Lahat ng Kabanata ng The Secret: Kabanata 31 - Kabanata 40
49 Kabanata
4. Aku juga ingin tahu
Kalau tidak salah, Bruce Lee si aktor film laga terkenal, pernah mengatakan bahwa ia ingin menjadi air. Karena meski air merupakan salah satu benda terlembut di dunia, tapi ia bisa melubangi batu.Naiad membuktikannya padaku.Gerakannya yang lemah gemulai mampu menghancurkan sepedaku menjadi dua.Alih-alih takut, aku merasa marah karena mereka semudah menghancurkan barang milik orang lain.Seolah mampu membaca pikiranku, Kanha berteriak, "Maaf, kami akan menggantinya! Tenang saja."Tapi, perkataannya malah membuatku semakin kesal.Serangan Naiad menjadi semakin cepat dan ia mengubah air menjadi tombak-tombak yang tajam.Aku menggenggam tang dengan erat dan terus berlari kesana-kemari menghindari serangannya.Hal ini membuatku teringat pada beberapa kejadian di masa lalu. Dimana arwah-arwah yang menyebalkan sering menyerangku.
Magbasa pa
5. Untuk bertahan hidup
Guru Gan menggangguk beberapa kali sambil mengunyah es batu saat aku mulai bercerita mengenai botol-botol yang pernah kubuang. Tentu saja, hanya poin pentingnya saja. Laki-laki itu nampak puas dengan jawabanku. Jadi, kuberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang kau ketahui tentang keluarga orang tuaku?""Aku punya beberapa dugaan." Katanya sebelum meminum isi gelasnya hingga tersisa separuh. "Boleh kutahu nama lengkapmu?"Begitu aku memberitahunya, ia mengangguk, "Sepertinya, ibumu menyembunyikanmu dengan baik. Tapi, bangkai bisa mengeluarkan bau meski disembunyikan rapat-rapat."Dahiku berkerut, "Apa maksudmu?""Raharjodiningrat. Itu nama keluarga ayahmu. Mereka cukup terkenal dalam beberapa kalangan.""Terkenal dalam artian baik?" Tanyaku hati-hati. Nama keluarga itu entah kenapa membuat jantungku berdebar agak kencang."Entahlah." Katanya sa
Magbasa pa
6. Kasih seorang ibu
Mama memastikan bahwa semua pintu dan jendela telah terkunci. Beberapa kali, beliau mengecek ulang kompor di dapur sembari melakukan panggilan telepon dengan Tante Dinar.Wajah dinginnya yang biasa kulihat menguap entah kemana. Menampilkan ekspresi panik yang tak kuketahui."Iya, pokoknya elu enggak usah ke rumah dulu. Sori, sori…. Hah? Aduh, enggak tau. Gue pesen tiket buat sekali jalan doang… Oke. Iya. Thanks ya. Ntar gue kabarin lagi."Beliau mengakhiri panggilan dan memasukkan ponsel ke dalam tas jinjing merahnya. "Yuk, Yas. Enggak usah ganti baju. Ayo cepet!" Aku mengikuti dari belakang dan mulai menduga bahwa jangan-jangan omong kosong itu ada benarnya. Tingkah Mama nampak aneh setelah mendengar nama keluarga itu.Tapi, kalau keluarga itu sudah musnah, kenapa Mama sekalut ini?  Nasib buruk tidak berhenti sampai di situ. Begitu Mama membuka
Magbasa pa
7. Akademi Nusabangsa yang asli?
"Di ujung jalan depan, silahkan belok kiri, Nyonya. Akademi itu ada di ujung gang." Kata Guru Gan yang sedang duduk santai di bangku penumpang.  Mama duduk di sebelahku dengan wajah sebal saat memegang kemudi. "Aku yakin benar ini bukan jalan menuju Akademi Nusabangsa." "Ah, mana mungkin saya berani membohongi anda? Lagipula, Nyonya adalah tipe wanita yang saya suka. Cantik, pintar, berani dan kuat. Anda tidak tertarik menjadi seorang pengajar juga? Saya yakin Nyonya bisa menjadi guru yang baik." Mama tetap fokus mengemudi tanpa berniat melakukan percakapan lebih banyak dengan orang itu. Mataku teralihkan pada jalan sempit yang kami lewati. Di sebelah kiri dan kanan hanyalah deretan toko kumuh yang tutup, "Masa akademi se-elite Nusabangsa melewati tempat seperti ini?" "Tentu saja. Ini akademi terbaik untuk para cenayang muda di negeri ini." Dahiku berkeru
Magbasa pa
8. Hari pertama
Nila ternyata wanita yang cukup ramah. Ia juga tak keberatan untuk tidur di ruang tamu karena kunci kamar tamu dibawa Tante Dinar.  Mama sudah pergi ke sekolah pagi-pagi sekali untuk mengurus surat pindah dan belum kembali hingga jam makan siang. Aku juga sudah membereskan baju dan perlengkapan lainnya untuk tinggal di asrama tersebut. Kami, maksudnya Mama dan aku, sudah sepakat untuk segera pergi ke asrama itu. Mama bilang bahwa kami tak boleh membuang waktu lebih lama. Aku sendiri tidak tahu mengapa harus terburu-buru. Toh, sampai saat ini, suasananya tetap aman.  Hanya saja ada satu hal yang masih mengganjal. Mengenai Aruni.  Jika aku tidak ada di sekitarnya, siapa yang membantunya mengusir sihir-sihir terkutuk itu? Bukannya mengejek. Tapi, orang-orang 'pintar' yang didatangi Tante Dinar dan anaknya, kebanyakan adalah penipu yang ingin mengeruk uang mereka. 
