All Chapters of The Secret: Chapter 41 - Chapter 49
49 Chapters
14. Aroma bunga Marigold
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor.  Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai.  "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel
Read more
15. Arena bawah tanah
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Read more
16. Lawan yang kuinginkan
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Read more
17. Permintaan Senior
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Read more
18. Pahitnya rasa keputusasaan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
Read more
19. Hal yang lebih berbahaya
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
Read more
20. Sekte Teratai Biru
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Read more
21. Teratai Biru yang mulai berulah
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
Read more
22. Keputusasaan
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status