Semua Bab Ketika Mertua Ikut Campur: Bab 41 - Bab 50
55 Bab
Part 41
POV Lutfan ****“Fan, jalannya pelan-pelan ya? Takut Eliza kenapa-kenapa.”Aku mengernyitkan kening saat mendengar perkataan ibu yang sangat perhatian kepada Eliza.“Memangnya Eliza kenapa? Sakit?”Pastilah aku penasaran kenapa ibu bisa sampai seperhatian itu. Tapi kalau sakit sepertinya tidak mungkin. Masa sakit dibawa ke rumah bibinya.“Nggak sih, Fan. Cuma hati-hati saja. Takut kenapa-kenapa aja sih kalau bawa mobilnya ngebut.”“Kayak biasanya paling, Bu. Biar cepat sampai. Aku langsung pulang lho. Nggak ada penawaran yang lain.”Harus selalu kuingatkan, agar beliau tak lupa dengan perkataannya sendiri.“Iya, kamu langsung pulang. Gampang kalau sudah selesai Ibu telpon kamu.”“Apa yang selesai, Bu?”“Urusan Ibu dong, Fan.”Sebenarnya ur
Baca selengkapnya
Part 42
POV Ibu Mertua ****Tanganku membimbing Eliza pergi menuju ke rumah bu Susi. Aku merasa khawatir jika terjadi apa-apa pada kandungannya. Makanya, kuperlakukan Eliza dengan sangat hati-hati. Kalau terjadi apa-apa pada janin yang sedang dikandungnya, rugi bandar dong jadinya.Aku melakukan segala hal untuk menanti hal ini, malah menjadi sia-sia. Itu tidak boleh terjadi.“Kamu siap ‘kan, Za?” tanyaku sembari berjalan menuju ke pintu rumah.“Iya Bu, pastinya. Ini ‘kan yang Ibu tunggu-tunggu.”Dia tersenyum. Sepertinya dia sama sekali tidak memikirkan tentang anaknya yang sebentar lagi akan menghilang. Dari raut wajahnya tidak melihatkan kesedihan. Bagus sih, tapi perasaanku sedikit tak tega saat membayangkan jika posisiku menjadi dirinya. Anak sendiri harus ditumbalkan. Namun, aku terpaksa melakukan ini untuk kebahagiaan Lutfan kelak. Toh, dia sudah kubayar mahal.
Baca selengkapnya
Part 43
“Sudah hampir jam sebelas, mas Lutfan belum pulang juga? Katanya hanya antar saja. Kok lama ya?”Aku bergumam sendiri di ruang tamu. Pandanganku melihat ke luar jendela, menanti datangnya mobil yang membawa mas Lutfan. Mereka berangkat sekitar pukul setengah Sembilan, perjalanan hanya memakan waktu setengah jam. Jika bolak-balik hanya butuh waktu satu jam saja. Namun, mas Lutfan masih belum terlihat batang hidungnya.“Wa saja deh.”Baru akan mengetikan pesan di dalam gawai, mobil mas Lutfan memasuki halaman rumah. Sudah pasti kuurungkan niat untuk menghubunginya.“Itu dia,” gumamku. Tanganku kembali meletakan gawai ke atas meja.Aku berjalan menuju ke garasi tempat mas Lutfan memarkir mobilnya.“Mas!” panggilku.Dia baru saja turun dan menutup pintu mobilnya. Saat mendengar panggilanku, seketika menoleh ke arahku.“Iya Dek. Kam
Baca selengkapnya
Part 44
Drrrtt, drrtt, drrrttt ….Gawai mas Lutfan terus bergetar, tumben tidak ada nada deringnya. Mungkin sedang banyak telepon yang masuk, jadi dia memilih mode getar saja.“Halo, assalamu’alaikum! Kenapa Bu?” sapa mas Lutfan pada seseorang yang sedang meneleponnya. Sepertinya orang itu adalah ibu mertua.“Oh, udah mau pulang? Katanya malam. Ini baru jam empat sore lho?” lanjutnya.Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Hanya suara mas Lutfan saja yang kudengar.“Iya, iya … aku jemput ke situ. Tunggu saja. Assalamu’alaikum.”Wah, singkat bener. Padahal gawainya dari tadi bergetar lama. Pas diangkat begitu saja.“Jemput ibu, Mas?” tanyaku.“Iya Dek, ikut yuk.”Tentu saja aku terkejut. Seketika bergeming dan dahi mengerut. Serta memandang mas Lutfan dengan tatapan heran.&ld
Baca selengkapnya
Part 45
Saat kemarin terjadi uang lebih, kami langsung mengitung ulang bersama karyawan sebelum membuka toko. Namun saat dihitung ulang, memang benar ada uang lebih sebanyak lima juta. Padahal semua karyawan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dan tanggung jawab. Jadi siapa yang salah di sini?“Terima kasih ya, sudah mau mengulang tugas tadi malam. Sekarang kalian boleh keluar dan mengerjakan tugas masing-masing sebelum toko di buka,” ucap mas Lutfan.Setelah semua karyawan keluar kini giliran kita yang tetap merasa bimbang. Sengaja tak memberitahu jika ada kelebihan uang kepada mereka. Kami hanya mengatakan jika harus mengulang pekerjaan tadi malam, untuk memastikan jumlah itu benar.“Mas, tetap saja sama kayak tadi malam. Ini uang siapa coba? Masa iya, bisa datang sendiri ke dalam laci.”“Aku juga bingung, Dek. Padahal toko ramai terus, tapi kok masih ada duit nyasar begini ya? Apa ini benar-benar reje
Baca selengkapnya
Part 46
POV Afif ****“Mar, kamu bawa gawai canggih ‘kan?” tanyaku sambil terus mengawasi.Aku bersama Damar—dia teman dekatku, untung saja dia mau menemaniku menyelidiki kasus ini. Tentunya karena memang bayaran yang ditawaran cukup besar sih menurutku.Kami sejak pukul  setengah Sembilan sudah stand by di depan toko milik Lutfan. Kami berada di depan toko yang sudah tutup. Lumayan mobil dan motor bisa bebas terparkir di sini.“Bawa dong. Kita butuh kamera yang jernih saat mem-vidiokan dan memotret orang yang kelihatan mencurigakan. Apalagi posisinya malam-malam begini.”“Nah bagus, semua sudah pulang. Kini giliran kita yang beraksi. Semoga lancar dan nggak ada kendala apa-apa.”Mata kami terjaga dan selalu melihat ke arah toko. Meski beberapa kali melihat ke arah lain juga sih. Menunggu memang tidak enak ya? Apalagi menunggu seseorang yang
Baca selengkapnya
Part 47
POV Afif ****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun
Baca selengkapnya
Part 48
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
Baca selengkapnya
Part 49
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Baca selengkapnya
Part 50
POV Afif ****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor.  Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status