Magbasa pa
9. Taruhan sebotol bir
"Kau mau permen?" Tanya Kanha sambil mengulurkan sebungkus permen rasa jeruk padaku. Kuterima permen itu dan memakannya. "Terima kasih." Sudah lima belas menit, kami menunggu di halaman depan klenteng. Baik Guru Gan dan gadis-gadis kelas satu, belum nampak batang hidungnya. "Yas, kau pernah merokok?" Tanya Kanha lagi sambil mengulum permennya.  "Tidak." "Hmm, sudah kuduga. Aku pernah merokok dan sekarang sedang proses untuk berhenti." Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi sedikit penasaran, "Kenapa kau masuk ke tempat ini?" Diluar dugaan, ternyata jawabannya sederhana. "Ayahku alumni dari tempat ini." "Oh, berarti sekolah ini sudah berdiri sejak lama?" "Begitulah. Kakakku juga masuk di akademi untuk cenayang. Di kota suci Atrazal." "Baru pertama kali aku mendengar nama itu."
Magbasa pa
10. Aroma yang janggal
Kesan pertamaku saat memasuki kamar mayat adalah tempatnya dingin sekali.Guru Gan dan Kanha sama sekali tidak terganggu dan masuk dengan santai sambil sesekali mengintip kantung mayat yang sudah diresleting sampai menutupi ujung rambut. Samar-samar, aku mencium bau darah anyir saat memasuki bagian dalam kamar mayat itu. Ruangan itu nampak sepertu laboratorium. Dimana banyak sekali deretan tabung-tabung kaca bening serta jejeran botol-botol beling gelap dalam jejeran lemari kaca.Seorang perempuan berambut hitam panjang dan berkacamata tebal sedang mencatat sesuatu di bukunya. Perempuan, yang mungkin sebaya dengan Mama, itu duduk di kursi dekat meja komputer. Monitornya menampilkan deretan huruf dan angka yang rapi.  "Halo, Sel." Sapa Guru Gan riang."Ada orang yang ingin kuperkenalkan. Ilyas, murid baruku." Perempuan itu mendongak sekilas
Magbasa pa
11. Parasit yang menyebalkan
"Nah, kita sudah sampai." Kata Guru Gan begitu kami bertiga berada di depan rumah rusun kumuh yang jauh dari jalan besar.Mobil Rin terparkir di muka gang karena jalan masuknya yang sempit."Kalian berdua masuk saja. Dia tinggal di nomor tiga puluh."Kanha melempar botol kopinya ke sebuah tong sampah, "Guru Gan tidak masuk?""Aku akan berjaga di sini." Jawabnya sambil bersedekap.Kulempar pandanganku ke segala arah dan tak yakin bahwa ada sesuatu yang patut diwaspadai di daerah sesepi ini.Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Tapi, tempat ini malah membuktikan hal yang sebaliknya.Lampu jalan yang temaram dan beberapa rumah terbengkalai tidak memiliki sumber penerangan. Rusun yang akan kami datangi pun hanya beberapa unit saja yang memiliki lampu di depan pintunya.Keseluruhan gang ini meneriakkan kesuraman yang membua
Magbasa pa
12. Penguntit dari kegelapan
Kepalaku pening.  Rasanya dunia ini sedang berputar dan tanah yang kupijak melunak seperti bubur, membuat kakiku kehilangan keseimbangan hingga tak mampu berdiri dengan benar.Kanha sepertinya mengatakan sesuatu. Tapi, aku tak mengerti apa yang ia katakan.  Dari makhluk itu muncul aroma yang aneh, lalu gumpalan asap kelabu keluar dari punggungnya, membuatku nyaris tak bisa melihatnya.  Itu dia! Kelemahannya ada di punggungnya. Jika tempat keluarnya asap bisa dihancurkan, maka parasit itu dapat dikalahkan.  "Punggung!" Teriakku pada Kanha.  Tapi, anak itu tak mengerti karena terus mengguncang pundakku dengan keras. Mulutnya bergerak-gerak, tak ada kalimat keluar dari sana.  "Aack!" Seruku saat asap itu mulai merambat dan mencekik leherku.  Sial! Kenapa begini! Oksig
Magbasa pa
13. Komisi Perlindungan Pusaka
Kanha memakan roti dengan wajah masam, "Guru, aku sudah memakan roti sebanyak lima kali. Tapi, kenapa aku masih belum kenyang?"Yang diajak bicara, hanya tersenyum sambil melihat jalanan di luar jendela, "Bukankah memang makanmu banyak?"Aku mengunyah keripik kentang dengan malas. Kami bertiga sedang menunggu sesuatu terjadi dan duduk meja yang disediakan untuk pengunjung.Mobil yang mengikuti kami mendadak menghilang ketika kami berhenti di supermarket.Rin terlihat bosan menunggu dalam mobil, di halaman parkiran depan. "Lima menit lagi, ya? Setelah itu, Guru Gan harus mentraktirku makan daging." Rengek Kanha dengan nada manja."Kalau Ilyas, bagaimana?" Tanya Guru Gan sambil tersenyum ramah kepadaku."Terserah anda saja."Laki-laki itu langsung melompat dari kursi sambil meregangkan badan, "Baiklah kalau Ilyas bilang begitu
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status