Semua Bab Pendekar Pedang Naga: Bab 271 - Bab 280
310 Bab
270. Akhir Sebuah Padepokan
Sebelum Asoka berhasil kabur, cahaya putih memancar hingga sampai ke langit-langit. Tidak lama, tubuh Joko terpecah dan cairan hijau langsung muncrat.Selendang yang digunakan Asoka terkena cairan tersebut. “Lepaskan selendangmu!” Bentak Gatra tiba-tiba.Ki Langkir reflek memotong selendang Asoka dengan tangan yang sudah ia aliri kanuragan. Selendang yang terkena cairan hijau tersebut jatuh ke tanah.Asoka berhenti di salah satu ranting pohon. Dia menoleh ke belakang. Wajahnya hanya bisa melongo melihat apa yang terjadi di belakangnya.Cairan hijau tersebut sifatnya korosif (asam_pen) dan melelehkan seluruh benda yang disentuhnya. Pepohonan langsung keropos. Tidak sedikit dari mereka roboh karena batangnya terbelah.“Kita lihat apa yang terjadi dengan Pedang Kawah Welirang milikku,” lirih Ki Langkir Pamanang.Asoka baru sadar kalau pedang putih besar tadi ia gunakan untuk membunuh Joko. “Ma-maaf, Ki, aku tidak s
Baca selengkapnya
Akhir Sebuah Padepokan 2
Hari sudah larut malam. Seluruh murid padepokan disuruh istirahat oleh Raden Kusuma. Sementara jasad para pendekar aliran hitam ini dibiarkan hingga esok pagi.Di malam itu, Asoka merebahkan dirinya di gubuk karena seluruh tubuhnya sudah sangat capek. Dia menutup mata dan akhirnya tertidur pulas.Hingga matahari terbit, Asoka belum kunjung membuka mata. Barok yang datang membawakan makanan, terlihat iba kepada Asoka dan tidak membangunkannya. Makanan itu diletakkan di meja batu dekat ranjangnya.“Cepat kubur seluruh jasad ini,” teriak Raden Kusuma dari samping padepokan. Dia, Ki Langkir, beserta Suryo menggali tanah agak dalam untuk dijadikan kuburan.Bau anyir menyelimuti padepokan. Beberapa murid terlihat muntah karena tidak kuat menahan baunya. Akhirnya, mereka yang muntah disuruh bertukar posisi sebagai penggali kubur.Beberapa menit kemudian, enam buah lubang sudah digali. Kedalamannya hampir empat meter. Satu lubang kira-kira dapa
Baca selengkapnya
Pamit
“Kakang kenapa pergi sekarang? Terus nasibku bagaimana?” Fahma kecil menghampiri Asoka dan meraih tangannya. Mata Fahma berlinang air mata karena tidak ingin berpisah dengan Asoka.Asoka menatap wajah gadis kecil itu. Matanya sudah normal dan sangat indah. Asoka merunduk, lalu mengelus rambut Fahma yang agak gelombang.“Kamu yang tenang ya di sini, kakang pergi tidak lama, kok. Ada kakang Barok, ada Guru Langkir, ada Raden Kusuma juga. Mereka adalah keluarga kita.”Tidak lama kemudian, Raden Kusuma datang dan menepuk pundak Fahma dari belakang.“Iya, Nduk, biarkan kakangmu melanjutkan perjalanan. Membawamu terlalu berbahaya karena perjalanan kakang Soka akan semakin rumit sekarang. Belum lagi, jarak tempuhnya jauh.”“Ja-jadi Fahma cuma beban Kakang?” Tangis Fahma tambah pecah. Dia merasa bersalah karena telah meninggalkan istana.Asoka mendekati Fahma dan mengelus keningnya. “Bukan, Adik.
