Semua Bab Jiwaku di Tubuh Istrinya: Bab 91 - Bab 100
113 Bab
Bab 91 : Lorong Sempit
“Kita mau ke mana kek?” tanyaku.“Ke rumahku,” jawabnya.“Masih jauh?”Kakek mengangguk.“Di sini kita tidak bisa berpindah dengan cepat seperti di duniamu. Di sini adalah alam nyata bagi kami, maka sama sepertimu di duniamu, kita harus berjalan atau menaiki kendaraan untuk cepat sampai ke tempat masing-masing. Sayangnya aku tidak punya burung terbang, jadi kita harus berjalan,” jawab kakek.“Kenapa aku di duniaku bisa dengan cepat pergi dengan jiwaku?” tanyaku heran.“Karena kamu menggunakan kekuatanku. Kekuatanku hanya bisa digunakan di duniamu. Kalau di sini tidak bisa,” jawab kakek.Sekarang aku mengerti. Lalu setelah cukup lama berjalan bersama kakek, kami tiba di mulut gua. Gua yang berbeda dari milik arwah Aksana dulu. Kakek mengajakku masuk. Di tempat itu begitu dingin. Dinding-dinding gua dipenuhi lumut. Kakek menyuruhku memasu
Baca selengkapnya
Bab 92 : Mencari Rangga dan Nayara
“Siapa kamu?” teriakku.“Pergi dari sini! Jangan ganggu aku lagi!” teriak seseorang padaku. Suaranya seperti suara nenek-nenek.Aku menoleh ke belakang. Rupanya memang benar nenek-nenek itu yang menarikku. Nenek-nenek yang menganggu kami saat di Villa dulu. Tiba-tiba tanganku dengan reflesk mengarah pada arwah nenek-nenek itu. Sesaat kemudian arwah nenek-nenek itu menjadi kecil dan bertambah sangat kecil. Lalu tak lama kemudian kulihat tubuhnya terbakar. Dia menjerit meminta tolong padaku agar aku menghentikannya. Tapi saat aku berniat menghentikan aksi tanganku, aku tak bisa mencegahnya. Tanganku terus saja mengarah pada tubuhnya yang kini terbakar.Arwah nenek-nenek itu tiba-tiba menjadi asap lalu menghilang. Tanganku mendadak lemas. Aku terduduk dengan lesu. Apa yang sudah kulakukan terhadap nenek-nenek itu? Apakah dia sudah mati atau hanya menghilang saja? Entahlah. Lalu aku segera bangkit dan menoleh pada sebuah lemari
Baca selengkapnya
Bab 93 : Tulisan Darah di Daun Pintu
“Aku harus mendapatkan kekuatan baru, Mas. Gimana soal Ilyas?” tanyaku. “Kami sudah berhasil sampai ke sana, tapi di rumah itu dia sudah tidak ada lagi di sana. Mas juga ngalamin hal aneh sama polisi di tengah hutan itu, tapi beruntung kami bisa lolos dari gangguan makhluk penunggu di sana,” ucap Mas Bimo. Aku lega mendengarnya. “Syukurlah kalau Mas baik-baik saja,” ucapku lega. “Sekarang pihak polisi masih mencari Ilyas, mereka sedang melacak keberadaanya, semoga Ilyas segera ditemukan,” ucap Mas Bimo penuh harap. “Aamiin,” ucapku. “Sekarang gimana keadaanmu?” tanya Mas Bimo memastikan. Aku bangkit dan mendudukkan diri di atas kasur. Sekarang tubuhku kurasakan tak lemas lagi. “Aku udah baik-baik aja, Mas,” jawabku. 
