Kuputuskan untuk berdiam diri di bawah guyuran air shower. Berharap dinginnya air ini bisa membuat kepala, hati dan wajah yang terasa memanas akibat perkataan Mama menjadi lebih baik. Aku duduk bersandar lesu sambil sesekali mengusap air dari wajah. Memejamkan mata, berharap semua rasa sakit ini akan ikut hanyut terbawa air yang mengalir.
Nanti masuk angin, Mas.
Aku spontan membuka mata dan menoleh. Karin sedang berdiri sambil tersenyum memegang handuk.
"Karin ...."
Aku mengucek-ngucek mata dengan kasar, lalu melihat kembali untuk memastikan. Hilang. Ternyata itu hanya khayalan saja.
Ah, aku sudah seperti orang tidak waras. Bayangan Karin selalu hadir seiring dengan penyesalan yang makin menggunung.
Aku beranjak bangun dan
Aku bangkit dari sujudku lalu melipat sajadah. Mengambil figura foto kami berdua di atas nakas lalu berbaring sambil memandanginya. Satu per satu kenangan manis kami kembali hadir memenuhi pikiran. Bahkan, aku seperti masih mendengar suara tawanya yang renyah di kamar ini.Betapa aku ingin mengulang semua masa lalu itu. Masa-masa di mana aku pernah memperjuangkannya hingga akhirnya kami menikah. Hari-hari yang selalu dipenuhi senyum dan tawa bahagia meskipun sikap Mama tak pernah baik.Lelehan air mata kembali merembes dari kedua sudut mata. Betapa aku merindukannya. Aku ingin kembali memeluknya dengan erat, mengecup bibir ranum, membelai rambut hitam panjangnya. Aku rindu dengan semua yang ada pada dirinya.Begitu dahsyat hukuman yang Engkau berikan padaku, Ya Allah. Sampai-sampai, aku tak diberikan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung atau p
Sudah mencoba melamar pekerjaan ke mana-mana, tapi tak ada satu pun yang menerimaku. Sudah beberapa bulan ini aku menganggur. Semakin pusing dan tertekan saat mendengar Mama terus mengoceh karena hal itu. Perusahaan kenalan Papa pun tak ada lowongan.Pukul sepuluh pagi, aku sudah bersiap-siap pergi ke rumah sakit bersama Ayu. Sudah berkali-kali aku mengajaknya, tapi ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Kadang sakit, kadang pura-pura sibuk. Membuatku semakin yakin saja kalau ia takut kebohongan itu akan terbongkar.Hari ini dengan sedikit bantuan Papa, Ayu berhasil datang ke rumah ini. Papa menghubungi dan memintanya datang ke rumah untuk membicarakn sesuatu yang penting. Tanpa curiga, ia pun datang dengan senyuman lebar. Mungkin, ia berpikir Papa akan membicarakan tentang pernikahan kami lagi.Mimpi!"Jadi,
Malam ini sengaja aku ingin berbicara pada Mama tentang kebenaran anak yang dikandung Ayu. Aku ingin ia berhenti selalu memaksakan kehendaknya. Kalau cara ini masih tidak berhasil juga, entahlah. Aku pasrahkan saja padan-Nya. Suatu saat nanti Mama pasti berubah."Ada apa?" tanya Papa yang sedang duduk bersama Mama di ruang keluarga."Bacalah, Ma." Aku meletakkan amplop putih di meja lalu ikut duduk di kursi single."Apa ini?""Buka saja. Nanti juga Mama akan tahu itu apa," jawabku santai.Mama mengambil amplop putih tersebut lalu membukanya dengan cepat. Papa yang ikut duduk di sampingnya pun tak mau ketinggalan untuk ikut membaca isinya.Mama tertegun dengan tangannya masih menggenggam kertas tersebut di pangkuan. Sedangkan Papa, ia tersenyum padaku lalu kembali bersandar dengan santai.
