investor untuk membangun pusat belanja yang akan mereka realisasikan dalam masa dekat. Shana muncul dan mereka semakin tenggelam dalam pembicaraan yang lebih mendalam. “Salatiga akan menjadi tempat yang tepat?” tanya Alden pada kedua wanita yang dia andalkan. “Mungkin akan sedikit sulit awalnya, tapi jika kita bisa menciptakan rumah mode atau pusat belanja
Baca selengkapnya
Mengerti Demi Kebaikan
Mudah mengucapkan, sulit melakukan. Itu dilema setiap manusia. Indira mencoba menepati ikrarnya untuk tidak menangis, namun setiap mengunjungi makam kakeknya, dia meratap. Langit kembali cerah hari ini. Indira mengayuh sepedanya kembali ke rumah. Dia berhenti sebentar di depan toko buku dan berniat membeli novel. Pengunjung tidak begitu ramai. Indira menuju ke kumpulan buku novel yang mungkin menarik minatnya. Sejenak dia tenggelam dalam pencarian. “Indi.” Gadis itu menoleh dan melihat Keenan berdiri dengan keranjang berisi buku. Dari sekilas Indira melihat, Keenan membeli buku yang berkaitan tentang kopi dan juga kemasan produk. “Keen,” sapa Indira kembali. Rasa canggung menguasai keduanya. “Kamu suka baca novel?” tanya Keenan. Indira mengangguk dan menunjukkan buku yang dia pilih. “Aku suka novel fantasi, ada rekomendasi?” tanya Indira basa basi. Keenan tidak menjawab namun berjalan ke jajaran rak buku dan men
Baca selengkapnya
Menyadari
Indira merapikan lembar gambar desain baju yang sudah selesai. Wajahnya tampak puas dan hatinya lega. Kini dengan langkah ringan, dia bisa menikmati jam isitrahat makan siang dengan tenang. Food court itu sudah ramai para pekerja kantoran yang mengejar makan siang. Indira melangkah menuju salah satu counter dan memesan makanan. Dia memilih meja kosong dan duduk sendiri. Tangannya sibuk memeriksa tab dan melihat koleksi baju yang bisa menjadi inspirasi. "Boleh ditemani?" Indira menoleh. Alden berdiri dengan gagahnya. Indira tersenyum dan memberi isyarat untuk duduk. "Kamu udah pesan makanan?" tanya Alden. "Udah, kamu?" jawab Indira balik bertanya. Alden mengiyakan. "Ada meeting dengan semua staff untuk menyampaikan perubahan rencana kita untuk ke depannya. Kamu kalo ada ide, sampaikan nanti," ucap Alden. "Konsep kalian pasti sudah bagus. Nggak sabar pengen tahu nih ...," sambut Indira. Ked
Baca selengkapnya
Nurani Shana
Shana mematutkan diri di cermin sekali lagi sebelum melangkah keluar. Pesta ulang tahunnya malam ini menang dirayakan sedikit meriah. Selain merindukan kehidupan glamornya dulu di Jakarta, Shana juga merindukan teman-teman lainnya hanya untuk sekedar mengisi kekosongan hati. Gaun selutut berwarna hijau tua yang membalut tubuhnya tampak pas melekat. Tubuhnya terlihat menawan. Dengan punggung terbuka dan bentuk gaun yang ketat tampak memperlihatkan liuk sempurnanya. Shana merasa percaya diri. Kulitnya yang putih bagaikan pualam terlihat makin kontras dengan warna bajunya. Rambut lebatnya yang sedikit mengombak dan panjang, dia biarkan tergerai. Shana tampil laksana bidadari. Riasan natural justru menampilkan kecantikannya hingga maksimal. Mungkinkah malam ini Alden akan menoleh padanya? Akhirnya dengan cepat dia memutuskan untuk segera ke luar.  Sepatu hak tinggi berwarna kulit, membalut kaki seksinya dan kini nilai sepuluh
Baca selengkapnya
Mengulang Dari Awal
