Semua Bab Ei-Bree My Betelgeuse: Bab 11 - Bab 20
74 Bab
11 - Sehari Bersama Si Kutu Buku
"Selamat malam. Mohon maaf, saya tidak terbiasa mengangkat panggilan masuk di atas pukul sebelas malam dari nomor tidak dikenal. Saya Gesa Edrei, sebelum melanjutkan, saya perlu tahu sedang bicara dengan siapa saat ini."Aku menahan napas. "Bre," panggilku, melarutkan aksen Belanda dalam namanya.Lama Bree terdiam sebelum mendesahkan senyuman. "Di mana aku bisa mencarimu besok?""Uluwatu.""Kau berada jauh sekali dari rumahmu.""Yuda bilang kau mencariku.""Ya. Bukankah kita membuat rencana untuk mendatangi pameran buku obral setiap hari sampai puas?"Aku tersenyum, membayangkan jemariku meraba lajur pipinya dari mata menuju bibirnya yang seperti buah persik dan disergap perasaan yakin bahwa dialah perempuan yang benar. May dalam kepalaku hanyalah sebuah suara, Sylvia hanyalah rekan untuk bersenang-senang, Hyunji hanyalah persinggahan sementara. Ba
Baca selengkapnya
12 - Daftar Kemustahilan
Desain itu sudah kuselesaikan dan sedang berada dalam tahap revisi terakhir di tangan Max. Aku tetap harus mempelajari salinan revisinya, baik dalam bentuk 2D maupun 3D, tapi Max memberitahuku bahwa desain bentuk 3Dku jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan sehingga revisinya tidak banyak.Kesibukan Max di tanah Canggu pun dimulai. Sesekali, pada rutinitas yang sudah kami rencanakan, aku harus mengawasi jalannya pembangunan untuk memeriksa apakah semuanya sesuai dengan maksud dan tujuan desainku. Tapi selain pengawasan rutin itu, selebihnya, aku dibebastugaskan. Lagipula, sebenarnya aku hanya drafter. Kerjaku di proyek ini hanya menggambar. Jika desainnya sudah sesuai dengan keinginan user dan apa yang Max perintahkan padaku, selesai sudah.Beberapa kali aku mempertimbangkan untuk menghubungi Bree. Tapi aneh rasanya mengangkat handphone untuk menghubungi perempuan selain ibu dan nenekku padahal aku ada di
Baca selengkapnya
13 - Merancang Malam
Jumat malam di bulan September awal, tepat setelah aku menyelesaikan tugas menganalisis sebuah tapak, Sylvia mengirimiku pesan yang bersifat genting.Angkat teleponku. Ini telepon paling harus diangkat dari telepon-telepon harus diangkat lainnya.Handphone-ku berdering pada detik berikutnya. Hyunji sudah tertidur di kamar. Aku pergi ke sudut rumah, jauh dari kamarnya, berpikir untuk membuka pintu depan pelan-pelan tapi saat kusadari percakapan ini mungkin hanya akan terjadi secara satu arah—tentu dari pihak Sylvia—aku pun hanya bersandar pada pintu dan mulai mendengarkan."Ada pesta," dia memberitahu. "Besok di Uluwatu. Aku tidak akan menghadirinya, kau tahu? Karena Janet tidak akan datang. Tapi kupikir pesta bisa membangkitkan gairah seksualmu seperti dulu"—belakangan ini aku melakukannya secara berkala dengan Hyunji—"jadi aku ingin kau menghadiri pesta itu. Thomas, kau menden
Baca selengkapnya
14 - Lumpuh di bawah Kusen Pintu
Lia menginterupsi nostalgiaku yang payah. Gaun satin putih yang jatuh lurus di luar tubuhnya bergelombang ketika dia berlari kecil ke arahku. Lia lalu melompat ke sebelah kiriku dan langsung menjatuhkan kepalanya di bahuku. Manis, pikirku. Sulit beradaptasi, tapi sekalinya menemukan titik teraman, dia akan menjeratkan diri selamanya di sana."Kau terbiasa tidur di kamar yang dingin?" Aku merengkuh perut ratanya.Lia tersenyum, menolehku, menyusurkan ujung hidungnya di dekat bibirku dan mendusal daguku dengan dahi di balik poni bergelembungnya. "Kau kedinginan?" Suaranya seperti remah roti saat terpisah dari bagian utamanya: lembut, nyaris tak terdengar, dan kalaupun terdengar pasti bunyinya serenyah ini."Aku biasanya mudah kedinginan. Tapi sebenarnya ada cara lain untuk menghangatkan tubuh kita."Lia tertawa sampai lehernya terbusung ke depan. Aku langsung mencium bagian di bawah tonjolan le
Baca selengkapnya
15 - Mendiami Atau Didiami?
