Semua Bab Menantu Tak Diharapkan: Bab 31 - Bab 40
86 Bab
Bab 31
 Semuanya saling tatap dan mengangkat sebelah alis, seperti hendak membuat kesepakatan untuk membuat Cakra merasa jera. "Baik. Bawakan kami makanan ringan yang banyak!" Bima menantang. "Dengan senang hati," Setelah berkata begitu, ia membalikkan badan dengan menggenggam tangan Mega. Berajalan tegas, tanpa menoleh lagi ke belakang. Mereka yang memperhatikan kepergian dua orang tadi hanya mendengus lirih. Kesal, sekaligus heran. Bagaimana bisa Cakra begitu percaya diri hendak membawakan makanan untuk orang serumah. "Tapi, kok. Dia tadi percaya diri banget, ya? Bicara begitu?" Bima yang masih mengamati pintu tempat menghilangnya Cakra dan Mega itu bergumam. "Iya. Kayak orang punya uang saja dia itu," Istrinya yang menimpali. Keduanya masih keheranan. "Ya sudahlah. Kita tunggu saja nanti, apa dia benar-benar punya uang untuk membeli semua itu," Ucap pak moko menengahi. "Tapi, pak. Beb
Baca selengkapnya
Bab 32
 Tak lama, keduanya telah tiba di rumah dengan dua buah tas kain cukup besar yang entah isinya apa. Namun, ia memberikan salah satunya pada pak moko dan lainnya yang masih asyik di depan TV. "Mas Bima, ini oleh-olehnya," Cakra menyerahkan tas itu ke arah Bima, karena lelaki itu yang duduk paling ujung. Bima menerimanya dengan mata membulat lebar, keheranan. Saking herannya, ia bertanya "kamu nyuri?""Mencuri itu perbuatan jahat, mas," Cakra menjawab lirih, tetapi terdengar tegas. Hingga Bima hanya bisa ternganga, dan tak menyadari bahwa sosok di depannya itu langsung berbalik meninggalkan mereka. Bima mengerjap berkali-kali, memastikan bahwa yang baru saja terjadi adalah nyata. Namun, memang benar. Itu nyata. Ia baru menyadari ketika tas kain itu sudah berpindah ke tangan mentari yang tak kalah herannya. "Ini makanan ringankan. Dari mana mereka mendapatkan semua ini?" Gumam tari, hingga bu moko turut mendekat pe
Baca selengkapnya
Bab 33
 "Mau kemana kamu?" Pertanyaan Bima itu berhasil membuat langkah Cakra terhenti. Lalu menoleh, pada sosok sombong tersenyum menyeringai. "Bukan urusanmu!" Cakra menjawab ketus, dan malah membuat yang bertanya semakin terkekeh. "Tersindir, ya? Bilang saja iri. Hahaha," "Aku mau bersiap-siap. Hari ini aku akan mengurus pemberkasan," Jawab Cakra tegas. Lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Meninggalkan kedua orang yang kini saling berpandangan tak mengerti. "Apa dia bilang tadi? Pemberkasan? Berkas apa?" Gumam Bima pada istrinya. Lelaki yang  hanya tamatan SMA itu mungkin tidak memahami tahapan seseorang yang hendak menjadi PNS. "Apa dia lolos jadi pegawai negeri?" Mentari menimpali. Membuat Bima menoleh ke arah istrinya sambil mengernyit. "Lolos pegawai Negeri? Hahaha, mana mungkin orang miskin kayak dia bisa lolos?" Tukas Bima mulai kesal, karena jika benar Cakra akan berhasil men
Baca selengkapnya
Bab 34
