“Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangia itu ya?”ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun.
Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.”
“Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut.
Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja, Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.”
&
Keempat sahabat barunya serentak mengangguk. “Benar, Lenga Mudu,” sahut keempatnya hampir bersamaan. “Andaikata keadaan negeri tak seperti saat ini,” kata La Pabise, “ maka saya lebih memiliki jadi petani atau nelayan. Sekalipun mungkin penghasilan tak menentu, tetapi ketenangan hidup lebih terjamin. Tetapi karena keadaan negeri seperti saat ini, ya...pekerjaan apa pun harus dijalani, sekalipun harus melenyapkan kehidupan orang lain demi untuk melanjutkan hidup.” “Ya, ya, saya mengerti, Lenga,”ujar La Mudu. “Keadaan negeri saat ini benar-benar tak menguntungkan sedikit pun bagi kalangan rakyat. Tetapi kenapa tidak menjadi nelayan saja, mungkin masih ada harapan?”
Keesokan harinya, bila mentari sudah sepenggalan naik, La Mudu dan keempat sahabatnya telah memacu kuda tunggangannya masing-masing ke arah utara. Ia mengajak serta Meilin. Gadis cantik bermata sipit berkulit putih halus itu menunggang kudanya sendiri berdampingan dengan kuda tunggangan La Mudu. Kuda yang dipakai oleh La Mudu pun adalah seekor kuda berbulu coklat milik Baojia. Laki-laki itu memiliki beberapa ekor kuda tunggangan di kandangnya yang berada di kebun yang berada di kebun belakang rumah yang ditempati oleh La Mudu dan keempat sahabatnya. Bagi orang Pulau Sumbawa dan Dana Mbojo khususnya kala itu, kuda adalah binatang ternak yang wajib dimiliki hampir setiap keluarga karena merupakan binatang tunggangan maupun untuk kuda beban. Kuda dari negeri ini terkenal tangguh dan lincah walaupun posturnya agak kecil dibandingkan
PART 27 “Terima kasih, Dewata Agung, kaerena Engkau telah menyelamatkan Tuan Mudaku,” ucap si laki-laki tua dengan suara tulus sembari menatap langit. “Maaf, Ama, nama Ama siapa?”tanya La Mudu. “Nama saya La Ngguru, tapi biasa dipanggil Ama Pancala. Pancala adalah nama anak perempuan saya satu-satunya yang ikut terbunuh bersama warga Tanaru lainnya,”sahut si laki-laki tua. “Lalu di manakah mayat-mayat warga Tanaru termasuk kedua orang tua saya di makamkan,
Pelabuhan Wadu Mbolo adalah pelabuhan kedua yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, kala itu. Pelabuhan ini dulu adalah sebuah pelabuhan khusus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang antarpulau. Tempat membongkar atau pun untuk menaikkan berbagai mata dagangan, baik hasil bumi, hasil laut, maupun juga hewan-hewan ternak seperti kerbau dan kuda. Namun setelah gerombolan penyamun laut-darat yang dijuluki dengan Gerombolan Merah di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela, maka pelabuhan ini pun sepi karena fungsinya telah dialihkan ke pelabuhan yang terletak di ibukota kerajaan. Kendati demikian, pelabuhan ini tetap dimanfaatkan oleh masyakat nelayan setempat untuk menyandarkan perahu-perahu mereka, dan itu pun ata
Kelompok La Mudu yang pertama kali ditunjuk langsung naik dan memilih kamar yang paling selatan yang menghadap ke laut. Kamar itu cukup luas dan juga rapi buatannya, dan tentu dibuat oleh para ‘bumi(tukang) yang berpengalaman. La Mudu dan yang lainnya tak menyangka, jika La Afi Sangia sangat memperhatikan kebutuhan para pengikutnya, yang kini disebutnya sebagai pajuri itu. Itu sudah membuktikan, bahwa La Afi Sangia adalah seorang pemimpin penyamun yang teramat kaya. Konon, kekayaannya melebihi yang dimiliki oleh kerajaan mana pun yang berada di kepulauan tenggara kala itu. Jadi wajar, ia mampu memanjakan para pengikutnya dengan baik. Dan itu terbukti pula dengan
Pajuri La Sambi memandang wajah La Mudu dengan tajam tanpa berkedip. Pada saat itu La Mbedu mendekatkan wajahnya ke telinga mitranya dan membisikkan sesuatu. Laki-laki perpostur tinggi hitam dengan wajah sangar itu mengangguk-angguk pelan. Setelah itu ia kembali mengamati sosok La Mudu mulai dari bawah hingga ke atas, sebelum berkata dengan nada masih tinggi, “Kami menerima laporan dari seseorang yang melihat dari jauh, bahwa kamu tadi menghajar pemuda-pemuda itu sampai tubuh mereka terpental. Apa benar begitu!” “Oh, iya, benar, Paman, hanya latihan ringan saja!”jawab La Mudu dengan sikap tetap tenang dan wajar. Tak ada sama sekali kegamangan yang tampak di wajahnya. La Sambi mengangguk-angguk pe
Dalam kelelapan tidurnya, laki-laki iblis yang menggelari dirinya sebagai Paduka Sandaka Dana itu tiba-tiba tidurnya gelisah. Peluhnya merembes keluar dari segenap pori di wajah, leher, dan dada kekarnya yang telanjar. Lalu sontak ia terbangun sembari mengeluarkan teriakan membentak yang tertahan. Saat di sadarinya bahwa ia terbangun dari lelapnya, ia pun menghela nafas panjang dan merunduk sembari memejamkan matanya. “Rupanya aku barusan mengalami mimpi buruk. Sungguh baru kali ini aku mengalami yang sangat buruk seperti ini. Adakah itu sebuah pertanda?”ucapnya pelan, seolah-olah kepada dirinya sendiri. Ia merebahkan tubuhnya dan mencoba untuk kembali melanjutkan tidurnya, nam
Untuk mengisi waktu sore yang masih terik itu, La Mudu dan kelima teman kamarnya dan beberapa pemuda dari kamar lain di rumah panjang, memanfaatkannya untuk duduk berkumpul di teras depan kamar yang berupa balkon panjang untuk menghibur diri dengan mendengarkan La Pabise memetik gambo pinjaman dari kamar sebelah yang diiringi oleh La La Rangga Jo, La Lewamori, dan yang lainnya dengan kapatu Mbojo. Syair-syair kapatu yang mereka bawakan tentang kerinduan pada kampung halaman, pada kekasih, dan tentang kenangan-kenangan mereka masing-masing bersama mantan kekasih mereka yang kini telah mereka tinggalkan buat selamanya. Namun adanya rombongan sekitar enam ekor kuda yang