Semua Bab Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung : Bab 11 - Bab 20
62 Bab
11. Menginginkan Kematiannya
Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga
Baca selengkapnya
12. Tameng
Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.
Baca selengkapnya
13. Nyawa Selalu Diintai
“Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke
Baca selengkapnya
14. Perlawanan Dimulai
Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus
Baca selengkapnya
15. Hasad Tersembunyi
Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b
Baca selengkapnya
16. Dengki
Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub
Baca selengkapnya
17. Hitam dan Putih
“Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.” Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.” “Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju. “Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.” “Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.” “Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.” Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm. “Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya. Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.” “Ka
Baca selengkapnya
18. Terbongkar
Mentari sudah mengintip di ufuk Timur, bersiap keluar membagi hangatnya pagi. Di kamar bernuansa pink, perempuan bermata kecil mengerjap. Matanya terbuka menerima terang yang masuk dari celah ventilasi. Beberapa saat ia mencoba mengembalikan kesadaran, mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu tersentak seakan menyadari sesuatu, ia terduduk. Rambutnya kusut masai disibak ke belakang telinga. Seingatnya tadi malam ia di lantai, tapi sekarang sudah di tempat tidur. “Nilam?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Mata disapu ke sekitar, tak menemukan gadis itu. Apa aku berhasil? Nilam … hilang tanpa jejak …? Suci membulatkan mata, berdiri sambil memekik di hati, tangan terkepal, merasa usahanya tak sia-sia. Meski masih lemah, ia seakan mendapat energi baru, akan segera pulang sebelum penghuni lain mengetahui semua. Perempuan itu menguncir cepat rambutnya, meraih tas. Mengintip di luar masih terdengar sepi, ia harus bergegas
Baca selengkapnya
19. Pengkhianatan Seorang Sahabat
Nilam mencoba melawan, ia mendorong tangan Suci yang terus memaksanya hingga gelas jatuh dan pecah di lantai. “Nilam?!” Suci berdiri, berkacak pinggang. Wajahnya merah tanda murka melihat perlawanan gadis itu. Lalu ia berjongkok mendekati Nilam yang terlihat melemah. “Aku juga mau bahagia, Ni. Bukan cuma kamu.” Suci menarik sudut bibir. “Kamu terlalu sempurna, di kota besar gini juga banyak suka, banyak yang sayang! Huh, rasanya aneh, bisa jadi kamu punya ilmu pengasih, kan?” “Ci ….” “Alasan kamu pasti cuma kasian masih mau berteman sama aku. Pasti di hatimu mengejek, kan? Aku hanya gadis nggak berguna yang menjadi penghuni kampung?!” Perempuan muda itu meluapkan amarahnya. Mengeluarkan semua isi hati yang selama ini tersembunyi. Mendengar semua itu, batin Nilam t
Baca selengkapnya
20. Keinginan Terakhir
“Sorry baru bilang, gue juga syok,” kata Hanif pada Juju yang memerah mukanya begitu sampai di rumah sakit. Ia kecewa baru dikabari keadaan Nilam pagi ini. Sebagai orang terdekat Nilam, Juju merasa bersalah tak bisa menjaga gadis itu lebih baik. Hanif sejak selesai Subuh tadi mengisi heningnya ruang rawat dengan mengaji, duduk di kursi lipat tak jauh dari dipan Nilam. Pak Min dan Babe ketiduran lagi di sofa tunggu ruang kelas satu ini. Juju duduk di sisi tempat tidur, Nilam masih memakai oksigen pembantu. Dadanya menyesak begitu tahu Nilam sempat kritis sulit bernapas karena ada darah terhirup saluran napasnya tadi malam. Kalau ada apa-apa tanpa sepengetahuannya Juju akan merasa sangat bersalah. “Apa ini karena si Suci?” tanya Juju datar. “Temannya itu baru datang juga, saat Nilam ke belakang dia sempat sembunyi di balik bonsai, lalu ngikutin, makanya gue keluar juga. Sepertinya Nilam sudah tersungkur sebelum dia datang,” jelas Hanif. Meskipun
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status