All Chapters of MENYESAL MENDUAKANMU: Chapter 31 - Chapter 40
78 Chapters
Part 31
POV Karin 🍒🍒🍒 Kami memutuskan pergi makan siang di luar sekalian mampir berbelanja kebutuhan di supermarket. Sementara aku belanja, Mas Fandi meminta izin pergi ke rumah rekan kerjanya yang tidak terlalu jauh bersama anak kami. Ia berkata akan menjemputku lagi saat belanjanya sudah selesai. Benar saja. Tidak lama kemudian, ia menjemput lagi setelah kukirimkan pesan kalau sudah selesai membeli semua kebutuhan. Namun, ada satu kejadian yang membuatku heran dan tidak nyaman. Di parkiran supermarket, ada pria yang memandangku lekat. Bahkan, matanya memerah dan menangis. Ia juga memanggil-manggil dengan sebutan Karin. Entah siapa wanita yang dimaksud. Mengerti dengan ketidaknyamananku, Mas Fandi segera mengajak kami pergi meninggalkan pria aneh tersebut. Namun, tanpa disangka ternyata ia menggejar bahkan menghalangi jalan k
Read more
Part 32
"Naila," panggilnya lembut, tapi aku bergeming. Tetap berbaring miring dengan mata terpejam. Meski tak ada air mata, tapi rasanya hati ini perih. Tak berselang lama, kasur di belakangku sedikit bergoyang. Sudah pasti Mas Fandi kini ikut berbaring. Untuk beberapa saat, tak ada pergerakan atau pun suara. Aku masih menunggu. Hingga pada akhirnya, tepukan lembut menyentuh pundak ini. "Kamu marah padaku karena pulang larut lagi?" "Bukan itu," jawabku lirih. "Lalu?" Aku menghela napas berat lalu mengubah posisi tidur menghadapnya. "Aku hanya merasa, semakin lama Mas semakin menjauh dariku. Apa aku telah membuat kesalahan?" "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kamu tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, Nay. Jangan berpikir yang tidak-tidak!" Ia hendak mengusap kepalaku, tapi urung dilakukannya. Mas Fandi malah kemb
Read more
Part 33
"Pah, ada yang perlu aku beritahu pada Papa," kataku sembari mengambil posisi duduk di teras. Papa yang tengah menyuapi Mama menoleh lalu meletakkan mangkuk di dekat gelas yang ada di meja bulat kecil. "Soal apa?" "Karin masih hidup, Pah." Papa terdiam sejenak lalu menggeleng. "Istighfar, Malik. Sudah lama Karin pergi. Seharusnya kamu sudah bisa mengikhlaskannya. Tidak baik terus-terusan berhalusinasi seperti itu. Raih masa depanmu. Jangan terus meratapi masa lalu. Jadikan saja pelajaran untuk ke depannya." Aku tersenyum. "Aku sudah tahu kalau Papa tidak akan percaya kata-kataku. Tapi keyakinanku selama ini sekarang terbukti, Pah. Allah mengabulkan doa dan harapanku," ujarku lalu mengotak-atik ponsel dan menyodorkannya pada Papa. "Lihatah dengan jelas." Papa menerima ponsel, memicingkan mata demi meyakinkan ap
Read more
Part 34
"Nanti akan saya jelaskan. Boleh saya bicara berdua sebentar dengan putra bapak?" Papa menoleh padaku, tatapannya meminta jawaban atas permintaan Dokter Fandi. Aku pun mengangguk. "Baiklah. Silakan, Dokter." Papa tersenyum ramah. "Papa tunggu di luar, ya." Aku mengangguk, membiarkan Papa pergi dengan raut wajah bingungnya. Sesaat sebelum pintu ditutup, ia sempat melihat kembali ke belakang. Wajar ia begitu karena belum tahu kalau Dokter Fandi ini suami baru Karin. "Terima kasih atas kebaikannya. Aku akan secepatnya mengganti uang dokter," ujarku sungkan. "Tidak perlu. Saya ikhlas membantu. Fokuskan saja dengan kesembuhanmu. Untungnya, pergelangan kakimu tidak terlalu parah. Mungkin sekitar enam mingguan sudah sembuh," jawabnya sembari berjalan ke sisi brankar. "Kenapa Dokter ingin membantuku? Kita bahkan tidak
Read more
Part 35
Bertepatan dengan aku yang selesai berbicara dengan Marco, Papa masuk. Tangannya menjinjing satu kantong plastik putih. "Apa itu, Pah?" "Roti. Nanti kan Papa pulang dulu, besok pagi baru ke sini lagi. Makanya, Papa belikan roti takutnya kamu lapar kalau malam," ujarnya sembari meletakkan kantong plastik tersebut di nakas. "Dokter Fandi bicara apa saja? Cukup lama juga, ya. Papa sampai pegal tunggu di luar tadi." "Iya. Dokter Fandi banyak bercerita tentang Karin." "Karin? Kenapa Dokter Fandi bisa tahu tentang Karin?" Papa terlihat heran. "Dokter Fandi itu pria yang selama ini kusangka suami barunya, tapi ternyata bukan." "Maksudmu? Dia suami barunya Karin?" tanya Papa memastikan. "Aku memang
Read more
Part 36–POV Fandi
