All Chapters of Semalam Bersamamu: Chapter 101 - Chapter 110
120 Chapters
Cuma Kamu
"Kinar siapa?" tanya Sara. Siapa? Aku bergegas menyelesaikan rutinitas mandiku di bawah pancuran setelah menyadari nama yang dia sebutkan. "Apa aku harus cerita semua?" teriakku sambil meraih handuk dari kabinet di samping wastafel Aku baru keluar kamar mandi ketika menangkap tangan Sara yang hampir membanting ponselku. Mungkin dia menemukan panggilan tidak terjawab dan pesan-pesan lama yang belum sempat dihapus. Bisa kulihat kedua bahu Sara naik turun, bernapas cepat dengan raut mengerut. "Inget temen sekelasmu yang pernah nembak aku?" Kurebut benda persegi empat dari genggaman Sara yang menguat. "Aku enggak nanya itu. Dia siapanya kamu sampai nelepon berulang kali?" Kedua tangan Sara memukul sisi kursi roda seakan enggak cukup hanya berteriak. Aku menarik napas dalam-dalam, berjongkok di depan Sara agar mampu menatap lurus padanya. Tanpa kebohongan. "Dengerin ya. Jangan ny
Read more
Batas
Isakan dari wanita di sisi membangunkanku. Aku sendiri masih ngerasa pengar, berat di bagian belakang kepala saat membuka mata. Aku menyamping, menatap wanita yang memunggungiku, mengeratkan pelukan seraya menciumi punggung polosnya yang tidak tertutupi selimut. "Maafkan aku. Maafkan aku, Ra." Berulang kukatakan hal yang sama. Belum juga ada tanda darinya untuk berhenti menangis atau berbagi duka bersamaku. Dadaku pun sesak, tetapi mau mengeluhkan pada siapa? Semua terasa menjauh meski tubuh saling bertaut. Sara bahkan belum lepaskan penyatuan kami meski semalam telah berlalu. Pertama kali sejak kecelakaan yang menimpa Sara. Enggak sadar kalau aku telah memaksa. "Apa aku menyakitimu?" Sara menggeleng cepat. Keping ingatanku memang tidak menunjukkan perlakuan kasar apalagi kekerasan. Namun, memaksa Sara memenuhi kemauanku dalam keadaan lumpuh, rasanya keterlaluan. "Segitu pengennya
Read more
Seperti Kelor
Balik ke bisnis kotorku yang lain, soal perjanjian pembagian saham dari informasi dan jalan mulus yang Nyonya sediakan. Aku datang sendiri ke kantor Nyonya dan memberikan beberapa lembar kesepakatan yang telah ditandatangani notaris. "Bisa sekalian kelola, kan?" Aku mengambil posisi duduk di kursi kebesaran Nyonya ketika wanita itu berdiri untuk menyalamiku. Empuk seperti kebanyakan kursi kepemimpinan yang nyaman sementara pekerja di luaran harus berusaha keras. Setara dengan banyaknya pikiran yang menggelayuti seorang pimpinan. "Kenapa enggak lo aja, Ga?" Si Nyonya menyandarkan pinggulnya pada pinggiran meja menghadapiku. Terusan brukat lengan panjang yang menyelimuti tubuhnya membentuk lekuk menggoda seperti biasa. Emang pikiranku aja kali ya lagi ngeres? It's a normal mind.  Aku memajukan kursi, sengaja menabraknya hingga jatuh di atasku. "Gue bukan orang yang suka kerja, tapi g
Read more
Ujian Lain
Kirain bakal berapa hari doang ditahan sementara, ternyata akunya dapet hukuman juga meski bisa dihitung beberapa bulan ke depan. Tau ngeselinnya pas awal masuk kamar tahanan? Dikira kucing yang bisa jadi korban rame-rame. Enggak tau aja mereka kalau aku bisa ngelawan dengan naklukin bos tahanan yang besar badan doang. Mungkin kebanyakan makan jatah preman dari tahanan lemah. Siapa tahu, kan, sistem dalam sini sama di luar enggak beda soal yang kuat mangsa yang lemah. Seenggaknya aku enggak perlu mikir kerjaan atau urusan luar. Khawatir Sara aja lagi. Dia tampak begitu khawatir ketika jumpa di ruang temu. Tenang aja, ini enggak seseram di film yang ketemuannya kudu terpisahkan dinding kaca atau jeruji. Aku masih bisa memeluknya dan bicara sambil duduk ditengahi meja persegi. "Kea enggak ikutan?" tanyaku setelah melihat kehadiran Abah yang sepertinya dapat panggilan dadakan dari ponselny
Read more
Teman Baru
"Sudah selesai kunjungannya?" Yang nanya punya badan besar, kekar, tapi kalah teknik pas ketemu di hari pertama aku pindah ke penjara. Aku masih ingat banget waktu dia bilang aku "Kucing yang tertangkap". Mungkin efek kelamaan di penjara dan enggak punya pelampiasan kali ya makanya nyari kucing? Kucing dalam bahasa pergaulan kami di kalangan penjajaan tubuh bisa dibilang para cowok yang mau jadi piaraan om-om, alias jadi homo. Ada banyak macamnya. Kebanyakan yang nyandang predikat kucing ini justru kaum setengah, cowok melambai. Yang macho juga ada. Cuma ... enggak pernah dan enggak mau nyoba.  "As you see."Aku menyambut tinjuannya di udara dengan tinjuan juga. Teman baru karena dia ternyata mikir bisa belajar sedikit teknik dariku. Kayaknya bisa jadi lapangan kerja baru kalau entar keluar dari penjara. "Anak-anak pada minta dilatih sama lo." Dia ik
Read more
Perjuangkan