 Hari sudah siang ketika Cakra mengistirahatkan badan di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan. Ia mengamati sekeliling, yang belum begitu ramai. Hanya ada beberapa orang duduk dengan minuman, di kursi paling pojok. Sepertinya memang belum waktunya para pencari rejeki itu menatap raga yang mulai kelelahan. "Mau makan siang, mas?" Sebuah suara dari salah satu pelayan mengembalikan lamunannya. "Ah, iya mas," Ucapnya pada pemuda mengenakan seragam itu. Karena di rumah makan hanya menyediakan masakan padang, pelayan pun tak perlu bertanya hendak memesan apa. "Tunggu sebentar ya, mas," Pelayan tadi berbalik arah menuju ke belakang. Cakra hanya mengamati punggung menjauh itu, ketika kembali melihat ke arah pintu masuk, ia di kagetkan oleh kedatangan seseorang. Sosok yang baru datang itu pun sama kagetnya dengan Cakra. Namun, orang itu tetap berjalan dan berhenti tepat di depannya. "Mas Cakra?" Sosok itu
Baca selengkapnya
Bab 35
 Ia mendorong motor ke dalam, lalu berjalan menuju pintu rumah yang masih terbuka lebar. Ia melewati ruang tamu sepi, hanya ada suara gelak tawa dari arah ruang TV. Benar sekali, sore itu mereka semua berkumpul di sana. "Itu dia si cakra!" Bima berseru. Mengarahkan telunjuknya pada orang yang disebut, membuat yang lain ikut melongok melihatnya. "Kemana saja jam segini baru pulang?" Seperti biasa, bu moko selalu melempari pertanyaan yang membuat Cakra serba salah. "Kamu nggak mikir dapur masih berantakan? Malah enak-enak kelayapan nggak jelas seharian penuh!"  Bentak wanita itu dengan mata melebar kemana-mana. Cakra mendesah lirih, ingin sekali menjawab kalimat tak bersahabat itu. Namun, karena tak ingin ramai, ia menggerakkan kaki, hendak pergi dari hadapan ibu mertua galak. "Mau kemana, kamu? Mentang-mentang sudah mau jadi pegawai negeri, berani membantah sekarang, ya?" Jengah. Itulah ya
Baca selengkapnya
Bab 36
 Pagi-pagi sekali Cakra sudah tebangun, setumpuk kertas menemani duduknya sejak pagi masih buta. Bahkan hingga Mega terbangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Suaminya itu sedikitpun belum beralih dari aktivitasnya. Hal itu tentu saja membuat sang istri keheranan, apa sebenarnya yang di lakukan di depan laptop baru itu? Batin Mega bertanya-tanya, sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Sesekali  sudut matanya melirik ke arah Cakra yang sejak tadi masih serius. "Mas, dari tadi kok sibuk terus, sedang apa sih?" Mega mendekati Cakra, bertanya dengan hati-hati. Khawatir akan menggangu konsentrasi suaminya. "Ini, berkas yang harus dikirim secara online. Tapi, dari tadi Jaringannya kurang bagus. Jadi terhambat terus," Jawab Cakra tanpa menatap lawan bicara. Mega mengangguk maklum, dengan sesekali melirik ke arah layar laptop yang baru dinyalakan pagi itu. "Biasanya di sini jaringannya bagus, Mas,"  
Baca selengkapnya
Bab 37
 "Keluar, mas. Ada yang cari," Titah Lintang dari depan pintu kamar. "Siapa?" Tanya Cakra, memang tak bisa mendengar siapapun yang datang dari depan rumah sebesar itu. "Udah cepat. Keluar aja!" Tukas gadis itu seraya angkat kaki. "Ayo, mas. Siapa tau itu dari pihak dealer," Ajak Mega. Tiba di depan mereka di hadang oleh Bima dan mentari, menatap penuh selidik. "Siapa yang membeli motor baru?" Teriak Bima dengan menatap tajam menyala. Sementara yang ditatap hanya diam santai, seperti tak pernah terjadi apapun. "Mega yang beli," Seloroh Cakra tanpa menatap lawan bicara. Kakinya bergerak melangkah melewati Bima dan istrinya yang masih tercengang dengan jawaban yang didengar tadi. "Mega?" Gumam Bima. Memandang hampa ke arah dua sosok punggung keluar rumah itu. "Nggak mungkin, mas!" Tambah mentari. Keduanya masih termangu di depan pintu, hingga mereka menoleh karena ada su