Shana baru selesai mandi dan merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa segar menyingkirkan perasaan penuh emosinya. Berkat Siwi kini perlahan menyusut. "Udah mendingan?" tanya Siwi yang muncul di pintu kamar yang tidak terkunci. "Seger dan tenang," jawab Shana sembari menepuk kasurnya mengajak Siwi bergabung. "Tadi serem juga loe ngamuk," canda Siwi sembari melemparkan diri ke kasur. "Norak nggak sih?" "Enggak juga. Itu cewek yang namanya Dania emang belagu banget." "Gue muak banget, Wi. Kayak udah mentok semua simpati gue buat mereka. Belum apa-apa udah banyak gaya." "Nah itu, banyak gaya dan mentang-mentang. Gue dukung sih tindakan loe, Shan." "Thanks, Wi. Ini kayak flashback ...," "Hidupmu dulu, ya gue ngerti," potong Siwi. Mata Shana berkaca-kaca. Jika bukan karena siswa berprestasi, Shana tidak mungkin kuliah hingga ke Australia. Ibunya hanya pegawai Tata Usaha sebua
Baca selengkapnya
Aku Kenal Dia
Keenan mengakhiri rapat pagi itu dengan senyum mengembang. Setelah beberapa minggu selalu tampil murung, kini Keenan tampil berbeda. Fatar menyindir halus dan menggodanya. Keenan membalas dengan tertawa lepas. "Ada sesuatu beneran nih kayaknya, sudah dapat yang dikejarkah?" selidik Fatar yang berakhir menjadi dekat dengan Keenan karena semua saran baiknya tentang keuangan. "Lebih pada mengubah taktik dan cara pandang," sahut Keenan dengan helaan napas panjang. "Good, yang membuat suasana hati dan pikiran itu memang cara pandang kita, kok," timpal Fatar senang dengan perubahan baik pada atasannya. "Yup, seribu persen betul." Keenan membenarkan. "Fatar, aku boleh tanya hal pribadi?" tanya Keenan kemudian. "Please. Semoga saya bisa jawab, Pak," jawab Fatar ringan. "Bagaimana kamu bisa menikah muda dan bahagia? Aku lihat rumah tanggamu sangat harmonis dan sejahtera," lontar Keenan dengan dahi berk
Baca selengkapnya
Terungkap Keji
Alden membuka kembali file yang sudah ia dapatkan dan tampak termenung di meja kantornya. Pikirannya dipenuhi kebimbangan apakah dia harus memberitahu Siwi dan Keenan atau tidak. Resiko terburuknya adalah kedua sepupunya akan menuduh Alden sebagai perusak hubungan baik dan juga reaksi Indira yang mungkin akan terpuruk. Dilema sulit kini ia hadapi. Namun jika menutup semua itu, Alden sama saja dengan Widari beserta anteknya. "Al," sapa Siwi sudah nyelonong masuk dan duduk di hadapannya dengan kertas A3 denah gedung baru mereka. "Hei, Wi." Alden langsung tergagap dan buru-buru menutup dokumen yang terbentang di mejanya. Sayang, sebuah kertas perjanjian yang Haris temukan jatuh dan Siwi dengan sigap memungutnya. Alden pasrah saat Siwi kemudian membacanya. Wajah wanita yang sudah ia anggap kakak tampak pucat pasi. "Ini apa, Al?" tanya Siwi gemetar. Alden menelan ludah dengan tidak nyaman. "Bu
Baca selengkapnya
Masa Lalu Kelam
Tahun 1987Indri meminta suaminya supaya cepat bergegas. Ratno mengiyakan dan segera memakai sepatu.“Indi, mama sama papa pergi dulu ya, Sayang,” pamit Indri sambil mengecup buah hatinya yang baru berusia dua tahun.“Hati-hati di jalan. Ini kayaknya mau hujan!” seru Pramono sambil mengambil alih cucunya dari gendongan Indri, menantunya.“Iya, Pak. Kami cepat pulang kok. Paling bayar dan langsung pulang, Pak,” timpal Ratno dengan semangat.“Setelah ini selesai, kita bisa melanjutkan usaha dengan maksimal tanpa sangkutan hutang,” harap Ratno penuh optimis. Pramono tersenyum lembut.“Jangan lupa isi bensin sebelum jalan!” seru Pertiwi, ibu mereka. Ratno dan Indri mengiyakan dengan serentak.Pramono mengiringi kepergiaan keduanya dengan penuh doa. Indri dan Ratno berniat akan membayar hutang pada Widari. Pramono sudah tidak sanggup menghadapi tekanan dari Widari. Untunglah, sete
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
22
DMCA.com Protection Status