Semua Bab Menantu Tak Diharapkan: Bab 41 - Bab 50
86 Bab
Bab 41
 "Siapa, ya?" Mega bergumam. "Nggak tau. Kamu di sini saja, biar aku yang lihat ke sana," Pinta Cakra yang segera di setujui oleh istrinya. Ia segera keluar rumah, melihat dua orang turun dari atas motor besar. Lintang baru pulang, ia diantar laki-laki muda, yang membeliak ketika melihat siapa yang menyambut. Begitu pula Cakra, ia tak habis pikir mengapa pemuda itu bisa kenal dengan Lintang. "Anggara?" Ia bergumam, ketika menatap pemuda yang juga tengah menatapnya heran. Tak lama, sosok yang berjalan berdampingan dengan Lintang itu segera mengalahkan pandangan ke sekeliling."Angga, kamu kenal dengan Lintang?" Ia bertanya lagi, ketika mereka telah berada di depannya. Mungkin hendak di ajak masuk ke dalam rumah. "Seperti yang mas Cakra lihat. Memangnya kenapa? Aku tidak boleh kenal sama adikmu?" Angga menjawab ketus seperti biasanya. Cakra mendengus, bukan karena tidak boleh kenal dengan
Baca selengkapnya
Bab 42
 Seseorang berteriak. Membuat semua yang ada di ruang tamu itu serentak menoleh. Bu moko dan putri sulungnya sudah pulang. Mereka pasti sangat terkejut dengan keributan itu. Angga mendengus, tanpa permisi langsung pergi meninggalkan rumah mewah itu. Begitu juga Lintang, ia memilih segera mundur. Karena tau apa yang akan terjadi. "Cakra mau membuat ulah, buk," Bima berkata, sungguh di luar dugaan. Sontak saja yang merasa disebut namanya mendongak sambil memelototkan mata. "Apa maksudmu, mas?" "Diam. Biarkan Bima bicara!" Sanggahan yang diberikan Cakra tadi tak berarti apapun, karena bu moko dengan cepat menyela ucapannya. Lelaki yang masih berseragam itu memilih diam, ia menjadi penasaran dengan apa yang akan di ceritakan oleh Bima. Sementara, Bima. Merasa jadi pemenangnya, ia lantas menyunggingkan senyuman miring ke arah Cakra. "Saya tadi bermaksud melerai mereka. Cakra sepertinya kurang suka, jika sepupun
Baca selengkapnya
Bab 43
L"Apa hukuman dari bapak?" Tanya Mega. "Aku harus di dalam rumah selama satu minggu, mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu rumah tangga," Ia hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi batal karena ada notifikasi pesan masuk di aplikasi Whatsapp-nya. Undangan rapat di hari esok, jam delapan pagi. Ada tambahan dengan menggunakan huruf capslock di bawahnya, mengingat pentingnya acara ini, mohon bapak bisa hadir dan tepat waktu. Begitulah isi pesan dari pak Waluyo, kepala sekolah yang baru saja dikenalnya tadi pagi. Cakra tak membalas pesan itu, sebelah tangannya lagi-lagi memijat pelipis. Dengan menyadarkan kepala di sofa. "Ada apa, mas?"Ia merasakan tangan Mega meraih lembut bahunya yang kali ini melorot ke bawah. Tak setegap biasanya, yang sering dijadikan tempat bersandar oleh Mega. Kala mereka hanya berdua saja di dalam kamar. Cakra tak menjawab, ia hanya menyodorkan gawai ke depan sang
Baca selengkapnya
Bab 44
 Hening. Tak ada yang menyahut, baik mentari ataupun yang lain. Entah semua itu telah direncanakan atau tidak. Malam ini mereka seperti bersatu untuk saling memojokkan Cakra. "Jawab, Mbak! Kenapa cuma diam?" Wanita itu terlihat melirik sekilas ke arah Cakra, dari sorot matanya mulai menampakan keraguan. Cakra berhembus lirih, penuh kelegaan. Setelah ini ia akan melanjutkan kalimatnya untuk membantai Bima yang sombong itu. Bima tersenyum sinis, ia kembali berkata, "bapak lihat sendiri, kan? Siapa sebenarnya yang memutar balikkan fakta?" Tanyanya diarahkan pada pak moko yang masih bingung menentukan sikap itu. Cakra sekali lagi mendengus kesal. Tak menyangka, sepintar itu Bima memainkan ucapan. Pantas saja jika selama ini dialah yang menjadi menantu kesayangan di rumah sebesar ini. Pantas saja, orang macam Cakra, yang lugu dan apa adanya itu selalu dipandang sebelah mata. "Sudah, sudah!" Pak moko melerai.&nb
Baca selengkapnya
Bab 45
 Ia tiba di rumah, suasananya masih sangat sepi. Belum ada siapapun yang pulang, karena rumah akan kembali riuh ketika hari menjelang senja. Cakra tiba di dalam kamar, di sana Mega berbaring diatas ranjang. Meringkuk memeluk guling membelakangi pintu. Ia berfikir istrinya itu tertidur, langkahnya berlanjut menuju tempat tas dan jaket untuk melepasnya. Setelah berganti pakaian dengan yang lebih santai, ia baru mendekati Mega di sana. Ia meraih lembut bahu ramping itu, matanya menyipit ketika merasa yang dipegang itu bergetar. "Mega?" "Kamu jahat!"Lirih Mega tanpa bergerak, membuat Cakra semakin menyipit, mendengar suara parau itu. "Kamu mimpi?" Tanyanya lagi tanpa rasa bersalah. Memang ia tidak tau apapun, kan? Namun, bukannya menjawab, getaran di bahu itu semakin kencang. Hingga terdengar deru nafas tak beraturan. "Kamu jahat, mas!" Suaranya lagi. "Hey, kamu kenapa, sih?"