Sulit memungkiri semuanya berawal dari egosentrismeku. Bahwa kupikir segalanya bisa kulakukan dalam rangka menyenangkan diriku. Bahwa aku memang merindukan May dan walau tak bisa mencari duplikat kehangatan tubuhnya, setidaknya aku berada dalam rasa hangat. Detik itu juga aku mendapatkan segalanya. Pelampiasan nafsu, akomodasi, teman, dan kenyamanan. Entah itu dari Hyunji, Sylvia, atau pun perempuan lain yang kukenal dari pesta dan acara serupa.Daftarnya terus bertambah. Dan aku tidak pernah lelah.Lalu serentetan momen melambat, lentur tapi tidak pernah lenyap. Tersisalah diriku yang berusaha meloloskan diri dari momen-momen yang semakin lama terasa seperti hari murung yang mengitariku tanpa henti. Aku merasa semua orang bersalah. Mereka berperan dalam merusak kondisiku.Aku tetap pergi ke rumah Hyunji, menemaninya dalam diskusi soal pekerjaan atau hubungannya dengan keluarganya, menjadi 'teman malamnya', menunggunya
Baca selengkapnya
16 - Kopi dan Vanila
Pengamatanku tidak mungkin salah. Jalan menuju rumah Junko hanya akan sepi selama dua jam dalam sehari. Sejak pukul dua sampai empat pagi. Aku membayangkan kelelahan gedung beton dan aspal yang harus menyaksikan kegaduhan manusia. Tapi untuk apa repot-repot bersimpati pada gedung dan aspal? Manusia memang biang gaduh. Kalau manusia tidak gaduh, manusia bukanlah manusia.Tapi tak kusangka aku—sebagai manusia—juga termasuk salah satu yang membuat kegaduhan. Di rumah Sandra, melompati atau melangkahi sandaran sofa untuk kemudian merebahkan diri di atas sofa ternyata merupakan hal ilegal. Tingkahku itu membuatku diburu. Junko dan Max berlomba-lomba menebas kepalaku, tapi aku melesat menuju kamar Max dan terus berkelit sampai akhirnya kalah di depan anak tangga pertama menuju lantai dua. Max mengunci tanganku di punggung lalu menggiringku bersama Junko ke ruang tengah lantai dua.Tirai berat kamar Bree diturunkan. Artinya dia ada
Baca selengkapnya
17 - Sejuta Trauma
Pada saat-saat seperti inilah aku berusaha mengingat-ingat koleksi buku Bree dalam raknya di lantai dua. Seharusnya jika Max memberikan sumbangsihnya, koleksi itu akan mencakup bidang bangunan juga. Siapa yang tahu mereka memiliki buku tentang sejarah arsitektur? Sehingga aku tidak harus mencari referensi di seluk-beluk internet melalui layar komputer dalam waktu relatif lama.Hyunji akan membayari buku-bukuku seandainya dia tahu aku membutuhkannya. Tapi aku tidak berniat memorotinya.Aku merogoh ke dalam tas dan mengambil handphone-ku yang bergetar. "Vic?""Kau di mana?""Salah satu bilik tugas di perpustakaan. Aku membuat makalah Sejarah Arsitektur.""Mulia sekali. Tapi kau begitu mudah ditebak, tahu? Seseorang menunggumu di pintu keluar.""Siap-""Lihat sendiri."Reaksi Victor ketika kusapa pagi tadi sangat mengharukan
Baca selengkapnya
18 - Sesuatu tentang Merokok
