All Chapters of Perceraian Suami yang Angkuh: Chapter 51 - Chapter 60

Hujan turun deras malam itu, membasahi kaca jendela apartemen Alexandra dengan ritme seperti dentuman hati yang tak mau tenang. Ia berdiri di sana, memeluk dirinya sendiri sambil menatap kilatan lampu kota. Sudah setengah jam sejak Herman menjemput barang-barangnya untuk dibawa ke kantor besok pagi. Sudah setengah jam pula pikirannya tidak berhenti terombang-ambing.Ucapan Patrick di kantor tadi siang masih memantul di kepalanya—nada datar yang tercampur tekanan halus, sentuhan dingin yang menyisakan bekas panas aneh di kulitnya."Kau tidak perlu tersenyum pada pria itu."Pria itu—Herman.Alexandra memejamkan mata. Ini gila. Dia suamiku, ya… tapi hanya di atas kertas. Dia tidak berhak mengaturku. Tidak lagi.Namun semakin ia mencoba menolak, semakin suaranya sendiri terdengar lemah.Dan itu membuatnya kesal setengah mati.Ia berbalik dan hendak menjemput air minum ketika ponselnya bergetar. Notifikasi masuk bertubi-tubi, grup kantor sedang ribut. Alexandra mengangkat alis, membuka laya

Lorong kantor Adler Group masih terasa panas akibat pertengkaran yang tidak sepenuhnya pecah—tetapi jelas siap meledak kapan saja. Alexandra memijat pergelangan tangannya begitu Patrick akhirnya melepaskannya. Ia menahan napas, menunggu Patrick mengatakan sesuatu, apa saja, yang masuk akal.Namun yang keluar dari Patrick hanya satu kalimat pendek:“Pulang dengan aku.”Alexandra menatapnya seolah ia baru mendengar kata paling absurd sepanjang hidup. “Maaf?”Patrick tidak berkedip. “Kau pulang dengan aku. Sekarang.”“Patrick, aku—”“Kau tidak akan pulang dengan Herman,” tambahnya dingin, seolah itu adalah realita pasti yang tidak bisa diperdebatkan.Alexandra mendengus. “Tentu saja tidak. Dia tidak menawari tumpangan apa pun.”“Dia akan,” Patrick membalas tanpa ragu. “Dan aku tidak akan membiarkannya.”Alexandra menggelengkan kepala dan mulai berjalan meninggalkannya, tetapi Patrick mengikuti begitu dekat seolah ia adalah bayangan gelap yang menempel pada kulit."Alex—""Jangan ikuti aku

Hujan belum reda ketika Alexandra keluar dari gedung Foxlane. Udara malam terasa menusuk tulang, tapi bukan dingin yang menghentikan langkahnya—melainkan bayangan percakapan dalam lift bersama Patrick. Kata-katanya masih berdenting di kepala Alexandra seperti gema yang tidak mau padam.Segala yang berhubungan denganmu… berhubungan denganku.Ia mengusap wajah, frustrasi. “Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku…?”Mobil Herman berhenti di depan lobi, seperti sudah menunggu cukup lama. Herman turun cepat, membuka payung, dan mendekatinya.“Alexandra.” suaranya lembut, tapi mata cokelatnya langsung menangkap kegugupan Alexandra. “Kau baik-baik saja? Kau terlihat… pucat.”Alexandra memaksa tersenyum. “Aku hanya—lift macet sebentar. Tidak apa.”Herman mengernyit. “Kau sendirian?”Alexandra menelan ludah. “Ya.”Herman menatapnya lama. Sangat lama. Seolah ia tahu itu bohong.Namun bukannya mendesak, Herman hanya menghela napas, lalu meraih tas di tangan Alexandra secara refleks membantu. “Aku

Hujan akhirnya berhenti sore itu, menyisakan aroma tanah basah dan dingin yang merayap masuk lewat jendela kantor Patrick. Namun ketenangan itu tidak mampu menembus badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Sejak keluar dari kantor Alexandra, Patrick tidak bisa berhenti memikirkan dua hal:Ketakutan di mata Alexandra.Dan kalimat yang hampir ia ucapkan—yang membuat Alexandra meledak."Apa anak itu… milikku?"Pertanyaan itu terus menghantam kepalanya, membuat napasnya berat, pikirannya kacau, dan kesadarannya seakan terbelah antara logika dan insting.Jika Alexandra tidak menyembunyikan apa pun… kenapa reaksinya setakut itu?Dan setiap kali ia mengingat wajah Alexandra yang pucat dan gemetar, dadanya terasa seperti diremas.Patrick — Ruang PribadinyaPatrick melempar jas ke sofa, membuka dua kancing kemeja karena rasanya sesak, lalu menjatuhkan tubuh ke kursi panjang dekat jendela.Ia menatap langit yang masih kelabu.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Alex…?”Émile masuk tanpa suara, meme

Alexandra tidak langsung pulang setelah meninggalkan kantor Patrick.Ia duduk di dalam mobil selama hampir dua puluh menit, mesin mati, jari-jarinya mencengkeram setir begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya naik turun tidak beraturan, seolah udara di sekitarnya terlalu tipis.Satu pertanyaan itu terus menggaung di kepalanya.Apa anak itu milikku?Nada Patrick saat mengucapkannya tidak terdengar seperti seorang pria yang sedang bertanya. Itu bunyi seseorang yang hampir yakin, tapi ditahan oleh seutas tipis kewarasan terakhir.Dan itu membuat Alexandra takut.Ia menutup mata, menekan dahi ke setir. Bayangan wajah Patrick, tatapan yang gelap dan fokus penuh tekanan itu, berulang muncul di kepalanya. Selama ini ia tahu Patrick bukan pria yang mudah menyerah. Tapi ia juga tahu—jika Patrick mulai mengejar sesuatu, ia tidak mengenal batas.Terutama… jika itu menyangkut dirinya.Alex menyalakan mesin.Ia tidak boleh runtuh sekarang. Tidak boleh goyah. Ia sudah berjalan sejauh in