Semesta Rain"Gimana sih rasanya punya kakak senior most wanted kayak, Aksara sama Narendra? Secara mereka berdua cowok-cowok paling keren di kampus," tanya Maya begitu makan malam dadakan yang dibuat Aksara berakhir. Kami bertiga, tengah membersihkan piring di pancuran tak jauh dari sekretariat BEM yang biasanya digunakan anak-anak UKM olahraga, untuk membasuh wajah setelah berlatih di lapangan. "Bukannya kalian juga juniornya ya? Pasti nggak jauh bedalah sama yang kalian rasain.""Bukannya kayak gitu, Rain." Eta menambahkan dengan raut muka yang terlihat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan kesan sangar yang ditunjukkan perempuan itu ketika di hadapan banyak orang. "Terus?""Ya, kalian kan sejurusan gitu. Waktu buat ketemu mereka lebih banyak ketimbang kami. Memang nggak ada kesan gimana gitu?" Maya ingin tahu. "Nggak ada tuh. Lagian, bukan berarti kami sejurusan terus bakal ketemu setiap hari kan?""Ah, iya juga sih. Tapi, bener nggak sih, rumor yang tersebar. Kalau lo nol
Semesta RainAir mata masih menggenang di pelupuk netraku. Hujan di luar masih turun dengan derasnya. Sementara Aksara, tak se-inchi pun menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku. Ia tetap duduk di sampingku sambil mendekapku ke dadanya dengan kuat. Tak ada kalimat yang terucap dari mulut lelaki yang biasanya tak pernah kehabisan kata-kata itu. Ketimbang berisik, ia memilih mendekapku di dadanya dan menutup daun telingaku dengan sebelah tangan. Tangan yang lain ia gunakan untuk mengusap punggungku agar merasa tenang. Terbukti, sebentar saja aku sudah merasa lebih baik. Meski air mata tak sepenuhnya surut dan tubuhku belum terbiasa dengan suara hujan yang sangat deras di luar sana. "Tenang, Rain. Lo nggak sendirian. Ada gue," bisiknya berulang-ulang meski hanya sesekali diucapkan. Berangsur, tubuhku tak lagi gemetar. Berkat tepukan Aksara di punggungku juga alunan musik yang berhasil meredam suara hujan. Setelah merasa baik-baik saja, aku mendorong pelan tubuh lelaki itu. Namun, ia me
Semesta Aksara'Sial! Apa yang lo pikirkan dalam situasi seperti ini? Harusnya lo buang jauh-jauh pikiran buruk itu, Aksara!' Batinku menjerit sejak beberapa waktu lalu. Tepatnya ketika Rain mendadak ketakutan saat hujan mulai turun. Dia bahkan bisa memprediksi dengan tepat jika langit malam yang sebelumnya cerah, tiba-tiba dirundung hujan. Kini, aku berada dalam situasi sulit di mana aku justru membayangkan adegan yang bukan-bukan saat tak ada lagi jarak di antara kami. 'Sampah! Setan lo, Sa!' Batinku masih terus berdebat. Aku berusaha mati-matian agar bisa mengendalikan diri dan justru tak menyakiti perempuan yang tengah meringkuk ketakutan dalam dekapanku. Bersyukur, hujan yang sebelumnya sangat deras hingga seakan-akan menenggelamkan bumi, berangsur reda dan menyisakan rintik air dari atap halte tempat kami berteduh. Dan, saat itulah sebuah pertanyaan mengusik pikiranku. Rumor yang dikatakan Narendra beberapa waktu kembali mengusikku. Tentang Rain yang pernah mengalami keker
Semesta AksaraWajah damai Rain dalam tidurnya membuatku tenggelam dalam lamunan. Pada sebuah tanya akan,"apa yang membuat gadis itu begitu terluka?"Apa benar karena mendapat kekerasan fisik dan mental dari orang terdekatnya? Jika memang benar, apa yang membuat gadis itu tetap bertahan? Bukankah ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan juga kritis? Apa orang yang seperti itu, akan diam saja apabila dirinya tertindas dan mendapatkan kekerasan? Heh, pada kalimat tanya terakhir yang mengganggu pikiranku, aku tersenyum sinis. Ini bukan semata-mata Rain berani melawan ataupun melaporkan - tindakan siapa pun itu - atau tidak. Selain didorong rasa takut, dia pasti tertekan dan tak sanggup mengatakan kebenarannya pada orang lain. Atau ... orang itu dulunya tak bersikap kasar dan berubah setelah mengalami situasi sulit dalam hidupnya. Dan, Rain percaya bahwa orang itu akan kembali seperti sedia kala. Atau justru, Rain tak mengatakan pada orang lain, sebab tak orang sosok yang dapat mengu
