"Ketemu! Itulah masalahnya. Dia mungkin memutuskanmu karena itu, dia tidak ingin kamu dipecat dari rumah sakit ini, tidak mau menghambat karirmu."
Masuk akal. Kak Rama adalah bagian dari direksi, kemungkinan kecil rumah sakit akan memecatnya. Dari janji untuk mempertahankanku di rumah sakit ini tempo hari, kurasa suaranya banyak berpengaruh. Sementara aku yang hanya pegawai biasa akan lebih mudah dihentikan jalannya. Itukah alasannya?
"Bukankah itu bisa ditutupi dengan menjalin hubungan diam-diam?"
"Diam-diam sampai kapan? Sampai kalian menikah?" Dia bangun, duduk bersedekap lalu kembali terkekeh saat otakku yang buntu masih berusaha mencerna jawabannya. "Dia sudah melepaskanmu, Anindya. Menyerahlah, buka pintu hatimu untukku. Dia sudah menyerah meskipun masih mencintaimu. Demi kebaikanmu."
Aku tertegun sejenak. Menela saliva encer agar membasahi tenggorokan. Kutekuk wajah sambil memejamkan mata.
"Kurasa suasana hatimu sedang tak baik. Antarkan aku
Kasih bintang lima ta say, tenkiu
Kumajukan bibir setelah lama berdiri di tepi jalan. Aku menunggu, sesekali melangkah maju dengan kedua tangan menggenggam tali backpack yang kupakai. Kutoleh ke kanan, menanti seseorang.Ah ini sudah hampir setengah jam. Apa susahnya menghubungiku dulu jika masih ada kepentingan, bukan malah membuatku menunggu serasa tahun-tahunan. Terus timbul niat kembali ke kamar kos saja, tapi selalu kubatalkan jika ingat mungkin yang kutunggu segera tiba.Kulihat lagi jam di layar ponsel. Jika lima belas menit lagi dia tak datang, aku kembali ke kamar. Semua orang akan setuju jika kukatakan lama menunggu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Tapi, aku jadi ingat satu hal. Saat meminta kak Rama menungguku beberapa waktu lalu, jangan-jangan salah satu alasannya melepasku adalah karena rasa jengkel yang sama. Ah entahlah.Lima belas menit sia-siaku pun berlalu. Aku memutar badan ke kiri. Berjalan lurus dengan perasaan dongkol di hati. Sayangnya, cukup beberapa langkah kutapaki
"Menginaplah di sini, Rama."Semua mata tertuju pada Papa. Tak terkecuali Mama yang mendelik ingin melayangkan protes. Namun Papa segera menggenggam tangannya."Kita tidak boleh egois, Ma. Kita sama-sama tahu apa yang Gio butuhkan."Kulihat Mama mencabut tangannya, lalu meninggalkan meja makan dan dengan dalih membawa piring kotornya ke dapur. Tinggi, Mama membentengi hatinya tinggi sekali."Temani Gio tidur. Besok kamu libur kan?"Kak Rama mengangguk kaku. "Tapi, saya takut merepotkan Om dan Tante.""Selama kamu tidak masuk ke kamar Anindya, tidak ada yang merepotkan bagi kami."Wajahku merah padam. Apa-apaan sih Papa. Malah sengaja menggoda. Kak Rama bahkan kesulitan menutupi senyum malu-malunya. Kulihat tangannya yang mengusap tengkuk berkali-kali karena gerogi.***"Aku masih mencintainya, Deco.""Aku tahu. Sudah kukatakan akan sabar menunggu bukan?" Lelaki berkursi roda itu tampak mantap."Sama seperti
Malam kian larut. Sepi. Anakku, yang pernah sekian lama menjadi impianku, sudah lelap dalam pelukku. Gioksa Anrama, terima kasih untuk akronim nama yang kamu berikan, Nin. Pertanda kamu tak pernah melupakanku barang sedikitpun. Andai hal-hal yang selama ini selalu mengingatkanmu padaku itu mengarah kepada kebencian sekalipun, aku rela. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Nin. Kamu telah mematri cinta kita agar melekat selalu pada diri Gio. Pukul sepuluh malam. Kurasa semua orang sudah tidur. Tante Fatma, Om Ibra, bahkan Anindya, tak satupun di antara mereka kujumpai saat mengambil minum di dapur. Tak kudengar pula suara mereka. Sementara aku sendiri tak bisa tidur. Kebahagiaan ini terlalu nyata untuk mengantarku dalam lelap. Aku masih ingin menikmatinya. Seteguk kuminum, menyandarkan pantat di meja dapur dengan pandangan menjelajah ke seisi rumah. Memang posisi dapur menjangkau semua. Rumah berlantai satu ini hampir tak bersekat selain kamar. Hingga dengan mudahnya s
