Semua Bab PENDEKAR TAPAK DEWA: Bab 21 - Bab 30
151 Bab
PART 21
                   Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik kelompok Teratai Merah.           "Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.”           "Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?” bertanya La Mudu kepada Baojia.          *Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja  La Pabise dan teman-temanny
Baca selengkapnya
PART 22
                                                                 Kepada kedua orang tua Meilin, Baojia dan Fang Yin, La Mudu tak lupa untuk meminta ijin untuk menajak jalan-jalan putrinya.          “Iya, silakan, tapi kalian yang hati-hati, ya?”ucap Baojia. Laki-laki hampir baya itu berdiri berdampingan dengamn istrinya, mamandang punggung putrinya Meilin dan Jawara Mudu yang melangkah menjauh dari mereka. Di wajah mereka menampakkan senyum, karena merasa senang putri mereka akhirnya bisa jalan-jalan dengan seorang pemuda. Mereka yakin, Jawara Mudu mampu menjaga Meilin dengan baik.           Seperti kata Meilin, pantai itu tak jauh, berada di belakang desa. Pantain
Baca selengkapnya
PATR 23
           Bulan purnama menerangi jagat malam. Di sana sini terdengar suara para anak-anak desa yang sedang menikmatan keindahan malam dengan melakoni segala macam permainan seperti kikolo (petak umpet), atau permainan anak-anak lainnya. Lalu para pemuda atau orang-orang tua duduk berkumpul di sana sini untuk mengobrolkan banyak hal. Terang bulan seperti itu memang membuat denyut kehidupan masyarakat desa lebih panjang dibandingkan dengan jika malam tanpa terang bulan, di mana penduduk desa biasanya lebih cepat untuk merehatkan penat tubuh mereka di peraduan.        La Turangga, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Pabise, pun tak melewatkan malam terang bulan itu untuk menikmatinya. Keempat pemuda bakal calon pajuri La Afi Sangia itu menikmati keindahan malam di desa yang berada di pesisir timur Pulau Sumbawa dengan membuat api unggun di halam sa
Baca selengkapnya
PART 24
                                      “Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangia itu ya?”ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun.          Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.”          “Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut.          Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja, Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.”    &
Baca selengkapnya
PART 25
                                                Keempat sahabat barunya serentak mengangguk. “Benar, Lenga Mudu,” sahut keempatnya hampir bersamaan.      “Andaikata keadaan negeri tak seperti saat ini,” kata La Pabise, “  maka saya lebih memiliki jadi petani atau nelayan. Sekalipun mungkin penghasilan tak menentu, tetapi ketenangan hidup lebih terjamin. Tetapi karena keadaan negeri seperti saat ini, ya...pekerjaan apa pun harus dijalani, sekalipun harus melenyapkan kehidupan orang lain demi untuk melanjutkan hidup.”     “Ya, ya, saya mengerti, Lenga,”ujar La Mudu. “Keadaan negeri saat ini benar-benar tak menguntungkan sedikit pun bagi kalangan rakyat. Tetapi kenapa tidak menjadi nelayan saja, mungkin masih ada harapan?”
Baca selengkapnya
PART 26
                        Keesokan harinya, bila mentari sudah sepenggalan naik, La Mudu dan keempat sahabatnya telah memacu kuda tunggangannya masing-masing ke arah utara. Ia mengajak serta Meilin. Gadis cantik bermata sipit berkulit putih halus itu menunggang kudanya sendiri berdampingan dengan kuda tunggangan La Mudu. Kuda yang dipakai oleh La Mudu pun adalah seekor kuda berbulu coklat milik Baojia. Laki-laki itu memiliki beberapa ekor kuda tunggangan di kandangnya yang berada di kebun yang berada di kebun belakang rumah yang ditempati oleh La Mudu dan keempat sahabatnya. Bagi orang Pulau Sumbawa dan Dana Mbojo khususnya kala itu, kuda adalah binatang ternak yang wajib dimiliki hampir setiap keluarga karena merupakan binatang tunggangan maupun untuk kuda beban. Kuda dari negeri ini terkenal tangguh dan lincah walaupun posturnya agak kecil dibandingkan
Baca selengkapnya
PART 27
                                          PART 27       “Terima kasih, Dewata Agung, kaerena Engkau telah menyelamatkan Tuan Mudaku,” ucap si laki-laki tua dengan suara tulus sembari menatap langit.    “Maaf, Ama, nama Ama siapa?”tanya La Mudu.    “Nama saya La Ngguru, tapi biasa dipanggil Ama Pancala. Pancala adalah nama anak perempuan saya satu-satunya yang ikut terbunuh bersama warga Tanaru lainnya,”sahut si laki-laki tua.    “Lalu di manakah mayat-mayat warga Tanaru termasuk kedua orang tua saya di makamkan,
Baca selengkapnya
PART 28
                                                      Pelabuhan Wadu Mbolo adalah pelabuhan kedua yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, kala itu. Pelabuhan ini dulu adalah sebuah pelabuhan khusus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang antarpulau. Tempat membongkar atau pun untuk menaikkan berbagai mata dagangan, baik hasil bumi, hasil laut, maupun juga hewan-hewan ternak seperti kerbau dan kuda. Namun setelah gerombolan penyamun laut-darat yang dijuluki dengan Gerombolan Merah di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela, maka pelabuhan ini pun sepi karena fungsinya telah dialihkan ke pelabuhan yang terletak di ibukota kerajaan. Kendati demikian, pelabuhan ini tetap dimanfaatkan oleh masyakat nelayan setempat untuk menyandarkan perahu-perahu mereka, dan itu pun ata
Baca selengkapnya
PART 29
                                                        Kelompok La Mudu yang pertama kali ditunjuk langsung naik dan memilih kamar yang paling selatan yang menghadap ke laut. Kamar itu cukup luas dan juga rapi buatannya, dan tentu dibuat oleh para ‘bumi (tukang) yang berpengalaman.  La Mudu dan yang lainnya tak menyangka, jika La Afi Sangia sangat memperhatikan kebutuhan para pengikutnya, yang kini disebutnya sebagai pajuri itu. Itu sudah membuktikan, bahwa La Afi Sangia adalah seorang pemimpin penyamun yang teramat kaya. Konon, kekayaannya melebihi yang dimiliki oleh kerajaan mana pun yang berada di kepulauan tenggara kala itu. Jadi wajar, ia mampu memanjakan para pengikutnya dengan baik.      Dan itu terbukti pula dengan
Baca selengkapnya
PART 30
                             Pajuri La Sambi memandang wajah La Mudu dengan tajam tanpa berkedip. Pada saat itu La Mbedu mendekatkan wajahnya ke telinga mitranya dan membisikkan sesuatu. Laki-laki perpostur  tinggi hitam dengan wajah sangar itu mengangguk-angguk pelan. Setelah itu ia kembali mengamati sosok La Mudu mulai dari bawah hingga ke atas, sebelum berkata dengan nada masih tinggi, “Kami menerima laporan dari seseorang yang melihat dari jauh, bahwa kamu tadi menghajar pemuda-pemuda itu sampai tubuh mereka terpental. Apa benar begitu!”      “Oh, iya, benar, Paman, hanya latihan ringan saja!”jawab La Mudu dengan sikap tetap tenang dan wajar. Tak ada sama sekali kegamangan yang tampak di wajahnya.      La Sambi mengangguk-angguk pe
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status