Cakra adalah pemuda yatim piatu yang sejak kecil diasuh oleh pamannya. Karena kondisi keluarga paman yang kurang baik, bibi pun memarahinya setiap hari tanpa alasan yang jelas. Hingga suatu saat, paman terlilit hutang pada sebuah keluarga kaya dan tidak bisa melunasinya. Maka, cakra yang harus menjadi jaminan, dengan bersedia menikahi salah satu anak dari keluarga kaya itu. Masalah belum usai, cakra masih harus menerima perlakuan dari mertua yang kurang suka padanya karena perbedaan kasta.
View More"Cakra, ini gajimu bulan ini. Kerja dan sekolah juga yang benar. Biar jadi manusia bermanfaat buat banyak orang," Pak Tejo mendekati Cakra yang sudah bersiap pulang, ia mengulurkan tangan berisi amplop putih, tipis. Namun, begitu berarti bagi seorang Cakra.
Ia adalah anak yatim piatu yang berusaha membiayai pendidikannya seorang diri. Setiap hari ia bekerja paruh waktu di rumah makan Sanjaya, sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Pacitan.
Cakra menerima uluran amplop itu dengan mata berbinar. Terkadang ia heran sendiri, bekerja paruh waktu, tetapi mendapatkan gaji lebih dari yang lain.
"Makasih, Pak. Saya janji akan sekolah dengan benar. Sekali lagi terima kasih," ucapnya disertai senyuman hangat. Senyum meneduhkan selalu menghiasi wajah tegas milik Cakra. Pembawaannya yang ramah dan supel itu membuatnya mudah bergaul dengan siapa pun.
"Memangnya, kurang berapa semester lagi kuliahmu?" tanya pak Tejo lagi. Pemimpin rumah makan Sanjaya itu selalu bersikap baik pada semua karyawannya, terlebih kepada Cakra. Namun, Cakra sadar sebagai seorang yatim piatu, mungkin membuat orang-orang menaruh simpati kepadanya.
"Sekarang sudah semester enam, Pak. Setahun lagi saya lulus, doakan jadi lulusan terbaik, Pak," jawabnya sambil menggendong tas ranselnya. Sepulang dari kampus tadi siang, ia memang langsung menuju ke tempat kerja.
"Oh, ya pasti. Anakku dulu juga lulusan terbaik. Setahun lulus dari sekolah, tes CPNS langsung lolos," celoteh pak Tejo. Ia merasa bangga menceritakan anak lelakinya yang saat ini hidup enak dengan menjadi pegawai negeri di luar daerah.
"Wah, nasibnya bagus banget ya, Pak?” tukas Cakra
"Tapi ya harus pinter dulu, kan, biar bernasib baik?"
"Hehe ... iya, Pak. Ya sudah, saya pulang dulu," kata Cakra dengan sopan.
"Iya," Pak Tejo menjawab sambil tersenyum bangga, melihat punggung menjauh itu. Pegawai yang terbilang baru, tetapi memiliki disiplin kerja cukup tinggi.
Di luar, Cakra naik ke atas motor butut yang ia beli setahun lalu dari salah satu temannya. Dengan motor itu, ia membelah jalanan ramai malam hari, menuju kediaman rumah Pamannya yang terletak di dekat pasar Arjowinangun.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di depan rumah Pamannya itu, ia mengarahkan motor memasuki halaman berpagar besi setengah badan. Suasana di luar masih ramai, tetapi rumahnya itu telah sepi. Mungkin Paman dan Bibi telah tertidur, pikirnya.
Ia membuka pintu depan, mendapati ruang tamu yang gelap. Meyakinkan dugaannya, bahwa semua orang di rumah ini telah tertidur. Memang yang ia tahu, selama ini paman dan bibinya akan tidur lebih awal, dan bangun tengah malam untuk memasak nasi pecel dan lainnya. Usaha sang Bibi yang digelutinya selama ini.
Cakra menuju ke dapur karena merasa tenggorokannya mengering, "Baru pulang, Mas?" Mata berat menahan kantuk, terpaksa kembali melebar karena sapaan tiba-tiba di dekat pintu menuju dapur. Seketika lampu menyala, menampakkan wajah sepupu, menatap dengan pandangan tak suka.
"Iya. Memang aku selalu pulang malam, kan?" Cakra menyahut santai.
"Yang penting jangan sampai lupa sama tugas malammu di sini," Seloroh Anggara. Sirat matanya penuh kebencian yang tak pernah Cakra tahu apa sebabnya. Hanya satu kemungkinan yang ia duga, karena selama ini selalu menumpang hidup di rumah itu.
"Tuh! Tau, kan?" Anggara menunjuk ke arah dapur, perabotan kotor menumpuk di sana.
"Iya. Memang sudah jadi tugasku."
"Bagus kalo paham!" seru Anggara sambil melenggang pergi. Bukannya ke kamar, pemuda itu malah keluar entah kemana. Membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Sudah sedewasa itu, tetapi belum mengenal pekerjaan apa pun, kecuali nongkrong hingga larut malam. Tak peduli bagaimana orangtuanya bersusah-payah mencari uang untuk kebutuhan hidup dan pendidikannya.
