Lahat ng Kabanata ng Dream first class: Kabanata 11 - Kabanata 20
72 Kabanata
10. Sebuah rahasia pt 2
Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada ‘main’ dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak. Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku. “Hai,” sapanya dengan muka polos. Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
Magbasa pa
11. Aku ingat, pesawat layang-layang.
“Beberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.” “Richie?” “Hm. Dia ada di café master pedas. Jadi kasir,” kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.)   “Kamu say hai?” Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. “Iya lah. Dia kan teman dekatmu.” “Kata siapa?” “Katanya.” Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. “Temanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?” “Kan katamu tadi kasir.” “Bukan… aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik café larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?” “Mana ku
Magbasa pa
12. Akibat main lari-larian
“Nom.” “Hm?” Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. “Kamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,” ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. “Nggak perlu,” sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri.  “Dia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.” Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. “Karena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga  dong kalau aku bisa jagain mereka,” ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
Magbasa pa
13. Celaka
“Yatim piatu?” Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan. “Ibunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.” “Ajeng punya nenek?” “Iya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.” “Oh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?” “Setiap hari,” katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. “Bapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-b
Magbasa pa
14. yang disebut Privasi
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. “Noumi,” panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. “Kamu masuk dulu,” katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. “Hai, sayang,” sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
Magbasa pa
15. Apa katamu barusan?
“Esa…!” panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. “Apa?” “Kamu mau taruh anak-anak di mana?” “Di kamarku.” “Kamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?” Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. “Hei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?” Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. “Aku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?” “Kasurku tidak muat buat lima anak.” “Ya sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.” “Kenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai
Magbasa pa
16. Ayo, apa lagi rahasiamu?
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah café. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. “Hai, Noumi.” “Hai,” jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. “Kapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?” tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. “Kamu sama temanmu waktu itu, bukan?” Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. “Teman?” lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. “I
Magbasa pa
17. Mari bekerja sama
  Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala.   “Ini hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
Magbasa pa
18. Malaikat penolong
“Ini kartu namamu,” ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. “Hati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.” “Iya,” kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. “Aku boleh ke toilet sebentar?” “Boleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.” “Hm,” jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya café ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. “Kak…” “Oh!” Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. “Saya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,” katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Magbasa pa
19. Serendipity
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci.  Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Magbasa pa
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status