Setelah mengurus administrasi dan membayar uang mukanya, Mama pun segera ditangani. Usai operasi, Mama masih membutuhkan waktu untuk bisa sadar kembali. Kini, Mama suah dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu."Kopi, Pah." Aku menyodorkan satu cup coffe pada Papa yang baru bangun tidur."Kamu sudah salat subuh?" tanya Papa setelah menyeruput kopi tersebut."Sudah. Ini tadi mampir ke kantin sehabis dari musala." Aku duduk di kursi samping brankar Mama."Kamu sudah pikirkan dari mana sisa uang yang akan kita bayarkan, Mal?"Aku menggeleng."Apa kita perlu pinjam uang pada orang lain? Nanti Papa coba hubungi teman dan kerabat kita. Siapa tahu mereka bisa bantu.""Jangan, Pah! Mereka pasti tid
"Karin," gumamku lagi dengan senyum dan bibir yang bergetar.Semakin lama, langkah ini semakin cepat. Setetes air mata kebahagiaan luruh tanpa bisa kubendung.Ini bukan mimpi! Ini nyata! Karinku masih hidup!"Sayang."Hampir saja aku berlari dan menghambur memeluknya jika tak mendengar suara pria dari arah belakang.Sayang?Semakin Karin dekat, semakin terlihat jelas kalau ia bukan sedang memberikan senyum itu kepadaku."Mas." Ia tersenyum. Senyum yang begitu kurindukan. Sayang, ia malah memberikan senyum itu pada pria dengan kemeja polos biru dan celana panjang hitam. Lengan panjangnya ia gulung hingga siku. Terlihat sekali ia bukan pria biasa kalau dinilai dari penampilannya.Aku spontan menepi perlahan dengan tungkai kaki yang terasa lemas.
Aku kembali ke supermarket dan langsung dimarahi habis-habisan karena pergi begitu saja tanpa izin. Tidak masalah karena itu memang benar. Jadi, aku membiarkan mereka memarahi sesukanya.Perasaan ini jauh lebih sedih dan kacau setelah mengetahui Karin masih hidup, tapi dia bahkan tidak sudi untuk melihat wajah ini. Karin bahkan bersandiwara tidak mengenaliku. Mungkin, dia melakukan itu untuk membalas semua sakit hatinya.Aku pulang dengan lesu dan itu membuat Papa menatapku dengan kening berkerut."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu?" tanya Papa yang sedang menemani Mama menonton televisi."Tidak apa-apa, Pah." Aku terus berjalan melewati ruang keluarga menuju dapur dan minum."Kamu sudah makan malam belum?"
POV Karin🍒🍒🍒Kami memutuskan pergi makan siang di luar sekalian mampir berbelanja kebutuhan di supermarket. Sementara aku belanja, Mas Fandi meminta izin pergi ke rumah rekan kerjanya yang tidak terlalu jauh bersama anak kami. Ia berkata akan menjemputku lagi saat belanjanya sudah selesai.Benar saja. Tidak lama kemudian, ia menjemput lagi setelah kukirimkan pesan kalau sudah selesai membeli semua kebutuhan. Namun, ada satu kejadian yang membuatku heran dan tidak nyaman.Di parkiran supermarket, ada pria yang memandangku lekat. Bahkan, matanya memerah dan menangis. Ia juga memanggil-manggil dengan sebutan Karin. Entah siapa wanita yang dimaksud.Mengerti dengan ketidaknyamananku, Mas Fandi segera mengajak kami pergi meninggalkan pria aneh tersebut. Namun, tanpa disangka ternyata ia menggejar bahkan menghalangi jalan k
"Naila," panggilnya lembut, tapi aku bergeming. Tetap berbaring miring dengan mata terpejam. Meski tak ada air mata, tapi rasanya hati ini perih.Tak berselang lama, kasur di belakangku sedikit bergoyang. Sudah pasti Mas Fandi kini ikut berbaring. Untuk beberapa saat, tak ada pergerakan atau pun suara. Aku masih menunggu. Hingga pada akhirnya, tepukan lembut menyentuh pundak ini."Kamu marah padaku karena pulang larut lagi?""Bukan itu," jawabku lirih."Lalu?"Aku menghela napas berat lalu mengubah posisi tidur menghadapnya. "Aku hanya merasa, semakin lama Mas semakin menjauh dariku. Apa aku telah membuat kesalahan?""Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kamu tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, Nay. Jangan berpikir yang tidak-tidak!" Ia hendak mengusap kepalaku, tapi urung dilakukannya. Mas Fandi malah kemb