Cakra melanjutkan langkah menuju dapur. Di sana, setiap malam tumpukan perabotan kotor selalu setia menunggu kepulangannya. Mungkin memang ia satu-satunya petugas cuci piring di rumah ini. Bahkan sebanyak itu, seperti bekas makan sejak tadi pagi tetap dibiarkan begitu saja. Hingga ia pulang kerja. Tak peduli lagi bagaimana lelahnya akibat beraktivitas seharian penuh.
Mengingat kondisinya yang hanya menumpang hidup orang rumah ini sejak kecil, ia tak ingin ribut. Segera menyelesaikan pekerjaan meski rasa lelah membuat matanya berat.
Krumpyang!
"Haduh, gelas kesayangan Bibi, pecah?" Seketika matanya melebar, menyadari kesalahan fatal yang dilakukan tanpa sengaja.
"Apa lagi yang kau pecahkan?!"
Sebuah suara melengking, membuat Cakra menoleh. Di belakang, ternyata sang bibi telah berdiri sambil berkacak pinggang. Wanita itu mendekat, dan membeliak ketika melihat gelasnya pecah.
"Gelasku!" pekiknya, “Kamu bisa kerja nggak, sih?!”
"Maaf, Bi. Aku udah ngantuk banget, jadi ya nggak sengaja," jawab Cakra tenang.
"Makanya, jangan terlalu malam kalo pulang!" hardik sang bibi. Masih juga belum mengerti alasan Cakra setiap hari selalu pulang malam, dalam kondisi badan letih. Meski beberapa kali ia memberikan penjelasan, tetapi selalu salah di mata wanita galak itu.
"Iya. Maaf," jawab Cakra.
"Maaf ! Maaf saja terus, awas kalo ada yang pecah lagi!"
"Iya, Bibi."
Setelah punggung itu menjauh dari arah dapur, Cakra kembali berkutat dengan tumpukan cuciannya. Harus selesai secepatnya, agar bisa tertidur, dan besok bisa bangun pagi. Karena biasanya, setiap pagi sebelum berangkat ke kampus ia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Layaknya pembantu rumah tangga.
Jam setengah sebelas malam, Cakra baru bisa merebahkan badan remuknya. Diatas ranjang tua beralaskan kasur lantai, yang entah kapan ia membelinya waktu itu. Kamar sempit yang biasa ia tempati itu, berbeda jauh dari kamar paman dan bibinya. Juga kamar Anggara yang terbilang mewah.
Namun, lagi-lagi ia tak pernah mempermasalahkannya. Ia sadar betul posisinya saat ini, hanya yatim piatu yang diasuh oleh sang Paman.
Cakra terlelap sangat pulas, akibat raga yang setiap hari diporsir. Hingga tak menyadari bahwa hari telah berganti.
Byur!
"Akh! Apa-apaan ini?"
"Kamu yang apa-apaan! Sudah siang begini masih enak-enakan tidur. Dasar pemalas! Kamu nggak pernah mikir, gimana Paman dan Bibimu ini banting tulang siang dan malam. Untuk cari makan buat kamu!"
Suara uring-uringan itu memang sudah menjadi kebiasaan di rumah itu. Namun, diguyur air karena bangun kesiangan sepertinya baru kali ini. Seketika Cakra melompat dari atas tempat tidur, sibuk menyeka air berbau tak sedap yang baru saja mengguyur wajahnya.
"Maaf, Bi. Aku kesiangan," ucap Cakra tergagap.
"Lihat, jam berapa sekarang?" Teriak Bibi menunjuk ke arah jam dinding, sudah jam tujuh pagi. Cakra membelalak.
"Jam tujuh? Aku pasti telat," gumamnya.
"Paman dan Bibimu sudah bangun sejak tengah malam, sampai sekarang belum istirahat. Kamu malah enak-enakan molor. Ingat, ya. Jangan berangkat sebelum semuanya beres!"
"Iya, Bi,"
"Buk, jangan kasar-kasar sama anak yatim. Nanti kalo kualat, gimana?" Tiba-tiba Paman sudah berada di antara mereka. Melerai, meski tak pernah berhasil. Karena tak pernah menang melawan mulut judes sang istri.
"Terus saja, Bapak bela anak itu. Sampai kita nggak punya apa-apa lagi karena memenuhi kebutuhannya!" seru bibi, membuat paman Karwo terdiam seribu bahasa.
Paman dan Cakra bergeming, saat Bibi hendak pergi dari kamar itu. Namun, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh, "Kamu harus ganti gelasku yang kamu pecahkan semalam!" tegasnya.
"Iya, Bi. Ini sekarang saja, mumpung saya lagi ada uang," Cakra menyahut sambil membuka amplop yang tergeletak di atas meja sejak tadi malam. Bibi pun mengernyit, ia berjalan mendekati pemuda itu lagi.
"Banyak uang kamu rupanya," gumam Bibi sambil merebut beberapa lembar yang sedang di pegang Cakra.
"Bi. Memang harus sebanyak itu?"
"Iya. Memang kenapa?" Belum sempat ia menjawab, bibi telah menghilang dari balik pintu kamar. Cakra menghela napas berat, sejenak menoleh ke arah sang Paman yang menyentuh lembut pundaknya.
"Sabar ya, Cakra."
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments