All Chapters of Budak Cinta Si Tante: Chapter 11 - Chapter 20
30 Chapters
Kea Membenciku
“Harusnya Anda yang bisa jaga baik-baik istri Anda!” Aku berusaha membela diri ketika mendapat pukulan dan hujatan berkali-kali dari pria tua di depan umum seperti ini. Hal yang kukhawatirkan terjadi. Suami Anin melabrakku di area parkir kampus. Dulu kukira yang beginian cuma terjadi di sinetron atau cerita fiksi. Atau seenggaknya hanya dilakukan para perempuan yang berebut lelaki kaya. Nyatanya, aku ngalamin. Masalahnya, aku dipukul tepat di depan Kea. Apa yang bakal Kea pikirin kalau mendengar segala tuduhan dari suami Anin? Zaki—suami Anin—hampir melayangkan pukulan lagi jika saja Kea tidak merentangkan tangan di depan, melindungiku. Kepalan tangannya berhenti tepat di depan kening Kea. "Brengsek!" Kudengar umpatan meluncur cepat. Tidak hanya mengucilkanku, tetapi juga menjelek-jelekkan Kea dengan kata-kata tidak pantas.
Read more
Ketakutan Anin
“Apa bedanya aku dengan si bangkot itu kalau menerima ajakanmu?” ucap Anin saat menamparku. Dia menolak tawaran ketika aku berhasil memojokkannya di meja wastafel dalam toilet perempuan. Tidak peduli dengan ancaman pelecehan, aku mengikutinya masuk. Toh, Anin tidak berteriak meski setiap permukaan kulitnya telah kusentuh. Tentu saja kampus sudah sepi ketika kelas malam berakhir dan aku menemukan dia baru keluar dari kelas setelah semua mahasiswa pergi. Aku tergelak. “Jelas saja beda. Bukankah kukatakan jasaku ini tidak gratis? Dia berselingkuh, sedangkan kamu membayarku.” Embus napasku masih membelai sudut telinganya. Susah payah menahan diri lakukan hal lebih dari rengkuhan meski nyatanya tubuh ini butuh, meski kejadian terakhir menyakitkan hati karena dia menginginkan hubungan kami berakhir. Bisa kulihat Anin menutup mata,
Read more
Langit yang Bebas
"Hei!" Aku menyapa begitu bertemu tatap dengan Anin di koridor dekanat fakultas bahasa. Enggak sengaja ketemu, sih. Meski satu kampus, kami berada pada fakultas berbeda. Jadi sebenarnya susah banget buat ketemu di luar perjanjian. Aku mahasiswa akhir di fakultas keguruan, sedangkan dia dosen di fakultas bahasa. Kadang ketemu di fakultasku karena dia punya kegiatan gabungan, tetapi seminar itu juga sudah berakhir. Makin pupus harapan ketemu Anin semenjak pengakuannya tentang larangan si suami bangkot biar tidak menghubungi siapa pun tanpa izin. Otoriter sekali. Rumah tangga seperti apa yang dijalani wanita moderen seperti Anin? "Kamu ngapain di sini?" Mata lebar Anin tampak menjelajahi kesunyian di sekeliling, lalu melotot lagi ke arahku. Ngapain juga dia menampakkan kekhawatiran berlebihan seperti itu kalau toh kami bisa berlagak seperti mahasiswa-dosen biasa.
Read more
Anin Terluka, Karena Aku
Abis mengajukan lamaran kerja di beberapa instansi di pertengahan kota, langkahku memilih menumpang angkutan kota ke wilayah perumahan di wilayah barat kota. Hanya sampai gapura terluar. Untuk masuk lebih dalam sebenarnya bisa menggunakan jasa ojek, tetapi sayang mengeluarkan isi dompet yang sudah tipis. Bisa aja tarik tunai pada atm di pinggiran jalan, cuma aku masih bisa berjalan kaki sekitar satu-dua kilometer mencapai blok paling depan. Rumah didominasi suasana kayu yang hangat tampak di depan mata, tetapi kakiku ragu bergerak maju. Apa Anin mau menemuiku tanpa janji? Aku hanya khawatir. Perasaanku seakan meronta tanpa sebab. Akhirnya, aku berbalik. Urung temui meski sudah sejauh ini. Aku tidak ingin ditolak lagi. Sepatuku nyaris menjejak pergi. Nyaris. Aku malah berlari ke dalam rumah begitu mendengar suara pecahan kaca. Tida
Read more
Janji
"Tante sih pakai naik segala!" Aku hampir menekan tombol pemanggil petugas jaga, tetapi Anin lebih dulu menahan lenganku dan menggeleng. Jelas aku enggak bisa nolak kalau wajahnya dibuat memelas gitu. Kayak ngelihat dia pas lagi ceri kepuasan di atasku. "Abis gimana? Mau ...." Ya Tuhan! Kalau enggak ingat kondisi punggung Anin, sudah aku pompa kedalaman dirinya selama mungkin. Tapi, permainan lambat tadi sudah membuat Anin mengeluhkan nyeri. "Nanti, kalau benar-benar sembuh." Aku turun dari brankar Anin dan menempati kursi yang tersedia sebelum sesi pemeriksaan lanjutan datang. Siapa tahu? Aku tidak menghafal jadwalnya. Kubantu Anin berbaring miring menghadap keberadaanku. Dia ... tidak melepaskan pegangan pada sela-sela jariku sama sekali. Pakai senyum segala. Kalau bo