"Maafin Aksa, Bah." Aku benar-benar menyesal karena Abah jadi kembali lagi menjengukku karena laporan pemukulan. "Mau gimana lagi?" Abah menyodorkan kotak kecil yang kutahu berisi tube salep untuk memar. Aku juga memiliki merek serupa di rumahku. "Usahakan bertingkah baik di dalam sana biar cepat keluar, Sa." "Dia ngancam ngebuka aib Abah. Soal Ambu, soal Aksa," protesku, sadar menaikkan nada bicara hanya untuk menegaskan pembelaan di dalam sel tahanan. Detik berikutnya kuusap wajah dengan kedua tangan sambil mengucap lirih, "Aksa minta maaf." Abah meletakkan ponselnya ke permukaan meja, menarik kedua tanganku sambil menggeleng. "Kalian bukan aib." "Abah ...." "Tunggu kamu benar-benar keluar dari sini." Genggaman yang kurasakan menguat. Abah melihat lekat padaku. "Abah akan berusaha menempatkan kamu di posisi seharusnya." "Maksud Abah?" tanyaku tidak mengerti
Read more
Kecemburuan
"Jelas aja dibebasin. Kejadian itu jauhhhh waktu aku masih di bawah umur kali. Artinya aku juga termasuk korban," jelasku begitu masuk dalam mobil penjemputan di luar gerbang penjara, menanggapi pertanyaan Sara yang heran dengan kebebasanku dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Sering banget terlibat perkelahian di dalam sana. Beberapa kali menang, beberapa kali kalah. Tapi jadinya aku punya beberapa kenalan. "Aku bau loh, Ra." Kucegah dia mendekat dengan memberi dorongan di bahunya. "Enggak peduli." Sara yang terlihat jauh lebih dewasa dengan pakaian terusan floralnya memelukku lebih lama dibanding ketika berada di depan gerbang tadi. Aromanya masih sama, anggur yang memikat. Manis dan memabukkan di saat yang sama. "Kangen mandi yang bersihan," ungkapku setelah memastikan lagi aroma ketiak dari luar kemejaku. Sara langsung menjaga jarak. "Jadi, enggak kangen aku?"&n
Read more
Rencana Kea
Sara yang pergi dari rumah kali ini, dan aku sendirian. Enggak benar-benar sendirian secara harfiah. Beberapa hari terakhir Kea sering berkunjung dengan dalih memergoki suaminya bermain gila dengan si janda yang waktu dulu kami temui di rumah sakit. "Namanya Anin," sebut Kea lagi ketika aku terus melupakan nama orang-orang yang menurutku enggak penting. Setiap mengatakan nama si janda yang punya anak sama Nabas, semakin kuat tinjuannya pada samsak di hadapan. Aku mengangkat ujung bawah samsak setara kepala dan Kea hampir oleng. Dia masih bisa bangkit lalu mengarahkan kepalan berlapis sarung tinju ke arahku yang sangat mudah menghindar. Kedua lenganku merapat di depan wajah serayamundur karena pukulan-pukulan penuh emosi dari Kea. "Terus, apa hubungannya sama gue?" Sekali aku menunduk, tendangan memutar dari kaki kanan berhasil mengenai kaki Kea hingga dia terjengkang. "Gue cuma mau cerita," jawab Kea
Read more
Berbagi Bayi
Rencana Kea? Balas dendam? Adikku tidak sekejam itu. Mungkin aku aja kali mau iseng, penasaran, apa yang ngebuat Nabas jatuh hati dengan orang lain setelah sekian lama mempertahankan Kea dalam hubungan teman tapi mesra?   "Sendirian?" tanyaku begitu mendapati wanita yang dimaksud Kea sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus. Aku mengambil kursi kosong di seberang mejanya dan mulai memainkan kotak rokok memutar di permukaan meja sambil melirik sesekali.   Tampilan berkelasnya menunjukkan profesi sebagai praktisi pendidikan, mungkin dosen. Kalau enggak salah ... hampir setengah abad. Meski sudah melahirkan, ternyata masih cantik juga, ya.   "Sama teman tadi." Ujung sendok berisi nasi berkuahnya masuk mulut. Dia melihatku sekali, lalu berpesan, "Maaf, bisa ngerokok di tempat lain?"   "Oh, oke." Aku mengangguk, menyimpan lagi kotak rokokku dalam saku jaket denim yang melapisi kaus. Melihat dia la
Read more
Berbeda Ibu
"Beri Kea kesempatan merawat bayi itu juga." Mungkin lebih seperti memohon kali, ya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menjilat yang benar untuk mendapat kesempatan dari wanita yang ... bukan dari kalangan penikmat jasa seperti dia, Anin maksudku.   "Enggak semudah itu." Anin menggeleng. Dia membuka botol air mineral lain dan minum lagi. Enggak kebayang kembungnya perut karena penuh dengan cairan. "Bagaimana bilangnya? Aku enggak bisa."   "Bukankah kalian harus saling jujur untuk anak ini?" Kuhentikan putaran botol dalam genggamanku dan mulai menyeringai saat mendapati ekspresi ragu Anin. "Siapa namanya?"   "Shaka. Shaka Bentala."   Ternyata sangat mudah mengajaknya bicara setelah menguasai emosi terdalamnya melalui pembicaraan. Dasar wanita. Aku melanjutkan, "Beri dia kesempatan mengenal keluarga ayahnya juga."   "Kenapa harus?" Dia minum lagi. Tatapannya t
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status