Baca selengkapnya
Bab 94 : Semua Kembali Gelap
Setelah aku selesai mandi, kami duduk di ruang tengah. Kutatap wajah Mas Bimo dengan penasaran akan tulisan di depan pintu itu. “Aku yakin ini ulah Ilyas, Mas,” ucapku pada Mas Bimo. “Mungkin aja, sekarang kita harus hati-hati ya,” pinta Mas Bimo. Aku mengangguk. Tak lama kemudian handphone Mas Bimo berbunyi. Mas Bimo mengangkatnya. “Iya... apa? Oke... oke...,” ucap Mas Bimo lalu langsung menyimpan handphonenya dengan bingung. Aku penasaran. “Siapa yang nelepon, Mas?” tanyaku. Mas Bimo menatap mataku dengan serius. “Polisi... katanya mereka belum menemukan tempat persembunyian Ilyas saat ini,” jawab Mas Bimo tampak tak bersemangat. Aku meraih tangan Mas Bimo dengan lembut. “Biar aku yang mencarinya ya, Mas,” pintaku pada Mas B
Baca selengkapnya
Bab 95 : Kelemahan Ilyas
Aku membuka mata. Aku kembali ke atas kasur dengan napas tak beraturan. Aku tak percaya sekarang Ilyas bisa memiliki kekuatan. Mungkin dia telah berhasil berpuasa dan menguasai ilmu dari mendiang duduk sakti itu. Entahlah. Mas Bimo memandangiku dengan heran. “Gimana, Indah?” tanya Mas Bimo. Aku memandangi wajah Mas Bimo dengan lesu dan bingung. “Ilyas sangat kuat, Mas. Ilmunya tinggi banget sampe aku kewalahan. Aku nggak berhasil ngambil biang batunya dari dia,” jawabku. Mas Bimo tampak berpikir lalu dia kembali melihat ke arahku. “Kamu tahu tempat tinggalnya?” tanya Mas Bimo. Aku mencoba mengingatnya. Ruangan yang aku masuki tadi begitu mewah. Apartemen yang besar terdiri dari empat kamar. Aku mencoba mengingat apa yang kulihat di luar kaca apartemennya tadi. Ya, aku ingat, di sana aku melihat ada sebuah gedung bank dan ta
Baca selengkapnya
Bab 96 : Ancaman dari Rangga
Mas Bimo tiba-tiba memegang tanganku. “Kita sudah lama nggak ngelakuin itu,” ucap Mas Bimo tiba-tiba. Aku berdesir mendengarnya. “Maksud, Mas?” tanyaku yang masih tak mengerti. Tiba-tiba bibir Mas Bimo mendarat ke bibirku. Aku tak bisa menolaknya meski sedang lelah. Bagaimana pun dia suamiku. Akhirnya aku pasrah atas apa yang dilakukan Mas Bimo padaku. Aku harus melayaninya. Mas Bimo perlahan menurunkan bibirnya ke leherku lalu mengarah ke dua gunungku. Tak berapa lama kemudian dia melepaskan pakaiannya dan perlahan melepaskan pakaianku. Mas Bimo berbaring, dia memintaku melumat barang berharga miliknya. Aku pun dengan terpaksa melakukannya hingga kepalaku ditekan-tekan olehnya. Kudengar desahan napas Mas Bimo begitu menggema. Aku terus saja melumat benda berharga milik Mas Bimo yang kian menegang. Sesaat kemudian Mas Bimo memintaku berbaring. Kini dia ber
Baca selengkapnya
Bab 97 : Suara Tembakan yang Bertubi
“Apakah kamu Indah?” tanyanya. Aku diam. Ingin rasanya aku menyentuh benda yang ada di sana, tapi jika itu aku lalukan itu akan mengundang teman-temannya masuk ke dalam. “Aku tahu kamu Indah. Aku sudah bekerjasama dengan Ilyas. Kami sudah menguasai ilmu itu. Meski sekarang aku tak bisa melihatmu, tapi aku bisa merasakan jiwamu ada di sini,” ucap Rangga sambil tertawa. Ternyata dugaanku benar. Dia telah menguasai ilmu itu. Namun kelemahannya dia tak bisa melihatku. Jangan-jangan yang membuat mereka menyewa perumahaan di sini dulu karena diminta Ilyas untuk merebut batu yang dulu masih dipegang oleh Mas Bimo. Tiba-tiba kukeluarkan energi dari tangaku. Kuarahkan padanya. Namun bukannya Rangga yang terkena energi itu, malah aku yang terpental. Dia sama seperti Ilyas, kuat. Lalu kuraih sebuah guci yang ada di sana, kulempar guci itu hingga mengenai kepala Rangga. Rangga tidak kenap
