Lahat ng Kabanata ng Dance in the Rain: Kabanata 11 - Kabanata 20
34 Kabanata
Gadis Misterius
Semesta Aksara"Buset, galak banget sih," ucapku saat mendengar jawaban ketus Rain di ujung panggilan telepon. Bukannya sok jaim ataupun berusaha bersikap baik, perempuan itu masih saja menunjukkan sisi galaknya padaku. Padahal, setiap perempuan mengharapkan apa yang kulakukan pada perempuan itu sekarang.Mereka pasti bakal bersorak senang ketika menerima telepon dariku. Tak jarang cewek-cewek itu dalam sekejap menjadi sosok menggemaskan dengan suara yang diimut-imutkan. Bahkan tidak sedikit yang mengirimkan pesan setiap malam, hanya demi memintaku mengirim voice note - telepon jika perlu, sebagai lagu pengantar tidur. Sementara makhluk yang satu ini, manusia bernama Rain - bukan Raina - sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Dia memang berbeda. Sangat berbeda. "Ya makanya nggak usah pakai basa-basi segala. Apa yang lo mau?" Suara galak Rain masih terdengar di ujung pelantang suara. "Oke, gue nggak bakal basa-basi lagi. Sekarang, gue ada di depan rumah lo!""Hah
Magbasa pa
Tentang Rain
Semesta Aksara"Kenapa wajah lo suntuk gitu?"Pertanyaan Narendra mengalihkan fokusku. Aku memutuskan pergi ke tongkrongan ketimbang pulang ke rumah. Pikiran tentang Rain masih terus menganggu dan aku butuh sesuatu untuk mengalihkan hal itu. Pergi ke tongkrongan menjadi satu-satunya pilihan di saat suntuk seperti sekarang. "Ndra, lo bilang Rain dapat beasiswa kan?""Iya, kenapa? Lo beneran tertarik sama, Rain?""Nggak penting, tapi gue barusan ke rumahnya. Dia anak orang kaya anjir. Rumahnya gede banget. Tinggal di kawasan perumahan mewah. Nggak salah tuh dia dapat beasiswa?"Narendra mengendikkan bahu. Aku menatapnya tak percaya. Temanku itu, dia adalah sumber dari segala informasi. Dari staf hingga rektor, tak ada yang luput dari pengawasan Narendra.Dia juga yang menjadi sumber informan ketika ada hal yang tak beres di kampus. Termasuk penggelapan uang yayasan yang sempat dilakukan sejumlah karyawan baru-baru ini. Narendra mendapatkan semua buktinya hingga membuat mereka tak bi
Magbasa pa
Are You Okay, Rain?
Semesta AksaraBangunan dua lantai yang terlihat kuno dibandingkan bangunan di sekitarnya, terlihat gelap saat aku tiba di sana. Seakan tak ada tanda-tanda orang yang menghuni bangunan tersebut. Hanya ada sebuah nyala lampu di lantai dua yang tampak temaram dengan pintu balkon dibiarkan terbuka. Kelambu yang menutupi pintu, bergerak tertiup angin malam yang berembus pelan. Aku mengambil ponsel dari saku celana dan berusaha menghubungi sebuah nomor yang baru saja tersimpan di ponselku. Tetap tak ada jawaban. Bahkan pesan yang terakhir kali aku kirimkan pada gadis itu masih centang satu. Gelisah menyelimuti diriku. Aku menatap sekeliling untuk mencari celah agar bisa melompat masuk ke dalam rumah tersebut. "Gila! Apa gue harus senekat ini?" bisikku pada diri sendiri.Namun, perasaanku makin tak tenang. Entah mengapa, pikiranku terus terbayang pada adegan beberapa waktu lalu saat aku masih berada di depan rumah ini.