Aku berdiri dengan gelisah di depan ruang perawatan. Ragu untuk masuk. Akan tetapi, memikirkan apa ucapan Mama dan Papa, membuatku akhirnya memberanikan diri menemui pria yang mengaku-ngaku sebagai suaminya Nayla.   Pria tersebut dan papanya serempak menoleh saat mendengar suaraku. Dengan senyuman ramah, aku berjalan menghampiri keduanya. Mengatakan kalau biaya rumah sakit akan ditanggung olehku dan itu membuat mereka terkejut.   Awalnya, pria bernama Malik ini bersikeras ingin mengganti, tapi kularang. Aku ikhlas membantunya. Toh, dia kecelakaan setelah berdebat dengan Nayla alias Karin. Bagaimanapun juga, aku akan ikut bertanggung jawab.   Semula kami hanya bicara basa-basi, lalu perlahan mulai berbicara mengenai Karin. Matanya berkaca-kaca saat kuberitahu Karin khawatir dan sempat panik. Dari raut wajah Malik, terlihat jelas dia sungguh mencintai is
Read more
Part 37–POV Fandi 2
Aku menepikan mobil, memandang kosong ke depan, lalu menunduk dan menumpukan kening di setir mobil. Teringat perlakuan dinginku pada Karin membuat hati sakit. Akan tetapi, ini kulakukan agar kami tak saling bergantung satu sama lain lagi. Sebentar lagi, sandiwara ini akan segera berakhir. Aku menengadahkan wajah sembari menghela napas panjang, lalu menghapus jejak air mata. Setelah merasa cukup tenang, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Entah mau ke mana tujuanku malam ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Melihat wajah Karin dan Kamal, hati ini perih tak terkira. Apalagi mengingat keduanya akan kembali pada Malik. Setelah berputar-putar tidak jelas, mobil melaju dan berhenti di sebuah pantai. Entah berapa lama aku hanya duduk termenung sendiri menatap gelapnya lautan lepas. Sesekali meremas rambut saat rasa frustasi kembali hadir.
Read more
Part 38
Hari ketiga, aku diperbolehkan pulang. Papa berniat menjemput, tapi kularang. Biarkan saja Papa menjaga Mama. Lagipula, Marco berbaik hati akan datang ke sini sembari mengantarkan pesananku. "Hey, Bro! Lama nunggu, ya?" sapa Marco saat masuk ke ruangan ini. "Tidak juga." "Bagaimana kakimu?" tanyanya sembari berjalan mendekat. "Tidak bisa dipakai jalan untuk beberapa minggu ke depan. Tapi aku harus tetap menggerakkan jari kaki dan lutut sedikit-sedikit supaya tidak kaku," jelasku sembari mengamati kaki yang digips. "Lalu, aktivitas sehari-harimu bagaimana?" "Aku bisa pakai tongkat penyangga. Kemarin sore Papa datang bawain itu." Aku menunjuk kruk yang disandarkan di dekat nakas. "Kamu bawa yang kubutuhkan, 'kan?"&n
Read more
Part 39
"Karin!" panggilku dan Dokter Fandi bersamaan. Kami spontan saling berpandangan. Tanpa menunggu lama, Dokter Fandi langsung berjalan cepat menyusul Karin yang pergi dengan setengah berlari.  Aku tertegun memandang kepergian mereka. Sesekali menyeka air mata yang masih menetes di pipi. Ada rasa perih tak terkira saat melihat tak ada lagi tatapan penuh cinta untukku darinya. Karin telah berubah. Apa ini karena kami sudah terlalu lama berpisah? "Sabar. Biarkan dia tenang dulu, Mal. Karin pasti sangat terkejut dengan semua ini," ucap Marco sembari menepuk pundak pelan. "Aku tahu, Mar. Hal yang membuatku sakit bukan karena dia tidak percaya, tapi melihat matanya yang menatapku dingin. Tidak ada lagi tatapan lembut dan penuh cinta yang dulu selalu dia perlihatkan padaku," lirihku dengan hati berdenyut sakit. "Wajar. Kalian berpisah cukup l
Read more
Part 40
"Karin ...." Dia hanya diam menatapku. "Boleh kami masuk?" tanya Dokter Fandi yang berdiri di belakangnya. "Tentu, Dokter. Tentu. Silakan masuk," jawab Papa karena aku diam, memandang bingung Karin yang terlihat tak bahagia. "Ayo!" ajak Dokter Fandi. Tanpa menoleh pada Dokter Fandi, Karin melangkah perlahan. Pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang telah dihias pita dan foto-foto kebersamaan kami yang digantung. Karin berhenti melangkah. Satu tangan terulur ke atas meraih foto pernikahan kami yang berukuran kecil, lalu mencabutnya. Mengamati sebentar masih dengan ekspresi datarnya. "Mari, Nak," ajak Papa dan berhasil membuat Karin kembali melangkah dengan foto itu di tangannya. Karin duduk di sofa panjang, sedangkan Dokter Fandi duduk di sofa single dengan Kamal berada di pa
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status