Bree memelototi peralatan gambar di meja kerjaku. Seri pensil H dan B, set rotring, gulungan kertas berbagai ukuran dan jenis, dan set penggaris diambilnya satu persatu. Kalau belum mengangkat peralatan itu tepat di depan matanya untuk mengagumi semuanya seakan-akan tidak ada pria yang lebih layak untuk dikagumi alih-alih peralatan gambar, Bree belum mau meletakkannya kembali.Itu masih seperempatnya. Tiga perempat sisanya menumpuk di rumah sewaan Hyunji."Aku punya set obeng di kamarku," katanya, serius memilah-milah kode pensil yang tepat sementara dia berkali-kali mencoreti halaman belakang jurnal tanpa garis bersampul kartonku di meja. "Tapi melihat set-set lain yang jauh berbeda fungsinya dari milikku membuatku antusias."Kayak dia tidak baru bangkit dari depresinya saja. Secara fisik wajahnya belum bugar, tapi ekspresi dan ketulusan menjahit longkop itu, membuatnya tampak seperti baru.
Baca selengkapnya
19 - Sepasang Mata Thiazi
Ruang tengah lantai satu menjadi tempat pesta teh yang ramah ketika kami tiba. Aku nyaris melonjak ketika melihat Jake dan Victor menjadi salah satu penikmat teh berbau seperti cengkeh dan mentol itu. Sepertinya mobil mereka tidak ada di parkiran. Tapi aku memang tidak memperhatikan sekeliling parkiran.Mereka tersenyum. Semua orang di sana. Semuanya. Bukankah sebuah keajaiban menemukan mereka semua memikirkan hal yang sama lalu memutuskan untuk melakukan hal yang sama juga?Agaknya mereka tahu apa yang terjadi, yang telah menjadi kesepakatan di antara aku dan Bree, sehingga mereka memakluminya. Kami melewati ruang di antara TV dan kamar Max sambil tersenyum, sedikit membungkuk, dan melambaikan tangan.Junko, Jake, Victor, Sandra, dan Hans mengucapkan selamat malam pada kami. Mendekati tangga, aroma samar-samar teh kalah telak oleh aroma serbuk kopi yang sangat kuat. Bree juga menciumnya sehingga dia terdiam di anak ta
Baca selengkapnya
20 - Diusir Junko
Janji ditepati. Pukul lima pagi aku dibangunkan oleh sentuhan bertekanan lemah dari telapak tangan yang hangat dan sedikit kapalan. Bree duduk di tepi kasurnya dan tersenyum padaku. Setengah bagian vertikal di tubuhnya tampak menyala oleh cahaya lampu teras sementara bagian yang lain ditimpa bayangan gorden yang ditutupnya seperempat bagian agar mataku tidak silau.Perasaan hangat dan haru menyelimutiku saat melihat gorden menghalangi pandanganku terhadap ruang tengah. Biasanya aku berada di luar sana, tersekat oleh gorden itu, tanpa bisa melihat ke dalamnya. Kini sebaliknya, gorden itu menutupi tubuhku yang sedang tertidur di baliknya.Aku tidak tahu apakah salah satu ketololanku termasuk payah dalam mengepak barang. Di rumah tadi malam, sudah berkali-kali aku mendaftarkan peralatan mandi apa yang kiranya kuperlukan selain sikat dan pasta gigi. Dan, ya Tuhan, aku tidak membawa handuk.Jadi Bree meminjamkanku salah sat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status