Semua Bab Menantu Tak Diharapkan: Bab 11 - Bab 20
86 Bab
Bab 11
 "Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya. "Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin. "Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah. Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau. "Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing. "Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
Baca selengkapnya
Bab 12
 "Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.
Baca selengkapnya
Bab 13
 Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay. "Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya. "Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu. "Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega. "Iya," Bu Moko menjawab singkat. "Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?"  Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya. "Iya,
Baca selengkapnya
Bab 14
 Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran. "Kalian sedang apa?"Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik. Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya. "Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak. "Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja. "Aku tadi sedang mencuci piring di
Baca selengkapnya
Bab 15
 Siang ini, Cakra baru saja pulang dari sekolah. Langkahnya tergesa-gesa, menuju kamar temen istrinya berada. Di sana, Mega duduk di sofa, tempat biasa Cakra menjalani tidur malamnya. Gadis itu sedang asyik dengan gawai di tangan. TV yang terpasang pada sisi ruangan depan ranjang juga menyala. Ia tak menyadari ketika suaminya masuk. "Mega?" Cakra menyapa sambil melepas tas ransel dan menggantungnya di dekat gantungan baju. Ia mendekati Mega, duduk di sebelahnya. Tak ada kata terucap dari gadis itu setelah lirikannya tadi. Mungkin masih marah dengan suaminya. Hanya sesekali melirik, ketika Cakra mencuri pandang ke arahnya. Dan kembali membuang muka, ketika tatapan mata mereka ternyata bertemu. Mega akan kembali tertunduk menatap layar pipinya, tentunya dengan rona merah di sepasang pipi. Hal itu, membuat Cakra menggeleng sambil terkekeh dalam hati. Menyadari betapa besar gengsi yang dipunyai seorang Mega. Cakra berdiri
Baca selengkapnya
Bab 16
 Sudah adakah cinta untukku? _Seperti biasa, ketika malam tiba, seluruh anggota keluarga pak moko berkumpul mengelilingi meja makan besar. Aneka makanan terhidang di sana. Acara makan malam itu, selain untuk makan bersama juga untuk saling bercurah keluh kesah. Tentunya selain Cakra. Hingga saat ini, sepertinya ia belum mendapatkan tempat di hari bapak dan ibu mertuanya. Malam ini, ada yang berbeda dari raut wajah mentari, sejak beberapa hari yang lalu. Sejak wanita itu hendak berbuat jahat pada Cakra, lalu terhalang oleh Mega. Perubahan wajah mentari itu, hanya Cakra yang bisa memahaminya. Tanpa ada siapapun di keluarga itu yang tahu, selain mega tentunya. "Pak, Buk," Cakra membuka percakapan yang sejak tadi belum terdengar. Semua orang menoleh, termasuk Mega yang duduk disebelahnya. "Saya mau minta ijin, sebulan lagi akan mengikuti tes CPNS di luar kota," Ucap Cakra agak ragu. "Apa? Tes PNS? Emang kamu sepintar
Baca selengkapnya
Bab 17
 Langkahnya gontai mendekati sang istri yang sudah menunggu tak sabar. Tangannya terulur memperlihatkan secarik kertas bertuliskan catatan hasilnya tadi. "Aku minta maaf," Ucapnya lirih, disertai tatapan sendu penuh penyesalan. Sementara itu, Mega yang sudah menunggu dengan harap cemas seperti mendapatkan jawaban sendiri dari pertanyaan bersarang dalam benaknya. Namun, perempuan itu tetap berjalan mendekati suaminya dan bertanya, "ada apa?" Padahal dalam hati ia telah memiliki firasat. "Maaf. Aku, aku gagal," Suara Cakra bergetar, ia menghempaskan badan di sebelah istrinya. Ia takut. Bukan takut karena gagal jadi pegawai negeri lantas tak memiliki uang banyak. Namun, takut karena jika hidupnya belum berubah, maka lima tahun yang akan datang harus berpisah dengan Mega. Wanita pertama yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Meski dengan cara paksaan, tetapi ternyata rasa cinta itu muncul dengan seiring berjalannya waktu.&nb
Baca selengkapnya
Bab 18
 Mereka berdiri tertegun di depan pintu rumah saat hari telah gelap, dan tak ada seorang pun berada di luar. Ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali, menggiring seseorang berjalan membukakan pintu untuk mereka berdua. Wajah yang muncul sangat datar, menatap penuh selidik sambil menyedekapkan kedua tangan. "Apa hasil yang kamu bawa pulang?" Sosok itu bertanya sinis. Membuat kedua orang yang baru datang berpandangan sejenak, lalu serentak menundukkan wajah. "Kenapa diam? Kamu gagal, kan?" Dengan entengnya bu moko bertanya demikian. Seperti kompetisi itu bisa dengan mudah di rebut kejuaraanya."Maaf, Buk. Saya masih belum bisa memberikan yang terbaik," Jawaban cakt akhirnya. "Sudah ku duga. Kamu itu orangnya bodoh, sok-sokan mau ikut seleksi segala!" Selorohnya sambil berkacak pinggang. "Ada apa sih, Buk? Sudah malam begini kok ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Moko muncul dari dalam rumah. Mendadak Cakra
Baca selengkapnya
Bab 19
 "Kemana suamimu?" Sang Ibu tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Mega terkejut bukan main. Mata garang itu langsung tertuju pada sosok yang masih tertidur pulas di balik selimut. "Bangunkan dia!" Perintahnya pada Mega yang kemudian membelalak sambil menggeleng cepat. Tentu saja ia tak berani mengganggu tidur sang suami, yang jelas-jelas terlalu kelelahan itu. "Cepat, bangunkan dia, Mega!""Tapi, Buk .... ""Nggak ada tapi-tapian. Cepat, bangunkan dia, atau aku siram dia pake air bekas cucian!" "Tidak perlu, Ibuk."Keduanya menoleh serentak. Begitupun sang ibu yang baru saja usai dari teriakan melengking di pagi hari ini. "Ibuk tidak perlu memerintah dengan berteriak seperti itu pada Mega. Kasihan dia, buk. Ibuk paham kan, bagaimana kondisinya selama ini?" Cakra berkata dengan tenang. Sambil beranjak dari atas ranjang, mendekati mereka berdua yang kebingungan. Sejak kapan ia bangun? Mungkin itu ya
Baca selengkapnya
Bab 20
Cakra terkesiap ketika mendengar gawainya berdering. Nama pak Hendra terpampang di layar lima inchi itu, hatinya sempat berdebar sebelum menjawab telepon darinya. "Iya, Pak?" "Pak Cakra, besok anda bisa ke sekolah, kan? Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Terkait dengan beberapa kali kali anda tidak masuk tanpa ijin," Suara dari seberang ujung telepon membuatnya tersentak. Baru menyadari bahwa ia tak masuk hari ini, tanpa ada pemberitahuan sama sekali pada pihak sekolah. "Iya, Pak. Besok saya akan masuk, maaf jika hari ini saya tidak ijin dulu. Karena ada aktivitas mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," Ia berkilah. Ketika sambungan telepon telah terputus, ia lemparkan gawai itu ke atas sofa hingga terpental beberapa kali. Mega yang melihatnya langsung berdiri, hendak mendekatinya meski ada rasa ragu. Ragu bila sikapnya kini malah akan memancing kemarahan suaminya. "Mas?" Ia menyapa. Pertama kalinya memanggil C
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status