Baca selengkapnya
Firasat Asoka
Sebelum pergi, Ki Langkir berpesan agar Asoka mencari seorang pertapa tua dengan jenggot panjang berwarna keabu-abuan. Dialah yang nanti menetralkan aura hitam pembawa kesialan yang selama ini bersarang di tubuh Asoka.“Baik, Ki, akan kuingat semua perintahmu. Dan untuk Paman Kusuma... terima kasih banyak karena telah menampungku di sini. Maaf juga membuat padepokan Ajisaka ricuh karena pembantaian tiga hari lalu.”Raden Kusuma maju selangkah. Dia menatap mata Asoka tajam, lalu memeluknya. “Tidak masalah, Soka. Kedatanganmu ke sini adalah takdir. Kita tidak bisa mengalahkan kehendak Dewata.”Asoka pergi meninggalkan padepokan. Kesedihan terpancar di wajahnya.Memang semua yang datang akan perlahan menghilang. Semua teman, sahabat, guru, ataupun orang-orang terdekat akan saling pisah. Pilihannya hanya dua, meninggalkan atau ditinggalkan. Hal tersebut mutlak terjadi.Kepergian Asoka meninggalkan kenangan panjang bagi setiap mu
Baca selengkapnya
Kenapa Cekungan Itu Berbahaya?
Asoka sebenarnya orang yang memiliki belas kasih lebih dari pada manusia pada umumnya. Kehilangan orang-orang terdekat karena pembantaian membuatnya tersentuh ketika ada orang yang meminta tolong padanya.Oleh sebab itulah, Asoka iba kepada Rara. Dia mengambil mustika merah dan berbincang dengan Gatra perihal lubang gelap di sana. Kali ini obrolan mereka serius.“Kalau kau memaksakan diri, aku tidak akan mengekang. Yang pasti, di dalam sana ada energi besar yang tidak pernah kau rasakan sebelumnya.”“Bagaimana kau bisa merasakannya, Guru?” Tanya Asoka dalam hati agar Rara tidak mendengar percakapan mereka.“Kau masih pendekar langit tingkat akhir. Kepekaanmu terhadap energi belum kuat.”“Tapi kalau aku berniat menolong Rara bagaimana?”“Ya semua kembali padamu. Aku hanya membantu saja kalau ada masalah.”Asoka memasukkan mustika merah ke sakunya dan mengambil Pedang Segoro Ge
Baca selengkapnya
Bocah Sableng
“Cekungan ini dilindungi oleh seorang iblis yang pernah berseteru dengan Bhagawad Gita. Pertarungannya berlangsung lama, hampir tujuh hari tujuh malam.”Raden Kusuma menceritakan tentang asal usul kenapa cekungan gaib ini bisa terbentuk mulai dari awal. Sang ketua mendapatkan sumber itu dari kakaknya, Ki Seno Aji.Konon, cekungan ini merupakan hasil kesepakatan antara Bhagawad Gita dengan sang iblis. Setelah tujuh hari tidak membuahkan hasil selain luka-luka parah di sekujur tubuh, mereka akhirnya bernegosiasi.Iblis ini berjanji tidak akan pernah mengganggu manusia yang ada di hutan Babel dengan syarat selendang bidadari Rara harus diserahkan padanya.Bagi iblis tersebut, tubuh Rara seperti mahkota berlian yang tidak pernah bisa ditemui dalam perempuan manapun di dunia. Oleh sebab itulah, dia menginginkan selendang agar Rara datang menemuinya.Sebagai pendekar legenda, Bhagawad Gita tidak bodoh. Dia membuat cekungan di sebelahnya, tapi
Baca selengkapnya
Dua Herbal Ampuh
Sudah hampir seharian Asoka menyusuri hutan. Perutnya kembali lapar. Ia raih buah Keres yang berwarna merah dan memakannya lahap.Hari sudah mulai gelap dan Asoka masih belum tahu ke arah mana dia harus pergi. Jalan setapak yang menunjukkan arah puncak sudah hilang.Kini dia berada di tengah hutan Babel tanpa penerangan sedikitpun.“Guru, apa yang harus aku lakukan?”“Jentikkan jarimu, Soka,” pinta Gatra singkat.“Kasih solusi yang bener, dong! Masa di tengah hutan suruh jentikkan jari!”Gatra tidak bergeming. Dia tetap diam dan menatap Asoka dengan pandangan sayup.Menyadari hal tersebut, Asoka langsung melakukan apa yang diperintah Gatra. Setelah menjentik, keluarlah api kecil yang menerangi sisi sekitarnya.“Apa aku bilang, jadi murid ngeyel mulu!”Asoka menggaruk kepalanya. Ia lupa kalau ada api di jari. Remaja itu berteriak kepanasan karena rambutnya terbakar. Gatra se
