All Chapters of ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA: Chapter 41 - Chapter 49
49 Chapters
Bagian 41
Di luar sudah petang, sudah jadi kewajiban kami sebagai tuan rumah yang baik untuk mempersilahkan masuk tamu yang datang. Memberi hidangan penyambutan meskipun hanya berupa minuman. Di atas sofa, kak Rama duduk gelisah. Jelas sekali jika raganya di sana tapi isi pikirannya menjalar ke arah Gio yang dibawa Papa dan Mama masuk ke  kamar. Aku salut pada orang tuaku. Di luar tekanan yang mereka berikan padaku di masa lalu, baik Papa dan Mama barusan sepakat memberiku kesempatan menyambut Kak Rama, yang artinya mereka pun memberiku kebebasan untuk membeberkan segala kejadian di masa lampu. Sekaligus menilai yang dilakukan orang tuaku sendiri dari sudut pandangku. Ya walaupun aku paham, di rumah yang hanya berlantai satu ini, Mama yang jelas-jelas menunjukkan sikap tak suka atas kehadiran Kak Rama pasti memasang telinga lebar-lebar. Memaksimalkan kemampuan mengupingnya. "Minumlah, Kak." Dia tak mengindahkan jamuan teh hangatku. Sorot matanya yang gegab
Read more
Bagian 42
Aku kembali setelah membereskan tangis kesedihan. Kulihat Kak Rama sedang duduk melantai. Menghadapi Gio yang masih duduk di sofa. Sementara Papa dan Mama mengawasi kedatanganku seraya membuang nafas lelah. Semacam peringatan untukku yang kini duduk di samping Gio. "Sekalang Gio sudah boleh panggil 'Om Lama' lagi kan?" Kak Rama tersenyum lebar. Mencubit pipi Gio dengan gemas lalu mengangguk menyetujui. Dia luar biasa dengan segala pengertian dan keikhlasannya sekarang. "Terima kasih Gio sudah mau memanggil ayah. Nanti kalau Om Rama sedih karena kangen anak Kak Rama lagi, Gio mau kan panggil Om Rama 'Ayah' lagi?" "Siap!" sahut Gio sambil menempelkan telapak tangannya di kening kanan. Berusaha bersikap hormat walau masih belepotan. "Gio senang kan bertemu Om Rama?" tanya Kak Rama setelah mengabsen wajahku, Papa, dan Mama. "Senang. Gio senang kenal dengan banyak olang. Papa selalu bilang, Gio halus lamah dan baik pada semua olang. Om Lama
Read more
Bab 43
Saat aku membuka tirai jendela, kulihat matahari pagi ini cukup terik. Kilaunya menyilau, menyipit aku dibuatnya. Kurasa cuaca hari ini akan panas menyengat, tapi dingin mengering khas musim kemarau.Semalam aku tidur sangat lelap. Kembali sendiri di kamar kos ini setelah kemarin berdrama panjang dengan Gio yang tak mau ditinggalkan. Dia memaksa ikut denganku agar bisa bertemu dengan Kak Rama. Entahlah. Mereka bahkan baru bertemu sekali tapi ikatan itu sudah terjalin sekuat ini.Dia terbangun di minggu pagi sambil merengek-rengek mencari Kak Rama. Merasa ditipu karena ditinggalkan saat sedang terlelap. Orang tuaku sibuk membujuk dengan berbagai hal, tapi dia masih saja bertanya tentang cara menemui Kak Rama. Di saat itulah aku merasa harus melakukan sesuatu. Terus kuusahakan membujuknya melalui pelukan demi pelukan yang sebelumnya jarang kuberikan. Memang aku ibu yang kejam, bukan penyayang, tapi juga bukan pembenci.Setelah berhasil membuatku tercengang, dia pe
Read more
Bab 44
"Ketemu! Itulah masalahnya. Dia mungkin memutuskanmu karena itu, dia tidak ingin kamu dipecat dari rumah sakit ini, tidak mau menghambat karirmu."Masuk akal. Kak Rama adalah bagian dari direksi, kemungkinan kecil rumah sakit akan memecatnya. Dari janji untuk mempertahankanku di rumah sakit ini tempo hari, kurasa suaranya banyak berpengaruh. Sementara aku yang hanya pegawai biasa akan lebih mudah dihentikan jalannya. Itukah alasannya?"Bukankah itu bisa ditutupi dengan menjalin hubungan diam-diam?""Diam-diam sampai kapan? Sampai kalian menikah?" Dia bangun, duduk bersedekap lalu kembali terkekeh saat otakku yang buntu masih berusaha mencerna jawabannya. "Dia sudah melepaskanmu, Anindya. Menyerahlah, buka pintu hatimu untukku. Dia sudah menyerah meskipun masih mencintaimu. Demi kebaikanmu."Aku tertegun sejenak. Menela saliva encer agar membasahi tenggorokan. Kutekuk wajah sambil memejamkan mata."Kurasa suasana hatimu sedang tak baik. Antarkan aku
Read more
Bab 45
