"Di ujung jalan depan, silahkan belok kiri, Nyonya. Akademi itu ada di ujung gang." Kata Guru Gan yang sedang duduk santai di bangku penumpang.
Mama duduk di sebelahku dengan wajah sebal saat memegang kemudi. "Aku yakin benar ini bukan jalan menuju Akademi Nusabangsa."
"Ah, mana mungkin saya berani membohongi anda? Lagipula, Nyonya adalah tipe wanita yang saya suka. Cantik, pintar, berani dan kuat. Anda tidak tertarik menjadi seorang pengajar juga? Saya yakin Nyonya bisa menjadi guru yang baik."
Mama tetap fokus mengemudi tanpa berniat melakukan percakapan lebih banyak dengan orang itu.
Mataku teralihkan pada jalan sempit yang kami lewati. Di sebelah kiri dan kanan hanyalah deretan toko kumuh yang tutup, "Masa akademi se-elite Nusabangsa melewati tempat seperti ini?"
"Tentu saja. Ini akademi terbaik untuk para cenayang muda di negeri ini."
Dahiku berkeru
Nila ternyata wanita yang cukup ramah. Ia juga tak keberatan untuk tidur di ruang tamu karena kunci kamar tamu dibawa Tante Dinar. Mama sudah pergi ke sekolah pagi-pagi sekali untuk mengurus surat pindah dan belum kembali hingga jam makan siang. Aku juga sudah membereskan baju dan perlengkapan lainnya untuk tinggal di asrama tersebut. Kami, maksudnya Mama dan aku, sudah sepakat untuk segera pergi ke asrama itu. Mama bilang bahwa kami tak boleh membuang waktu lebih lama. Aku sendiri tidak tahu mengapa harus terburu-buru. Toh, sampai saat ini, suasananya tetap aman. Hanya saja ada satu hal yang masih mengganjal. Mengenai Aruni. Jika aku tidak ada di sekitarnya, siapa yang membantunya mengusir sihir-sihir terkutuk itu? Bukannya mengejek. Tapi, orang-orang 'pintar' yang didatangi Tante Dinar dan anaknya, kebanyakan adalah penipu yang ingin mengeruk uang mereka.
"Kau mau permen?" Tanya Kanha sambil mengulurkan sebungkus permen rasa jeruk padaku. Kuterima permen itu dan memakannya. "Terima kasih." Sudah lima belas menit, kami menunggu di halaman depan klenteng. Baik Guru Gan dan gadis-gadis kelas satu, belum nampak batang hidungnya. "Yas, kau pernah merokok?" Tanya Kanha lagi sambil mengulum permennya. "Tidak." "Hmm, sudah kuduga. Aku pernah merokok dan sekarang sedang proses untuk berhenti." Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi sedikit penasaran, "Kenapa kau masuk ke tempat ini?" Diluar dugaan, ternyata jawabannya sederhana. "Ayahku alumni dari tempat ini." "Oh, berarti sekolah ini sudah berdiri sejak lama?" "Begitulah. Kakakku juga masuk di akademi untuk cenayang. Di kota suci Atrazal." "Baru pertama kali aku mendengar nama itu."
Kesan pertamaku saat memasuki kamar mayat adalah tempatnya dingin sekali.Guru Gan dan Kanha sama sekali tidak terganggu dan masuk dengan santai sambil sesekali mengintip kantung mayat yang sudah diresleting sampai menutupi ujung rambut. Samar-samar, aku mencium bau darah anyir saat memasuki bagian dalam kamar mayat itu. Ruangan itu nampak sepertu laboratorium. Dimana banyak sekali deretan tabung-tabung kaca bening serta jejeran botol-botol beling gelap dalam jejeran lemari kaca.Seorang perempuan berambut hitam panjang dan berkacamata tebal sedang mencatat sesuatu di bukunya. Perempuan, yang mungkin sebaya dengan Mama, itu duduk di kursi dekat meja komputer. Monitornya menampilkan deretan huruf dan angka yang rapi. "Halo, Sel." Sapa Guru Gan riang."Ada orang yang ingin kuperkenalkan. Ilyas, murid baruku." Perempuan itu mendongak sekilas
"Nah, kita sudah sampai." Kata Guru Gan begitu kami bertiga berada di depan rumah rusun kumuh yang jauh dari jalan besar.Mobil Rin terparkir di muka gang karena jalan masuknya yang sempit."Kalian berdua masuk saja. Dia tinggal di nomor tiga puluh."Kanha melempar botol kopinya ke sebuah tong sampah, "Guru Gan tidak masuk?""Aku akan berjaga di sini." Jawabnya sambil bersedekap.Kulempar pandanganku ke segala arah dan tak yakin bahwa ada sesuatu yang patut diwaspadai di daerah sesepi ini.Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Tapi, tempat ini malah membuktikan hal yang sebaliknya.Lampu jalan yang temaram dan beberapa rumah terbengkalai tidak memiliki sumber penerangan. Rusun yang akan kami datangi pun hanya beberapa unit saja yang memiliki lampu di depan pintunya.Keseluruhan gang ini meneriakkan kesuraman yang membua
Kepalaku pening. Rasanya dunia ini sedang berputar dan tanah yang kupijak melunak seperti bubur, membuat kakiku kehilangan keseimbangan hingga tak mampu berdiri dengan benar.Kanha sepertinya mengatakan sesuatu. Tapi, aku tak mengerti apa yang ia katakan. Dari makhluk itu muncul aroma yang aneh, lalu gumpalan asap kelabu keluar dari punggungnya, membuatku nyaris tak bisa melihatnya. Itu dia! Kelemahannya ada di punggungnya. Jika tempat keluarnya asap bisa dihancurkan, maka parasit itu dapat dikalahkan. "Punggung!" Teriakku pada Kanha. Tapi, anak itu tak mengerti karena terus mengguncang pundakku dengan keras. Mulutnya bergerak-gerak, tak ada kalimat keluar dari sana. "Aack!" Seruku saat asap itu mulai merambat dan mencekik leherku. Sial! Kenapa begini! Oksig
Kanha memakan roti dengan wajah masam, "Guru, aku sudah memakan roti sebanyak lima kali. Tapi, kenapa aku masih belum kenyang?"Yang diajak bicara, hanya tersenyum sambil melihat jalanan di luar jendela, "Bukankah memang makanmu banyak?"Aku mengunyah keripik kentang dengan malas. Kami bertiga sedang menunggu sesuatu terjadi dan duduk meja yang disediakan untuk pengunjung.Mobil yang mengikuti kami mendadak menghilang ketika kami berhenti di supermarket.Rin terlihat bosan menunggu dalam mobil, di halaman parkiran depan."Lima menit lagi, ya? Setelah itu, Guru Gan harus mentraktirku makan daging." Rengek Kanha dengan nada manja."Kalau Ilyas, bagaimana?" Tanya Guru Gan sambil tersenyum ramah kepadaku."Terserah anda saja."Laki-laki itu langsung melompat dari kursi sambil meregangkan badan, "Baiklah kalau Ilyas bilang begitu
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada