Semua Bab MENYESAL MENDUAKANMU: Bab 21 - Bab 30
78 Bab
Part 21
Bu Wati dibopong para anak panti remaja, lalu dibawa masuk ke dalam. Sementara, Bu Ikah membantuku yang lemas supaya kembali berdiri dan memapahku. Aku masih menangis tertunduk di sofa. Sementara, para anak panti tengah mencoba menyadarkan ibu asuh mereka. "Diminum dulu, biar tenang." Aku menoleh. Bu Ikah dengan senyum ramahnya menyodorkan secangkir teh hangat. "Terima kasih," ucapku lirih. Bu Ikah mengangguk, lalu duduk di sampingku. "Lalu bagaimana dengan jenazah Karin sekarang? Apa sudah ketemu?" tanyanya dengan suara bergetar. Ah, iya. Aku belum sempat mendengarkan seutuhnya penjelasan petugas itu tentang jenazah Karin. Saking syok dan tidak percaya, aku sudah lebih dulu menyangkal sebelum mereka menjelaskan secara rinci. "Saya belum tahu, Bu. Tadi keburu syok duluan sewaktu me
Baca selengkapnya
Part 22
Mungkinkah ....Dengan cepat aku membuka pita, lalu merobek asal bungkus kadonya. Sebuah kotak persegi putih membuatku menelan ludah gugup. Jika benar ini hadiah Karin untukku, apa isinya? Dengan perlahan kubuka penutup kotaknya, mengernyitkan dahi saat melihat sebuah kertas putih yang dilipat menjadi origami bentuk angsa. Deg! Mataku seketika membelalak terkejut saat origami itu diambil. Detak jantung sempat berhenti sepersekian detik saat melihat sebuah testpack bergaris dua yang diletakkan di bawah origami tersebut. Ini .... Dengan tangan yang gemetar, aku mengambil testpack itu. Bibir bergetar seiring dengan pandangan yang semakin buram karena terhalang air mata. "Apa ... apa ini testpack milik Karin?
Baca selengkapnya
Part 23
Anthony duduk menggantikan posisi Papa. "Kamu harus kuat, Malik. Jangan rapuh dan putus asa. Kita harus yakin kalau Karin pasti selamat."   "Kamu benar," sahutku, lalu mendekap erat surat peninggalan Karin di dada. "Aku yakin Karin selamat. Dia pasti baik-baik saja," lirihku dengan mata terpejam.   Pulanglah, Sayang. Aku di sini. Aku menyesal pernah menduakanmu, Karin. Kembalilah dan akan kuperbaiki semua kesalahanku. Aku berjanji tidak akan pernah membuatmu tersakiti lagi.   Dadaku seperti tersayat, begitu perih tanpa ada obat yang bisa mengobatinya. Aku teringat dengan Karin yang selalu menyambut dengan senyuman lembut dan pelukannya ketika pulang kerja. Sekarang, tak akan pernah kurasakan lagi kehangatan itu.   Separuh jiwaku telah pergi dan menghilang. Masihkah ada kesempatan untukku mengembalikan s
Baca selengkapnya
Part 24
Kuputuskan untuk berdiam diri di bawah guyuran air shower. Berharap dinginnya air ini bisa membuat kepala, hati dan wajah yang terasa memanas akibat perkataan Mama menjadi lebih baik. Aku duduk bersandar lesu sambil sesekali mengusap air dari wajah. Memejamkan mata, berharap semua rasa sakit ini akan ikut hanyut terbawa air yang mengalir. Nanti masuk angin, Mas. Aku spontan membuka mata dan menoleh. Karin sedang berdiri sambil tersenyum memegang handuk. "Karin ...." Aku mengucek-ngucek mata dengan kasar, lalu melihat kembali untuk memastikan. Hilang. Ternyata itu hanya khayalan saja. Ah, aku sudah seperti orang tidak waras. Bayangan Karin selalu hadir seiring dengan penyesalan yang makin menggunung. Aku beranjak bangun dan
Baca selengkapnya
Part 25
Aku bangkit dari sujudku lalu melipat sajadah. Mengambil figura foto kami berdua di atas nakas lalu berbaring sambil memandanginya. Satu per satu kenangan manis kami kembali hadir memenuhi pikiran. Bahkan, aku seperti masih mendengar suara tawanya yang renyah di kamar ini. Betapa aku ingin mengulang semua masa lalu itu. Masa-masa di mana aku pernah memperjuangkannya hingga akhirnya kami menikah. Hari-hari yang selalu dipenuhi senyum dan tawa bahagia meskipun sikap Mama tak pernah baik. Lelehan air mata kembali merembes dari kedua sudut mata. Betapa aku merindukannya. Aku ingin kembali memeluknya dengan erat, mengecup bibir ranum, membelai rambut hitam panjangnya. Aku rindu dengan semua yang ada pada dirinya. Begitu dahsyat hukuman yang Engkau berikan padaku, Ya Allah. Sampai-sampai, aku tak diberikan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung atau p
Baca selengkapnya
Part 26
Sudah mencoba melamar pekerjaan ke mana-mana, tapi tak ada satu pun yang menerimaku. Sudah beberapa bulan ini aku menganggur. Semakin pusing dan tertekan saat mendengar Mama terus mengoceh karena hal itu. Perusahaan kenalan Papa pun tak ada lowongan. Pukul sepuluh pagi, aku sudah bersiap-siap pergi ke rumah sakit bersama Ayu. Sudah berkali-kali aku mengajaknya, tapi ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Kadang sakit, kadang pura-pura sibuk. Membuatku semakin yakin saja kalau ia takut kebohongan itu akan terbongkar. Hari ini dengan sedikit bantuan Papa, Ayu berhasil datang ke rumah ini. Papa menghubungi dan memintanya datang ke rumah untuk membicarakn sesuatu yang penting. Tanpa curiga, ia pun datang dengan senyuman lebar. Mungkin, ia berpikir Papa akan membicarakan tentang pernikahan kami lagi. Mimpi! "Jadi,
Baca selengkapnya
Part 27
Malam ini sengaja aku ingin berbicara pada Mama tentang kebenaran anak yang dikandung Ayu. Aku ingin ia berhenti selalu memaksakan kehendaknya. Kalau cara ini masih tidak berhasil juga, entahlah. Aku pasrahkan saja padan-Nya. Suatu saat nanti Mama pasti berubah. "Ada apa?" tanya Papa yang sedang duduk bersama Mama di ruang keluarga. "Bacalah, Ma." Aku meletakkan amplop putih di meja lalu ikut duduk di kursi single. "Apa ini?" "Buka saja. Nanti juga Mama akan tahu itu apa," jawabku santai. Mama mengambil amplop putih tersebut lalu membukanya dengan cepat. Papa yang ikut duduk di sampingnya pun tak mau ketinggalan untuk ikut membaca isinya. Mama tertegun dengan tangannya masih menggenggam kertas tersebut di pangkuan. Sedangkan Papa, ia tersenyum padaku lalu kembali bersandar dengan santai. 
Baca selengkapnya
Part 28
Setelah mengurus administrasi dan membayar uang mukanya, Mama pun segera ditangani. Usai operasi, Mama masih membutuhkan waktu untuk bisa sadar kembali. Kini, Mama suah dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu. "Kopi, Pah." Aku menyodorkan satu cup coffe pada Papa yang baru bangun tidur. "Kamu sudah salat subuh?" tanya Papa setelah menyeruput kopi tersebut. "Sudah. Ini tadi mampir ke kantin sehabis dari musala." Aku duduk di kursi samping brankar Mama. "Kamu sudah pikirkan dari mana sisa uang yang akan kita bayarkan, Mal?" Aku menggeleng. "Apa kita perlu pinjam uang pada orang lain? Nanti Papa coba hubungi teman dan kerabat kita. Siapa tahu mereka bisa bantu." "Jangan, Pah! Mereka pasti tid
Baca selengkapnya
Part 29
"Karin," gumamku lagi dengan senyum dan bibir yang bergetar. Semakin lama, langkah ini semakin cepat. Setetes air mata kebahagiaan luruh tanpa bisa kubendung. Ini bukan mimpi! Ini nyata! Karinku masih hidup! "Sayang." Hampir saja aku berlari dan menghambur memeluknya jika tak mendengar suara pria dari arah belakang. Sayang? Semakin Karin dekat, semakin terlihat jelas kalau ia bukan sedang memberikan senyum itu kepadaku. "Mas." Ia tersenyum. Senyum yang begitu kurindukan. Sayang, ia malah memberikan senyum itu pada pria dengan kemeja polos biru dan celana panjang hitam. Lengan panjangnya ia gulung hingga siku. Terlihat sekali ia bukan pria biasa kalau dinilai dari penampilannya. Aku spontan menepi perlahan dengan tungkai kaki yang terasa lemas.
Baca selengkapnya
Part 30
Aku kembali ke supermarket dan langsung dimarahi habis-habisan karena pergi begitu saja tanpa izin. Tidak masalah karena itu memang benar. Jadi, aku membiarkan mereka memarahi sesukanya. Perasaan ini jauh lebih sedih dan kacau setelah mengetahui Karin masih hidup, tapi dia bahkan tidak sudi untuk melihat wajah ini. Karin bahkan bersandiwara tidak mengenaliku. Mungkin, dia melakukan itu untuk membalas semua sakit hatinya. Aku pulang dengan lesu dan itu membuat Papa menatapku dengan kening berkerut. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu?" tanya Papa yang sedang menemani Mama menonton televisi. "Tidak apa-apa, Pah." Aku terus berjalan melewati ruang keluarga menuju dapur dan minum. "Kamu sudah makan malam belum?"
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status