Baca selengkapnya
Pertapa Arjuna
Saat malam tiba, Asoka sangat lapar. Dia tidak memiliki apapun untuk dimakan. Kakinya yang masih belum pulih setelah terjatuh juga mustahil digunakan untuk mendaki jurang.Terpaksa, dia hanya minum air sungai yang lumayan jernih karena langsung bersumber dari pegunungan. Beberapa waktu berselang, mustika merah Pedang Naga Api Sulong menyala.Setelah hampir satu menit terus bergetar, terdengar sebuah suara tanpa rupa. Suaranya mirip seperti Gatra, tapi sedikit lebih besar dan agak menyeramkan.“Tubuhku dikunci oleh pertapa tua tadi, Soka. Sebelum aku kembali ke tubuhmu, ada satu pesan yang ingin kukatakan.”Asoka masih menunggu pesan yang disampaikan Gatra.“Dalam tas kain yang kau bawa, ada kitab Sabdo Urip yang aku keluarkan dari dalam mustika. Baca kitab itu dan sembuhkan lukamu!”Tidak lama setelah itu, suara Gatra menghilang dan udara di sekitar Asoka kembali dingin.Sebelum matahari terbenam sempurna, Asok
Baca selengkapnya
Dukun Sakti
Perjalanan yang dibutuhkan Asoka kurang lebih tujuh hari, itupun kalau dia tidak berhenti di titik-titik tertentu. Sayangnya, Asoka tidak tahu ke mana arah yang harus dia tempuh.Saat menyusuri kaki gunung, Asoka tidak melihat keberadaan padepokan Ajisaka, bahkan sampai dia keluar dari hutan Babel. Padahal, ingin sekali dia menyambangi Raden Kusuma dan melaporkan kalau tujuan akhir latihannya berada di puncak Arjuna.“Eh ada desa,” lirih Asoka saat berdiri di sebuah pohon yang agak tinggi. “Mungkin aku bisa makan enak di sana tanpa harus mencari buah-buahan di hutan.”Asoka sempat mampir di kedai makanan, tapi dia tidak memiliki uang sepeserpun. Terpaksa, dia bekerja sebagai pencuci piring hanya demi sesuap nasi dan sayuran.Setelah makan, Asoka menyusuri seisi desa. Tidak ada yang aneh. Namun, ada seorang lelaki memandangnya tajam. Lelaki itu berdiri di depan rumah kecil seperti ruang ritual.“Kemarilah, Kisanak,&rdqu
Baca selengkapnya
Sebuah Pengakuan
Dukun itu bercerita kalau di sekitar tubuh Asoka ada aura merah tapi tertutup cahaya agak putih. Keduanya menyatu dan hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki kelebihan indera keenam.“Kisanak dari gunung Welirang kemarin?” Tanya Udin langsung ke inti.“Eh, itu benar. Paman tahu dari mana kalau aku baru saja dari gunung Welirang?”“Aura tersebut adalah ciri khas yang dimiliki padepokan kecil di sana. Ketua padepokannya adalah temanku dulu waktu aku masih ada di kerajaan Segoro Kidul.”“Yang Paman barusan maksud itu Raden Kusuma?”“Benar, namanya Kusuma, tapi biasa dipanggil Aji saat dia menjadi mahapatih.”Udin membuka semuanya. Dia bercerita kalau perampok yang akan menyerang desa adalah suruhan ketua laskar Tengkorak Merah.Mereka sepertinya dendam terhadap Raden Kusuma yang telah menghabisi empat kader terbaik yang mereka miliki, namun tidak bisa melampiaskannya begitu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
262728293031
DMCA.com Protection Status