Magbasa pa
Jangan Lewati Batasmu
Semesta RainTubuhku membeku. Aku tak sanggup bergerak ketika sebaris kalimat terucap dari bibir Aksara. "Are you okay, Rain?"Aku mendadak bisu. Tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun meski sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan yang terucap. "Katakan kalau memang ada yang sakit, Rain. Katakan!"Suara Aksara kembali terdengar. Mengaduk-aduk perasaan dalam jiwaku yang mendadak menjadi lemah akibat mendengar kalimat yang terucap dari mulut laki-laki itu. Tubuhku gemetar. Ada perasaan yang tak sanggup kujelaskan.Rasanya, sudah lama sekali aku tak mendengar seseorang bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja setelah bertahun-tahun lalu. Mungkin, Aruna sering kali menanyakan pertanyaan yang sama. Hanya saja, ruh dari pertanyaan yang diucapkan Aruna tidak seperti Aksara. Aku tidak membandingkan kekhawatiran mereka berdua. Jelas, aku bisa merasakan mereka sama-sama khawatir melihat keadaanku.
Magbasa pa
Hubungan yang Dingin
Semesta RainHarusnya ini menjadi hari pertama kami latihan bersama sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pada hari Sabtu di sela-sela kesibukan jadwal kami di akhir pekan. Namun, sudah hampir sepuluh menit, baik aku ataupun Aksara tak satu pun yang memulai percakapan. Selain sapaan "hai" singkat ketika kami pertama kali bertemu beberapa saat lalu. Kami sama-sama bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing dalam diam. Meski sebenarnya, aku tahu bahwa Aksara menahan diri untuk tidak bicara. Mulut lelaki itu pasti sudah gatal ingin segera mengatakan apa pun yang tertahan di ujung lidahnya. Pernyataan-pernyataan konyol atau mungkin tanggapan serius seperti saat terakhir kali kami bertemu. "Lo, gimana punya pikiran kalau selama ini gue cuma pura-pura?"Aku masih ingat pertanyaan yang diajukan Aksara tiga hari lalu sebelum pergi dari rumah Paman Bara. Aku bahkan masih ingat bagaimana senyum kecut itu membingkai wajahnya. "Berarti, nggak semua berhasil lo tipu kan?"Tangan Aksara men
Magbasa pa
Demi Kamu
Semesta AksaraAku tidak tahu, apa yang membuat hubunganku dengan Rain mendadak jadi dingin. Mungkin akibat pertanyaan yang ia ungkapkan beberapa hari lalu di rumah perempuan itu. Ada percikan api yang membuatku merasa tak nyaman. Bukan karena ucapan perempuan itu keliru, tapi justru sebaliknya. Meski begitu aku tetap berusaha menyangkal dan tak mau mengakui kebenaran ucapan Rain. Ia tak sepenuhnya salah bahwa selama ini, aku hanya berpura-pura tampak baik-baik saja. Sekalipun itu hanya tameng yang kugunakan untuk menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya. Aku tak ingin orang lain tahu, bahwa seorang Baruna Aksara - sang penguasa lautan kata-kata - sebenarnya tak lebih dari kepompong kosong yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Sosok pemuda itu bahkan tak tahu, mana jati dirinya yang sebenarnya. Ia bisa jadi orang yang berbeda, tergantung siapa yang dihadapi. Ya, satu-satunya hal yang tak bisa berbohong hanyalah sorot matanya. Seperti yang diucapkan Rain. Kini, ketika aku
Magbasa pa
Masih Adakah Rumah Tempat Pulang?
Semesta Aksara"Mampir dulu yuk, Sa. Malming juga, nggak mungkin ke sekre kan lo?""Sori, Le. Gue mesti balik sekarang."Aku menolak tawaran tegas dari Lea setelah mengantar perempuan itu ke rumahnya. Bagaimanapun aku tahu maksud Lea menggiringku buat mampir ke rumah perempuan itu. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan hanya meninggalkan Lea seorang diri dan ditemani beberapa asisten rumah tangga. Apalagi yang diharapkan perempuan itu dari seorang lelaki dalam keadaan rumah sepi?Aku memang tak pernah menganggap serius rumor yang beredar tentang Lea. Bahwa perempuan itu sering kali having sex dengan teman-teman cowoknya.Tapi, melihat sikap Lea yang selalu berusaha meminta aku ke rumahnya setiap kali dalam keadaan sepi, selalu membuatku waspada. Lagipula, ini bukan sekali dua kali Lea berusaha membujukku buat tetap tinggal setelah mengantarkan dia pulang. "Yah, padahal gue tadi pagi baru aja bikin cookies yang mau gue kasih tunjuk ke elo." Wajah Lea tampak kecewa. Lebih dari itu,
Magbasa pa
Ikut Denganku!