Serangkaian prosesi menjelang pernikahanku dan kak Rama digelar secara runtut. Dimulai dari prosesi lamaran antar dua keluarga yang baru kemarin diadakan. Kak Rama memang ingin segera menikah. Dia takut aku akan berubah pikiran. Lagi pula Mama khawatir terjadi Gio jilid dua. Takut saja kalau-kalau kami khilaf seperti dulu."Aku boleh main ke kosmu?"Aku hanya melirik judes sambil memainkan ponsel lalu diam pura-pura tak mendengar. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mengusik rambutku."Kakak ih!" protesku karena rambut panjangku jadi acak-acakan."Aku butuh jawaban.""Pertanyaan yang mana?" Kupasang wajah tanpa dosa."Jadi tidak boleh main ke kosmu? Kenapa? Masih takut padaku hm?" cecarnya setelah menyahut ponselku.Geram, aku pun merebahkan punggung di beanbag. Menatap ke langit
"Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Ibrahim dengan mas kawin sebuah klinik fisioterapi dibayar tunai."Nafasku berembus lega kala semua saksi menyebut sah. Artinya, impianku yang sesungguhnya telah menjadi nyata. Kami menikah, bersiap membangun rumah tangga.Meskipun tak paham betul tentang arti sebuah pernikahan, Gio yang duduk di samping Mama tersenyum kepadaku. Dia tampak tampan dalam balutan jas hitam persis yang dikenakan lelaki di sebelahku, ayahnya yang kini sah menjadi suamiku.Soal mas kawin, aku tak menyangka kak Rama akan memberinya. Aku tak pernah meminta. Saat dia bertanya aku ingin mas kawin apa, selalu kujawab terserah. Hasilnya, dia mengonsep semua dengan matang di hari pernikahan.Tak kusangka lelaki tampan yang pernah menjadi masa lalu pahit bagiku adalah lelaki yang sama yang akan menemaniku menggapai cita dan cinta. Mulai hari ini kami a
Susah payah meniti tangga, akhirnya telapak kaki ini sampai juga di lantai dua. Langkahku tertatih dan berat. Gelap. Entah karena otakku buntu atau memang tak ada penerangan yang cukup dari lampu. Hanya pencahayaan dari dalam sebuah kamar di dekat tangga yang memberiku penerang jalan. Itupun sepertinya karena pintunya sedikit terbuka. Untunglah, kalau tidak mungkin aku hanya bisa meraba dan mengira. Padahal kepalaku terasa berat, pening tak karuan. Langkahku masih terhuyung. Pandanganku pun mengabur. Ah aku ini sebenarnya kenapa? Bagai laron musim hujan kakiku pun tertarik melangkah menuju terang, membuka pintu sipit itu agar melebar. Alisku pun naik turun saat pupil menyesuaikan pencahayaan. Kubuka pintu itu, melangkah masuk memeriksa isinya setelah menguncinya. Sedang mimpi kah? Mungkin patah hati membuatku sedikit tak waras. Bagaimana mungkin kutemukan seorang gadis yang
Tik tok tik tok..Kudengar denting jarum jam di tengah kesunyian. Mataku mengerjap-kerjap ketika pupil menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Sejenak kemudian kusadari dingin menusuk tengkuk. Kuusap-usap perlahan, ah rupanya aku tidur tanpa pakaian. Celana berikut celana dalamku turun sepaha, jorok sekali bak bayi.Celanaku? Celana dalamku? Turun? Tunggu! Ini bukan kamarku.Aku tersentak, bangkit, lalu terduduk keheranan. Kamar siapa ini? Mataku semakin terbelalak lebar saat melihat meja rias yang penuh dengan beberapa benda khas perempuan. Ada bandana biru tosca, jepit rambut dan.. Sebuah boneka beruang berwarna cokelat yang tak tertolong tergeletak di lantai begitu saja.Glek! Aku menelan ludahku yang pekat. Seret. Rasanya leherku kaku saat menemukan kaki kecil menjulur keluar dari selimut di sampingku.Aku menoleh dan.. DAMN! SIAL!!Kamu gila Rama!! Gila!!Kedua tanganku mulai meremas rambut frustasi
***Follow me, comment dan kasih rating ya...***Anindya, Anindya, Anindya..Nama itu terus berloncatan di kepalaku. Nama seorang gadis kecil yang bahkan belum lulus SMP, gadis manis yang baru saja kuperawani, terus saja timbul tenggelam dengan sendirinya.Rama, seorang dokter melakukan pencabulan pada gadis di bawah umur. Dunia akan mengenalku demikian? Tidak! Betapa konyolnya jika muncul berita semacam itu.Usai keluar dari kamarnya, aku menghempaskan badan ke ranjang. Meninggalkannya sendirian setelah memastikan dia bisa berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa sentuhanku.Sekarang hanya giliranku berdoa, semoga Anindya, gadis kecil itu tidak melapor pada orang tuanya, terlebih pada ayahnya yang berprofesi sebagai hakim. Sial! Kenapa dia harus dititipkan di rumahku? Kenapa di saat aku hancur karena rencana pernikahan Riri -gadis yang ku