Kumajukan bibir setelah lama berdiri di tepi jalan. Aku menunggu, sesekali melangkah maju dengan kedua tangan menggenggam tali backpack yang kupakai. Kutoleh ke kanan, menanti seseorang.Ah ini sudah hampir setengah jam. Apa susahnya menghubungiku dulu jika masih ada kepentingan, bukan malah membuatku menunggu serasa tahun-tahunan. Terus timbul niat kembali ke kamar kos saja, tapi selalu kubatalkan jika ingat mungkin yang kutunggu segera tiba.Kulihat lagi jam di layar ponsel. Jika lima belas menit lagi dia tak datang, aku kembali ke kamar. Semua orang akan setuju jika kukatakan lama menunggu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Tapi, aku jadi ingat satu hal. Saat meminta kak Rama menungguku beberapa waktu lalu, jangan-jangan salah satu alasannya melepasku adalah karena rasa jengkel yang sama. Ah entahlah.Lima belas menit sia-siaku pun berlalu. Aku memutar badan ke kiri. Berjalan lurus dengan perasaan dongkol di hati. Sayangnya, cukup beberapa langkah kutapaki
Read more
Bab 46
"Menginaplah di sini, Rama."Semua mata tertuju pada Papa. Tak terkecuali Mama yang mendelik ingin melayangkan protes. Namun Papa segera menggenggam tangannya."Kita tidak boleh egois, Ma. Kita sama-sama tahu apa yang Gio butuhkan."Kulihat Mama mencabut tangannya, lalu meninggalkan meja makan dan dengan dalih membawa piring kotornya ke dapur. Tinggi, Mama membentengi hatinya tinggi sekali."Temani Gio tidur. Besok kamu libur kan?"Kak Rama mengangguk kaku. "Tapi, saya takut merepotkan Om dan Tante.""Selama kamu tidak masuk ke kamar Anindya, tidak ada yang merepotkan bagi kami."Wajahku merah padam. Apa-apaan sih Papa. Malah sengaja menggoda. Kak Rama bahkan kesulitan menutupi senyum malu-malunya. Kulihat tangannya yang mengusap tengkuk berkali-kali karena gerogi.***"Aku masih mencintainya, Deco.""Aku tahu. Sudah kukatakan akan sabar menunggu bukan?" Lelaki berkursi roda itu tampak mantap."Sama seperti
Read more
Ending
Malam kian larut. Sepi. Anakku, yang pernah sekian lama menjadi impianku, sudah lelap dalam pelukku. Gioksa Anrama, terima kasih untuk akronim nama yang kamu berikan, Nin. Pertanda kamu tak pernah melupakanku barang sedikitpun. Andai hal-hal yang selama ini selalu mengingatkanmu padaku itu mengarah kepada kebencian sekalipun, aku rela. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Nin. Kamu telah mematri cinta kita agar melekat selalu pada diri Gio. Pukul sepuluh malam. Kurasa semua orang sudah tidur. Tante Fatma, Om Ibra, bahkan Anindya, tak satupun di antara mereka kujumpai saat mengambil minum di dapur. Tak kudengar pula suara mereka. Sementara aku sendiri tak bisa tidur. Kebahagiaan ini terlalu nyata untuk mengantarku dalam lelap. Aku masih ingin menikmatinya. Seteguk kuminum, menyandarkan pantat di meja dapur dengan pandangan menjelajah ke seisi rumah. Memang posisi dapur menjangkau semua. Rumah berlantai satu ini hampir tak bersekat selain kamar. Hingga dengan mudahnya s
Read more
Extra Part 1
Serangkaian prosesi menjelang pernikahanku dan kak Rama digelar secara runtut. Dimulai dari prosesi lamaran antar dua keluarga yang baru kemarin diadakan. Kak Rama memang ingin segera menikah. Dia takut aku akan berubah pikiran. Lagi pula Mama khawatir terjadi Gio jilid dua. Takut saja kalau-kalau kami khilaf seperti dulu. "Aku boleh main ke kosmu?" Aku hanya melirik judes sambil memainkan ponsel lalu diam pura-pura tak mendengar. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mengusik rambutku. "Kakak ih!" protesku karena rambut panjangku jadi acak-acakan. "Aku butuh jawaban." "Pertanyaan yang mana?" Kupasang wajah tanpa dosa. "Jadi tidak boleh main ke kosmu? Kenapa? Masih takut padaku hm?" cecarnya setelah menyahut ponselku. Geram, aku pun merebahkan punggung di beanbag. Menatap ke langit
Read more
Ekstra Part 2
"Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Ibrahim dengan mas kawin sebuah klinik fisioterapi dibayar tunai." Nafasku berembus lega kala semua saksi menyebut sah. Artinya, impianku yang sesungguhnya telah menjadi nyata. Kami menikah, bersiap membangun rumah tangga. Meskipun tak paham betul tentang arti sebuah pernikahan, Gio yang duduk di samping Mama tersenyum kepadaku. Dia tampak tampan dalam balutan jas hitam persis yang dikenakan lelaki di sebelahku, ayahnya yang kini sah menjadi suamiku. Soal mas kawin, aku tak menyangka kak Rama akan memberinya. Aku tak pernah meminta. Saat dia bertanya aku ingin mas kawin apa, selalu kujawab terserah. Hasilnya, dia mengonsep semua dengan matang di hari pernikahan. Tak kusangka lelaki tampan yang pernah menjadi masa lalu pahit bagiku adalah lelaki yang sama yang akan menemaniku menggapai cita dan cinta. Mulai hari ini kami a
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status