Baca selengkapnya
Bab 98 : Nasihat Papah
“Lebih baik pindah saja dari sini, saya khawatir komplotannya datang lagi,” pinta polisi itu. Mas Bimo mengangguk. Para wartawan yang dilengkapi dengan kameranya mendatangi kami. Mereka mewawancari aku dan Mas Bimo. Aku pun menceritakan apa adanya dan akan menyerahkan pada pihak kepolisian untuk mengurusnya. Setelah wartawan itu selesai mewawancarai kami. Mobil polisi itu akhirnya membawa Rangga dan komplotannya pergi. Aku dan Mas Bimo duduk berdua di ruang tamu dengan terdiam. Kami sama-sama menghadapi hal yang menakutkan. Bagaimana pun nyawa kami hampir saja dipertaruhkan. Mas Bimo memandangiku. “Kita pindah ke apartemen aja,” pinta Mas Bimo. “Apartemen kan mahal, Mas,” ucapku ragu. “Mas masih punya simpenan uang, kita bisa menyewa dulu di sana sambil menjual rumah ini,” pinta Mas Bimo. Aku tak punya pilihan l
Baca selengkapnya
Bab 99 : Kemana Mas Bimoku?
Beberapa hari kemudian. Kami pindah ke sebuah apartemen. Mas Bimo mendapatkan apartemen dua kamar untuk kami. Aku memandangi pemandangan kota Jakarta dari balik kaca. Mas Bimo memelukku erat dari belakang. Sekarang Rangga dan Nayara sudah ditangkap polisi. Aku terkejut ternyata Nayara selama ini terbilat juga atas pembunuhan Isabel. Sekarang polisi sedang memburu Ilyas, sementara aku masih menunggu penerawanganku kepada Ilyas. Aku harus mendapatkan dia di saat dia bersetubuh dengan Lastri. Tiba-tiba dalam bayangku terlihat ke sebuah kamar. Sekilas aku lihat Ilyas sedang mencium Lastri. Aku langsung memandangi wajah Mas Bimo. “Sekarang sudah waktunya, Mas,” ucapku. Mas Bimo heran. “Waktunya buat apa?” tanya Mas Bimo. “Buat mengambil batu biang itu dari Ilyas,” jawabku. “Apakah ada bisikan dari kakek?” tanya Mas B
Baca selengkapnya
Bab 100 : Telepon dari Ilyas
Aku bingung Mas Bimo ada di mana. Aku sudah mencarinya di semua ruangan di aparemenku, tapi aku tidak menemukannya. Sesaat kemudian aku ambil handphoneku di kamar. Setelah menemukan handphoneku di sana aku langsung menghubungi nomor Mas Bimo. Rupanya nomor Mas Bimo tidak aktif. Aku duduk di tepi kasur dengan bingung. Sesaat kemudian, aku memejamkan mata, aku ingin tahu Mas Bimo sekarang ada di mana. Namun saat aku hendak memulai meraga sukma, handphoneku berbunyi. Nomor asing yang nomornya belum aku simpan sama sekali. Aku urung melakukan meraga sukma dan langsung mengangkat teleponku. “Halo,” jawabku. “Halo, Indah. Kamu pasti kebingungan kemana suamimu, kan?” ucap seseorang di seberang sana. Dari suaranya aku tahu itu suara Ilyas. Aku terkejut. Apakah Ilyas sudah menculik Mas Bimo? “Di mana, Mas Bimo?” tanyaku. Ilyas tertawa di telepon.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status