Semesta Rain"Rain!" panggilan dari seseorang yang kukenal tak menghentikan sepasang kaki yang berjalan menyusuri koridor kampus siang itu. Justru, begitu mendengar suaranya, aku semakin gegas meninggalkan area gedung perkuliahan. Setidaknya untuk hari ini, aku tak ingin bertemu dengan lelaki itu lebih dulu. Apakah aku menghindar? Jawaban, ya itu jelas. Tiga hari ini, aku menghindari sosok lelaki muda yang kini - sesuai perkiraanku - sedang mengejarku. "Mampus!" rutukku gemas ketika menyadari sosok lelaki itu semakin dekat, dari derap langkah kakinya yang mengejar di belakangku. Tidak ada tempat untuk kabur. Terpaksa aku menambah kecepatan langkah kakiku agar terhindar dari manusia yang ... "Aww!!" teriakku cukup kencang ketika merasakan tanganku ditarik paksa oleh seseorang. "Lo mau alasan apalagi sekarang? Kalau gini, makin jelas lo ngehindari gue!" ucap lelaki itu dengan raut muka galak. Tak seperti biasanya yang selalu menunjukkan raut muka tengil hingga membuatku ingin se
Semesta RainAksara menarik tanganku begitu saja. Ia terus berjalan tanpa peduli padaku yang masih berusaha menolak ajakannya. Namun, tenaga lelaki itu lebih besar dan membuatku tak bisa melawan. "Kita mau ke mana sih?" tanyaku menahan perasaan kesal ketika Aksara justru membawaku menjauhi kawasan Monas. Lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan di sepanjang Jalan Veteran yang selalu ramai. Tak terkecuali sore hari. "Traktir gue makan ice cream," ucapnya santai sambil berbelok ke kedai ice cream legendaris yang berada di sekitar kawasan tersebut. Seketika, aku menelan ludah dengan kasar. Bukan berarti aku tak sanggup membelikan ice cream yang Aksara mau. Selama ini, aku bekerja part time banting tulang bukan karena tidak memiliki cukup uang. Uang bulanan yang dikelola paman dari warisan orang tuaku, masih cukup hingga aku berusia 25 tahun nanti. Aku bekerja siang malam, hanya demi menjaga kewarasanku agar tetap terjaga. Setidaknya dengan berada di luar rumah lebih lama, juga b
Semesta Rain Sepertinya Aksara tidak main-main dengan ucapannya. Pemuda itu tetap menyeretku turun ke jalan meski aku sudah menyatakan keberatan. Aksara seakan tidak peduli dan tetap menggeret tanganku dari gedung perkuliahan menuju sekretariat BEM kampus. Ia bahkan tak peduli saat aku mengatakan bahwa Pak Kuncoro yang akan mengajar mata kuliah selanjutnya. “Ck, sekali-kali bolos nggak masalah, Rain. Pak Kuncoro nggak bakal kasih lo nilai E. Apalagi kalau tahu alasan lo bolos karena ikut demo,” ucap Aksara penuh percaya diri. “Gue bukan lo yang memang sudah hobi bolos karena turun ke jalan ya, Kak. Tolong!” “Gini deh, kalau Pak Kuncoro tanya kenapa lo bolos, tinggal aja jawab kalau lo lagi praktik mata kuliah dia. Atau setidaknya, jawab aja lagi melanjutkan perjuangan Wiji Thukul atau Rendra.” “Sinting!” cercaku menanggapi ucapan Aksara. Meski begitu, tetap saja mengikuti langkah kaki lelaki itu akibat tenagaku tak cukup kuat untuk melawan Aksara. Sampai kami sampai ke ruangan
Semesta Rain Atmosfir siang hari ini semakin panas ketika lautan massa di depan sana memaksa untuk masuk ke gedung dewan. Aksi saling dorong tak bisa dihindari hingga membuat petugas menembakkan water cannon ke arah para mahasiswa. Memukul mundur agar para anak muda yang menuntut perubahan negeri ini menjauh dari pagar pembatas gedung. Kami tercerai berai seketika. Tak terkecuali aku dan Narendra yang semula masih berada di sampingku untuk melakukan penjagaan. Lelaki itu mengumpat kesal pada keadaan ketika kami melarikan diri. Menghindari semprotan air yang diarahkan kepada kami. “Lo nggak papa, Rain?” tanya Narendra dengan raut khawatir. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Nggak Kak, aku nggak papa.” Kami memang tak basah akibat water cannon yang ditembakkan oleh petugas. Meski begitu, tetap saja kami terdorong akibat massa yang tiba-tiba bergerak ke belakang. Narendra bahkan sempat terjatuh. Beruntung aku segera tanggap dan segera membantunya berdiri sebelum ia terinj