บททั้งหมดของ Perceraian Suami yang Angkuh: บทที่ 1 - บทที่ 10

Di tengah malam, Alexandra masih tenggelam dalam mimpi ketika tubuh berat seorang pria menekannya. Napasnya tercekat, kulitnya terasa panas, dan untuk sesaat dia berpikir itu hanya ilusi kantuknya.Namun detik berikutnya, pinggangnya ditarik keras.“Um…” keluhnya pelan, matanya terbuka karena rasa sakit yang menusuk.Dan saat itu juga dia sadar—ini bukan mimpi.Pria yang hanya pulang seminggu sekali sedang berada di atasnya, wajahnya diterangi lampu kuning hangat yang jatuh dari lampu samping tempat tidur. Tubuh bagian atasnya yang telanjang tampak kuat, garis ototnya tegas, dan lengan panjangnya bergerak dengan ketenangan yang membuat Alexandra menggigil.Ia tercengang.Bukankah hari ini Sabtu? Mengapa dia pulang?“Bangun.” Suara pria itu rendah, datar, tanpa emosi.Saat mata Alexandra terbuka penuh, pria itu tidak menghentikan gerakannya. Genggamannya justru mengencang, seolah menuntutnya untuk sadar. Lalu dengan dingin, ia bangkit dari tubuh Alexandra, membungkuk sedikit… dan mela

Dua puluh hari. Hanya tersisa dua puluh hari sebelum vonis ayahnya dijatuhkan. Jika dia gagal mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu sesingkat itu… maka hidup ayahnya akan hancur selamanya.Kata-kata Simon tentang investor terus terngiang. Alexandra memejamkan mata, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka daftar kontak—menggulir dari bawah ke atas.Nama itu masih ada di sana.Patrick.Dulu, ketika mereka baru menikah, ia menaruh nama suaminya sebagai “Suami” dengan huruf A di depan, agar nomor itu selalu muncul paling atas. Namun setelah tiga tahun hidup seperti orang asing, Patrick jarang meneleponnya. Bahkan pesan singkat pun hampir tak pernah dikirimkan lagi.Akhirnya Alexandra mengganti nama kontak itu. Dari “Suami” menjadi Patrick—tanpa tambahan apa pun.Hanya nama. Tanpa hubungan.Ia menekan nomor itu. Lalu buru-buru mematikan rokoknya, membuangnya ke toilet, dan berkumur agar suaranya tidak terdengar serak.Telepon terhubung.“Halo, ini siapa?”Suara seorang wanita.Dingin

Alexandra tidak ingat bagaimana ia akhirnya tertidur. Saat kesadarannya perlahan kembali, sebuah kram tajam menusuk perut bagian bawahnya.Datangnya bulan. Waktu yang selalu membuat tubuhnya lemah.Karena sebelumnya Patrick pulang dan menyentuhnya, tubuh Alexandra secara refleks mencari keberadaannya. Dengan setengah sadar ia menjulurkan tangan dan memanggil pelan, suaranya penuh keluhan halus:“Suamiku… perutku sakit…”Tangannya meraih ruang kosong.Kosong. Dingin.Alexandra membuka mata perlahan. Tempat tidur di sebelahnya rata dan dingin—lama tak tersentuh. Patrick sudah pergi entah sejak kapan.Di meja samping, selembar catatan kecil tertata rapi.Tulisan tangan Patrick—rapi, tegas, jarak antar huruf presisi seakan ditata dengan penggaris. Alexandra menggenggam catatan itu, dan tali halus yang ia jaga selama tiga tahun… putus begitu saja.Air mata mengalir tanpa suara.Selama tiga tahun, ia sering melewati malam sendirian. Ia sudah terbiasa dengan sunyi. Namun tidak pernah sesaki

Alexandra tak sadar telah memikirkan ulang pernikahannya dengan Patrick. Tiga tahun hidup sebagai suami-istri… tetapi tidak ada satu hal pun yang berubah.Mereka bukan pasangan. Mereka bukan teman. Mereka hanya dua orang asing yang kebetulan terikat oleh selembar kertas kontrak, tinggal di bawah satu atap tanpa benar-benar saling menyentuh hidup masing-masing.Hidup bersama pria seperti Patrick—tenang, dingin, rapi, terkendali, namun jauh dan tak tersentuh—bagaimana ia bisa bertahan selama itu?Pertanyaan itu membuat dadanya sesak.Di saat itu pula, perut bagian bawahnya tiba-tiba berdenyut tajam. Wajah Alexandra memucat. Kakinya melemah seketika, tubuhnya hampir jatuh.Herman yang berdiri di dekatnya segera sigap menangkap tangannya. “Ada apa? Kamu pucat sekali. Mau kubawa ke rumah sakit?”“Aku tidak apa-apa.” Alexandra buru-buru melepaskan tangannya, berusaha berdiri meski wajahnya terlihat pahit. “Kadang aku iri padamu, Kak. Hidupku… jauh lebih buruk. Kalau aku bilang ingin cera

Setelah kekecewaan itu, Alexandra melangkah keluar dari rumah sakit dengan tenang. Terlalu tenang, hingga dinginnya angin malam membuat wajahnya terasa perih—seolah menegaskan bahwa yang barusan terjadi memang nyata.…Sesampainya di apartemen Patrick…Begitu pintu terbuka, Alexandra langsung menuju kamar tidur dan membuka lemari. Saat dia pindah ke tempat Patrick dulu, dia tidak membawa banyak barang. Kini, hanya butuh kurang dari setengah jam untuk memasukkan semuanya ke dalam dua kotak. Beberapa mantel terlalu berat, jadi dia lemparkan begitu saja ke dalam koper.Tatapannya menyapu ruangan yang selama tiga tahun terakhir mereka tinggali bersama. Setiap sudut seperti menyimpan bayangan masa lalu—senyum yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya, tawa yang tidak pernah ditujukan padanya, dan kehangatan yang tidak pernah muncul.Alexandra menaruh kunci apartemen di rak sepatu. Tanpa menoleh lagi, dia mendorong kopernya keluar. Tidak ada gunanya bernostalgia. Tidak untuk pernikahan