Semesta RainAku baru saja menyelesaikan pekerjaan paruh waktu sebagai guru privat bagi seorang anak lelaki kelas 2 SMP saat jam menunjukkan pukul 19.10. Tepat ketika keluar dari gerbang dan hampir tertabrak sebuah motor sport dengan kecepatan tinggi yang tiba-tiba menyerobot dari arah berlawanan. Kalau saja motor itu tak bisa menarik tuas rem tepat waktu, tabrakan pasti tak mungkin terhindarkan. Beruntung, lelaki yang membawa box di belakang motornya itu bisa menarik tuas rem tepat waktu. "Lain kali hati-hati kalau bawa motor, Mas," ucapku berusaha sabar meski lelaki itulah yang sepenuhnya salah akibat tak berhati-hati. Namun, sosok di balik helm itu justru nyolot dan mengucapkan kalimat kasar. "Berengsek! Lo tuh yang nggak punya mata!"Seketika aku terkejut dengan makian yang terucap dari mulut lelaki itu. Terlebih saat mengenali dengan pasti pemilik suara yang hampir menabrakku itu. Didorong perasaan geram bercampur kesal, aku berjalan mendekati lelaki itu sambil berkacak pin
Magbasa pa
Sekretariat BEM
Semesta RainKondisi kampus sangat sepi saat kami sampai sekitar dua puluh menit kemudian. Aksara terus membawa motornya ke arah gedung khusus tempat sekretariat UKM.Ada parkir khusus untuk memudahkan para mahasiswa mengikuti kegiatan kampus di luar belajar mengajar. Tanpa harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir utama. Meski begitu, sampai sejauh ini belum ada kalimat yang terucap dari mulut Aksara. Begitu juga selama di sepanjang perjalanan menuju tempat ini. Tidak sedikit pun kami bertukar pembicaraan dan hanya diam membiarkan angin malam menerpa tubuh kami. Bahkan saat ia menghentikan motornya di tempat parkir pun, belum ada sepatah kaya yang diucapkan. "Turun, mau sampai lo di atas motor?" Suara Aksara mengagetkanku yang hampir tenggelam dalam lamunan. "Hah? Jadi di sini tujuan lo?" tanyaku seperti orang bodoh. Lantas segera menyesalinya begitu dia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku malu. "Memang lo berharap gue ajak ke mana?"Seketika, wajahku terasa panas. Ben
Magbasa pa
Sebuah Pelukan
Semesta Rain"Gimana sih rasanya punya kakak senior most wanted kayak, Aksara sama Narendra? Secara mereka berdua cowok-cowok paling keren di kampus," tanya Maya begitu makan malam dadakan yang dibuat Aksara berakhir. Kami bertiga, tengah membersihkan piring di pancuran tak jauh dari sekretariat BEM yang biasanya digunakan anak-anak UKM olahraga, untuk membasuh wajah setelah berlatih di lapangan. "Bukannya kalian juga juniornya ya? Pasti nggak jauh bedalah sama yang kalian rasain.""Bukannya kayak gitu, Rain." Eta menambahkan dengan raut muka yang terlihat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan kesan sangar yang ditunjukkan perempuan itu ketika di hadapan banyak orang. "Terus?""Ya, kalian kan sejurusan gitu. Waktu buat ketemu mereka lebih banyak ketimbang kami. Memang nggak ada kesan gimana gitu?" Maya ingin tahu. "Nggak ada tuh. Lagian, bukan berarti kami sejurusan terus bakal ketemu setiap hari kan?""Ah, iya juga sih. Tapi, bener nggak sih, rumor yang tersebar. Kalau lo nol
Magbasa pa
PREV
1234
DMCA.com Protection Status