Lahat ng Kabanata ng My Posessive Boyfriend [Indonesia]: Kabanata 31 - Kabanata 40
59 Kabanata
29. Ada Pelangi Setelah Hujan
Satu hari yang menyedihkan berhasil terlewatkan begitu saja, tak ada doa-doa apa lagi sambutan arwah seperti yang orang-orang pada umumnya lakukan. Lalu pagi kembali berjalan seperti biasa, semua orang kembali ke rumah Keluarga Taharja.  Pagi-pagi buta, suara mobil seseorang terparkir di halaman rumah. Papa yakin, itu adalah Renjuna. Lelaki paruh baya itu kembali meneruskan acara memasak dan membiarkan siapa saja menyambut Juna.  Namun, tak lama suara kendaraan roda dua yang juga sangat dikenali oleh Papa terdengar berhenti di halaman. Dan itu sudah jelas seorang Jeno.  Kadangkala Papa merasa, anaknya sangat beruntung memiliki kekasih juga sahabat seperti Juna dan Jeno. Tak perlulah lelaki khawatir, sebab jelas kalau Juna maupun Jeno sangat menyayangi Tara.  Namun, pada lubuk hatinya yang terdalam, Papa tetap saja khawatir. Sebab dari tatapan mata saja Papa su
Magbasa pa
30. Bungkus Pembalut
Semua orang memasuki rumah ketika Papa akhirnya mengomel panjang— sepanjang jembatan Suramadu dan akhirnya berkacak pinggang seperti memarahi sekumpulan bocah berumur 5 tahun.  Juna ragu memasuki rumah sebab jelas bajunya basah kuyup dari atas sampai bawah, pemuda itu berdiam di daun pintu, sangsi.  Tak lama, Papa yang melihat itu pun segera berucap, "Juna masuk ke kamar mandi aja, Papa ambilkan handuk sama baju ganti punya Abang Tirta."  Juna mau tidak mau mengangguk pasrah. Namun tak lama, suara lantang Tirta terdengar. "Kenapa baju aku sih, Pa?!"  "Emang kenapa sih?" Papa mengerutkan dahi, bertanya. "Ya nggak bisa dong! Bajunya Om Karen kek! Pokoknya jangan punya aku, nggak sudi."  "Eh! Emangnya siapa yang sudi pake baju elo?" Juna menyergah tak kalah lantang.  "Bagus kalo gak mau." Tirta bersendekap dada. &
Magbasa pa
31. Egois Kepada Diri
Dulu, waktu Tara kecil, dia ingat pernah masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak makan kertas dan berakhir muntah-muntah. Waktu itu dia masih kelas satu SD. Tara tak pernah lupa betapa menyeramkan bayangannya tentang rumah sakit dan dokter waktu itu, rasanya semuanya menakutkan karena orang-orang terlihat besar dan tinggi tapi tidak ramah ataupun cantik seperti Papa dan Mama. Tapi ada satu dokter yang sangat tampan dan baik, akhirnya dia mau dirawat oleh dokter itu.  Tara tidak benci rumah sakit, cuma muak saja. Sejak kecelakaan besar itu, dia dirawat selama beberapa bulan di rumah sakit karena tulang retak. Beberapa tahun setelah itu, dia juga harus rajin cek ke rumah sakit perkara kesehatan mentalnya yang lemah. Kemudian lama dia tak pernah kemari lagi sejak mulai memasuki kuliah.  Namun sore ini, dia kembali membuka mata dan menyapa udara rumah sakit yang pengap dan berbau obat-obatan pekat. Seingatnya hal terakhir yang dilak
Magbasa pa
32. Semprul
"Hari ini kamu kesini, kan?" Juna memandang ujung-ujung kakinya yang menggantung di udara saat ia duduk di sisi ranjang. Di luar, hujan rintik-rintik mulai membasahi pekarangan, turun di celah-celah jendela dengan tak beraturan.  "Hujan, males, ah." Tara berujar di seberang sana, disusul sebuah hela malas yang terdengar menyakitkan di telinga Juna.  "Ya udah, aku yang kesana."  "Kamu nggak capek? Beneran nggak ada capek-capeknya ya. Liburan tuh istirahat aja di rumah, aku juga capek lho kuliah. Banyak tugas, mana bentar lagi skripsian."  "Aku nggak capek. Justru yang bikin capek tuh kangen sama kamu." jawab pemuda itu sembari beranjak dari kasur, memandang keluar dengan tubuh terbalut bathrobe abu— jelas memperlihatkan bahwa lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan bukti nyata rambut yang basah.  "Tapi kamu tiap hari anterin aku, jemput a
Magbasa pa
33. Something Wrong
Mobil Juna berhenti di halaman rumah minimalis miliknya, Tara praktis melipat dahi saat melihat ada mobil lain yang tak ia ketahui pemiliknya (jelas bukan punya Juna) terparkir di garasi pemuda itu.  "Siapa yang dateng? Temen kamu?" Tara bertanya sembari menoleh ke samping, hanya untuk mendapatkan Juna yang tengah membuka sabuk pengaman.  "Eyang." jawab pemuda itu dengan santainya. "Apa?!" Tara memekik tertahan. "Bisa-bisanya kamu nggak bilang dari tadi!"  Dengan wajah tanpa dosa Juna mengedikkan bahu tak peduli. "Emangnya penting?"  "Ya penting lah, Juna! Masa aku ketemu nenek kamu kayak gini?" Tara merasa minder karena hanya memakai kaos polos putih dan celana jeans pendek di atas lutut dan bahkan sama sekali tak memakai make up.  "Apanya yang kayak gini? Kamu cantik kok." Juna meyakinkan.  Bukannya tersipu
Magbasa pa
34. Balada Penyiksaan Jeno