Read more
Pengakuanku Pada Ibu
“Bas! Kamu bawa motor siapa?” tanya Ibu begitu melihatku memasuki pekarangan rumah. Beliau baru mengangkat jemuran kering sepertinya, terlihat dari keranjang penuh pakaian yang dibawa. Rumah kami termasuk dalam perumahan murah di daerah penghujung kota. Lebih tepatnya, dari jalan besar, masuk ke jalan yang lebih kecil, masuk lagi dalam gang. Lebih dekat menuju penyeberangan kapal feri ke kabupaten seberang daripada tengah kota. Aku turun dari kendaraan roda dua, lumayan, yang murah aja sekelas matik warna biru tua untuk berpergian semenjak Anin sering meminta kedatanganku. Memiliki barang mahal bisa menjadi pertanyaan besar buat Ibu. “Punya Nabas. Ambil kredit.” Alasan paling logis yang bisa aku kemukakan untuk Ibu terima. “Uang dari mana, Le? Kerja aja belum.” Tuh, kan. Baru aja mikirin pertanyaan Ibu sudah langsung dapet realisa
Read more
Pesona yang Mengungkungku
Anin masih tengkurap di atas ranjang hari ini. Kata dokter, luka-luka yang didapatkannya tidak akan sembuh dalam semalam dan mengharuskan wanita itu untuk rawat inap. Sebenarnya, kami memilih bungkam soal kejadian kemarin yang sepertinya membuka lagi luka-luka di punggung Anin. Uh, aku enggak bisa bayangin operasi yang dilalui Anin untuk memastikan sisa kaca di sana. Kali ini mungkin aku terlalu larut datang. Efek wawancara kerja di beberapa tempat sekaligus pasca lulus, meski belum wisuda. Enggak enak banget kan nganggur setelah megang gelar sarjana. Sampai hari ini pun kulihat tidak ada keluarga Anin yang menemani. Lebih miris daripada keadaan Ibu di masa lalu setelah diusi Bapak. Setidaknya Ibu masih punya aku dan Dipa, sementra Anin ..., benar-benar sendirian. Pernah sekali aku bertanya, "Enggak hubungin keluargamu?"
Read more
Bukan Wanita Hina
Sayang banget enggak boleh ngerokok di area rumah sakit. Lidahku rasanya sangat asam kalau harus menunggu lama kayak gini. Tapi mau gimana? Di dalam kamar, Anin sedang kedatangan tamu jauh kayaknya. "Bagaimana bisa kamu melaporkan suamimu ke polisi, Anin?" "Ini belum cukup, Ma?" Aku sempat mengintip dari kaca pintu, mendapati Anin menunjukkan luka-lukanya pada wanita tua berkonde besar itu. Kebaya krem yang dikenakannya tampak mewah. Mungkin .... Ah, enggak boleh berspekulasi. Bisa aja kan mamanya Anin kebetulan ada acara. "Anin .... Kamu yang memilih pernikahan ini. Kamu sudah tahu konsekuensinya sejak awal kalau harus terus mengalah dengan ego agar pernikahan kalian langgeng." Logat halus yang terdengar semakin meyakinkanku kalau Anin bukan berasal dari keluarga sembarangan. 
Read more
Aku Juga Terluka
"Buat Bu Anin." Kea mengangsurkan keranjang buah ke tanganku ketika bertemu di lorong menuju kamar Anin. Wajahnya tampak seceria biasa dengan senyum menyungging lebar, seperti tanpa masalah. Padahal, Kea jelas tahu kalau Anin termasuk salah satu pembayar jasaku. "Tau dari mana kalau aku di sini?" Kuhalangi jalannya, tetap berada di depan Kea tanpa memberinya kesempatan melalui sisiku. Sudut alis kananku naik ketika mempertanyakan, "Kamu kenal Bu Anin?" "Tanya sama pacarnya Dean, tuh!" Kea mendongak, memutar bola mata sebelum bicara lagi padaku. "Ceweknya Dean kan anak Fakultas Bahasa, diajar Bu Anin." "Dean pacaran sama ...." Siapa tadi Kea bilang? Anak Bahasa yang jadi incarannya pas pameran dulu? Yang aku ingat tuh Dean enggak pernah dalam hubungan jangka panjang sama cewek, apalagi kalau sudah rajin barengan. Terdengar helaan n
Read more
Terima Kasih
"Yakin, enggak apa-apa, aku tinggal sendirian?" Kuturunkan koper Anin dari bagasi taksi daring yang disewa ketika sang pemilik ternyata menghampiri. Sepertinya tarif taksi sudah dibayar, sopirnya langsung membawa kendaraan pergi begitu bagasi belakang terkunci. Anin tampak berusaha mengambil alih pegangan koper dari tanganku. "Sampai sini aja, Yo." "Aku angkatin ke dalam." Meski berkeras, usahaku ditepiskan begitu bibir Anin melekat di pipi. "Sudah, Aryo ...." Dia lebih dulu meninggalkanku seraya menyeret koper. Bisa kudengarkan kekesalan meluncur dari mulutnya bersama rengutan yang ... menarik. Aku segera menyusul. Sebelum Anin menaiki tangga, aku bergegas menyelipkan tangan di belakang lutut dan bahunya. "Tante mau aku angkat juga?" Anin lepaskan pegangan pada kopernya, sampai benda berisi perlengk
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status