Baca selengkapnya
Bab 38
 "Lancang sekali kamu mulai berani mengatur kami! Memangnya kamu itu siapa, hah?" Pak moko berteriak, wajah sangarnya menatap nyalang ke arah Cakra. Membuat semua orang turut terkesiap, seketika menghentikan aktivitas memakannya. Begitupun Cakra. Ia pikir dengan bertambahnya gelar sebagai pegawai dengan bayaran tetap setiap bulan, akan mengubah cara pandang mertuanya. Namun, masih saja salah. Lalu dengan cara apalagi agar bisa dimanusiakan oleh mereka? Ia membatin. Karena menurutnya, ia menghargai orang lain dengan banyak atau tidak uang yang di punya. "Kamu masih tetap seperti sebelumnya, mengerjakan semuanya!" Teriak pak moko menyudahi makannya, meletakkan sendok ke atas piring dengan keras. Hingga menimbulkan suara dentingan yang membuat pendengaran berdenging. Setelah itu, pak moko menghentakkan kaki. Meninggalkan meja makan dengan langkah cepat, menuju kamarnya. Begitupun bu moko, setelah mendengus lirih sambil menatap sinis k
Baca selengkapnya
Bab 39
 Tiba di tempat parkir khusus untuk motor, ia turun. Dengan disambut guru lain yang juga baru turun dari motornya. "Guru baru, pak?" Orang itu menyapa sambil menyalaminya. "Benar, pak," Cakra menjawab, sosok di depannya nampak mengernyit. Seperti teringat akan sesuatu. "Bapak, yang tadi sama mahasiswi itu, ya?"Cakra pun mengernyit dengan pertanyaan itu, otaknya berputar. Berusaha mengingat, dimana mereka pernah bertemu? Mengapa orang itu tau, bahwa dirinya tadi bersama seorang mahasiswi? Benaknya kini dipenuhi kalimat tanya. "Ah, iya Pak. Itu tadi adik saya," Jawab Cakra berkilah. Harapannya, agar yang bertanya itu segera ber oh. Lalu mengajaknya menuju ruangan yang ia sendiri belum tahu tempatnya. Namun, perkiraannya meleset. Orang di depannya masih mengerutkan dahi. Mungkin belum puas dengan jawaban yang ia berikan tadi. "Adik. Kok kelihatannya mesra sekali, malah saya pikir, mahasiswi
Baca selengkapnya
Bab 40
 Awalnya, pak Waluyo mengernyit dengan sikap kaget Cakra. Namun, ia segera menyadari dan berusaha menguasi diri. "Menjadi donatur tetap?" Tanya Cakra menyakinkan. "Iya. Mendiang pak Sanjaya itu berteman baik dengan saya sejak kami duduk di bangku SMA," Terangnya, yang kemudian membuat Cakra semakin tak percaya. "Kenapa, pak? Apa bapak pernah kenal dengan pak Sanjaya?" Cakra sekali lagi terkesiap, tak menyangka dunia akan sesempit ini. Selalu dipertemukan dengan orang-orang yang berhubungan dengan keluarganya. "Ah, tidak pak. Saya tidak pernah mengenalinya," Cakra bersuara ragu. Ada getar dari nada suara itu. Namun, untungnya pak Waluyo tidak menangkap hal itu, karena suasana masih riuh oleh para guru yang belum kembali ke ruangannya. "Pak Cakra pasti memang belum mengenalnya. Karena, ia dan istrinya telah lama meninggal. Mereka meninggalkan seorang anak kecil belum genap dua tahun,"Men
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status