Hari ini juga, di tempat lain, Jeno mendesah berat. Minggu-minggu seperti ini harusnya dia berada di toko distro untuk mengais rezeki, namun agaknya hari ini ada yang lebih berat daripada tanggungjawab itu; menjaga keponakannya.  Entah tersambar gledek atau bagaimana, saudara jauhnya berkunjung hari ini. Lengkap formasinya dengan anak-anak, beserta satu gadis SMP yang sedang dalam masa pertumbuhan— yang rupa-rupanya menaruh hati lebih kepada Jeno— Omnya sendiri.  "Om, om, lihat nih! Aku punya jam tangan Superman." Seorang anak laki-laki menunjukkan pergelangan tangan yang bertahta jam bergambar Superman di sana, tersenyum pongah kepada Jeno.  Jeno berpura-pura antusias, tersenyum dan menatap seolah iri, padahal tidak sama sekali. "Wahhh, bagus banget. Om jadi pengen. Kamu beli di mana?" Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam drama kanak-kanak.  Tak cukup sampai itu, Jeno j
Magbasa pa
35. A Promise
Tara mulai mengabsen setiap stand-stand penjual makanan maupun mainan. Bermain-main dengan panahan untuk mendapatkan boneka beruang yang berujung menghabiskan lebih dari seratus ribu tanpa membawa pulang apapun. Kemudian mereka berhenti lagi di stand penjual kentang spiral, mengantre di sana dengan tertib sambil berpegangan tangan layak remaja yang baru saja kasmaran.  "Kamu mau yang rasa pedes atau original?" tanya Tara ketika antrian semakin menipis, maju seiring berjalannya waktu.  "Original aja. Kalau kamu pasti pedes, kan?" Juna merangkul bahu Tara dari belakang, dunia serasa milik berdua. Mereka tiada memperdulikan tatapan iri serta menghardik dari orang-orang.  "Iya. Kamu tahu lah. Boleh, kan?"  "Iya, yang penting jangan pedes-pedes. Nanti sakit." Juna sesekali mengecup pucuk kepala gadis itu, membaui vanilla yang selalu menjadi favoritnya.  Tara m
Magbasa pa
36. Odd
Sebenarnya, tempo hari sebelum pulang, Tiffany sempat bertanya apakah Minggu depan Tara memiliki cukup waktu. Dan tanpa ragu, gadis itu menjawab iya. Memang setiap hari Minggunya selalu kosong, kok. Dia tak punya agenda apa-apa selain merebahkan diri di atas kasur sampai malam kembali menjemput.  Jadi hari-hari yang sibuk sudah terlewati begitu saja. Hari ini, pagi-pagi buta mobil limusin mewah yang dikemudikan oleh Pak Suryo- supir kesayangan Tiffany- sudah terparkir rapi di halaman rumah Tara. Yang sempat membuat Papa, Om, Tirta dan Jojon sukses terheran-heran di Sabtu pagi yang cerah ini.  Tak lama, Tara keluar dari kamarnya. Jelas semua orang lebih heran, sebab angka di jam menunjukkan masih pukul setengah tujuh pagi. Itu artinya Satara bangun 1,5 jam lebih awal daripada biasanya. Semua orang terkesiap di tempat.  "Mau kemana, Ra?" Akhirnya, setelah meredakan kaget, Papa bertanya dengan raut penuh seli
Magbasa pa
37. Disappointed
"Tara pulang ya, Eyang." Lalu dua manusia berjenis kelamin wanita itu berpelukan sebentar, cium pipi kanan dan kiri seperti adegan dalam televisi.  Tiffany mengangguk, matanya beralih pada Pak Suryo yang menunggu mereka di samping mobil. "Hati-hati ya, Pak." Berpesan wanita itu kepada Sang supir.  Lelaki paruh baya berkumis hitam lebat itu mengangguk mantap lalu mengacungkan kedua jempolnya menyanggupi permintaan Tiffany. "Siap delapan enam!"  Hari beranjak menuju petang saat Satara mulai menaiki limusin mewah berwarna hitam, tak lama pun menunggu, mereka telah merayap di jalanan ibukota yang hiruk.  Pemandangan di luar jendela terasa menghibur. Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat, atau para pedagang jalanan yang menjajakan segalanya di perempatan jalan, pada pohon-pohon beringin besar yang ditanam di pinggir membuat udara setidaknya sedikit lebih sejuk di sore hari. Namun pa
Magbasa pa
38. Waktu yang Tepat
Dulu, waktu Tirta masih kecil, sewaktu rumah Keluarga Taharja juga tidak sebesar ini— ada satu pohon yang dia tanam di samping tapak kepyar besar di depan sana, sebuah pohon yang bahkan tidak Tirta ketahui namanya.  Namanya juga anak-anak, jadi dengan pemikiran picik itu, Tirta menyiramnya sehari dua kali, sore hari menuju esok pagi. Berbicara panjang lebar dengan pohon kecil itu setiap pulang dari taman kanak-kanak, lalu berharap ia tumbuh dewasa bersama-sama dengan dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang keren.  Mama mendukungnya, bahkan pohon itu, Mama-lah yang turut membantunya menanam di sisi pohon tapak kepyar. Mama bilang, kalau Tirta menanamnya dengan kasih sayang, pohon itu pasti hidup dan tumbuh dengan baik. Tirta sangat percaya perkataan Mama.  Memangnya ada anak balita yang tidak percaya omongan orang tuanya? Tirta rasa tidak ada. Maka dia berkata, dia tak salah untuk percaya. Diwarnai na
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status