Baca selengkapnya
Bab 46
 "Bagaimana rasanya di sini?" Cakra membelah kesunyian di pantai sore itu. "Agak lebih baik," Kata perempuan itu, duduk memeluk lutut. Mengarahkan pandangannya ke depan sana, ke arah surya yang semakin rendah saja. Seperti hendak menuju ke dalam air laut. Cakra tersenyum, ia mulai mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sedang dilanda emosi. Kedua tangannya lantas melingkari pinggang Mega dari belakang. Menyandarkan ragu di atas pundak sang istri. Awalnya Mega terlihat menolak, tapi ia diam saja. "Kalau seperti ini, bagaimana?" Sengaja Cakra menggosokkan pelan pada pundak yang masih bergeming itu. "Mega, aku cinta sama kamu," Bisiknya, tepat di depan telinga Mega. Perlahan, ia mengurai pelukan, lalu bergerak ke depan wajah sang istri. Membingkai sepasang pipi yang sudah bersemu merah, entah sejak kapan. "Kamu mau kan, memaafkan aku?" Perempuan itu masih bergeming dan menundukkan wajah. "Mau
Baca selengkapnya
Bab 47
 Cakra melepaskan kancing baju Mega bagian atas. Namun, aktifitasnya tertunda karena ada seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia mendengus kesal, sudah berapa kali hal ini terjadi. Hampir tak bisa terhitung. Keterlaluan sekali mereka! Batinnya. Ia bergerak membuka pintu dengan hati dongkol. "Dari mana saja kalian?" Belum sempat ia memastikan siapa yang ada di balik pintu itu, sebuah pertanyaan lantang nyaring di depan telinga. Ketika ia melihat, ada sepasang mata menatap nyalang. Sepasang mata pucat karena kehilangan make-up yang biasa menempel tebal di sana. "Menantu nggak tau diri kamu ini! Mertua bekerja seharian, cari uang buat makan. Kalian malah keluyuran nggak jelas sampai malam!" Sosok itu  kembali menyentak. Bosan? Jangan ditanya. Jika mau, Cakra bisa membanting pintu saat ini juga. Untuk menghindari celotehan menusuk wanita bergelar ibu mertua itu. Entah apa makanannya tadi, begitu semangat ketika melantan
Baca selengkapnya
Bab 48
 Waktu bergulir begitu cepat, bulan dan tahun telah berganti tanpa disadari. Akhir tahun tinggal beberapa hari. Pada tahun ke empat pernikahan Cakra dan mega. Hari sudah siang, ketika Cakra hampir menyelesaikan pembelajaran di salah satu kelas sembilan. Kelas riuh yang sejak tadi berceloteh minta segera pulang. "Baiklah. Tugasnya jangan lupa di kerjakan, ya," "Iya, pak," Anak-anak menyahut malas.Semangat mereka telah redup, bila dibandingkan dengan pagi harinya. Kebiasaan anak-anak usia SMP, jika kelas pagi, guru pun mau di lahap mentah-mentah. Namun, ketika menjelang jam pulang tak jarang mereka tertidur di dalam kelas. Bahkan ketika guru masih mengoceh di depannya. Ada yang ingin ditanyakan?" Cakra kembali bertanya sambil merapikan buku-bukunya. "Ada pak," Salah satu anak lelaki menjawab, wajahnya seperti baru bangun tidur. "Iya?""Kapan pulang?" Anak itu nyeletuk. Diikuti sua
Baca selengkapnya
Bab 49
 "Dua minggu lagi usia pernikahan kalian genap lima tahun. Hingga saat ini, belum ada perubahan bagus yang kamu tunjukkan pada kami," Pak moko bersuara tanpa basa-basi. "Tapi, Pak," "Gajimu itu tidak lebih besar dari kami. Dan anak. Kamu juga belum bisa memberikannya untuk kami!" Pak moko menuding tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Cakra untuk membela diri. Tak ada waktu yang diberikan oleh pihak keluarga untuk mereka berdua mencetak anak. Itulah penyebab mengapa hingga kini belum bisa memberikannya. Cakra malam ini hendak mengatakan hal tersebut, tetapi pak moko sepertinya sudah akan kembali bersuara. "Kalau dalam waktu dua minggu ini, Mega belum ada tanda-tanda kehamilan. Maka kalian harus bercerai!" Suara pak moko terdengar lirih dan datar. Wajahnya menatap ke lurus ke depan, ke arah lampu berjajar indah di pinggiran pintu gerbang. Sementara Cakra, beberapa menit menata
Baca selengkapnya
Bab 50
 "Mas?" Ia menyapa penuh harap, karena sejak dari meja makan tadi, suaminya selalu terdiam. Seolah tak peduli. "Aku harus berangkat,""Mas, tunggu!" Sia-sia. Cakra sudah menghilang dari balik pintu. Meninggalkan Mega menatap daun pintu tertutup dengan pandangan tertegun. Ia mengerjap beberapa kali untuk menghalau agar genangan yang hendak tumpah itu menghilang. "Katanya kamu mencintaiku, Mas. Tapi kenapa mudah menyerah?" Lirihnya dengan nafas tersengal, air mata pun bercurah tanpa halangan apapun. Sementara itu, di perjalanan Cakra mengemudikan motor seperti lepas kendali. Berkali-kali tangan kanannya memukul stang dengan keras, diiringi umpatan tak jelas karena wajahnya tertutup helm standar. Hari ini, sebenarnya ia tak ada jadwal mengajar. Hanya saja sebagai guru negeri, tidak boleh absen tanpa alasan jelas. Ia harus masuk tiap hari untuk absen. Dari rumah pak moko hingga tiba di tempatnya mengaja
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status