Semua Bab Istri Tanpa Suami: Bab 31 - Bab 40
143 Bab
31. Farah Tak Ingin Segera Memiliki Anak
"Siapa, Mas? Kayaknya kenal dekat," tanya Farah sangat ingin tahu."Wanita itu yang pernah aku ceritakan, Sayang. Yang melahirkan di villa angker," terang Emir pada Farah, saat mereka tengah menikmati baso berdua."Serius? Wah, kebetulan sekali. Trus, anak kecil yang narik celana Mas tadi waktu mau masuk ke gedung, berarti anak Mbak itu?""Iya. Cantik ya, bola matanya abu-abu. Aku ingin kita punya banyak anak, jangan cuma dua, apalagi satu. Harus lima.""Ha ha ha ... Ogaaah! Capelah ngurusnya," tolak Farah sambil tertawa."Kan ada aku yang bantuin, Sayang. Ada baby sitter  juga nanti yang bantuin, semoga kamu langsung isi," rengek Emir sambil menatap instens wajah cantik istrinya."Gak, ah. Punya anaknya nanti-nanti saja." Farah mengangkat telunjuknya di depan Emir, lalu ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, tanda ia tidak setuju atas ucapan Emir.
Baca selengkapnya
32. Emir Mencari Aminarsih
Sepasang pengantin, baru saja mengarungi kenikmatan dunia. Dengan tubuh polos berpeluh, Emir memeluk sayang Farah yang kini resmi menjadi istrinya. Ya, walapun Farah memang sudah tidak gadis lagi, itu tidak masalah untuknya. Karena memang pekerjaan Farah menuntutnya, mau tak mau harus mengorbankan sesuatu yang sangat ia jaga.Farah memejamkan mata karena terlalu kelelahan. Acara pernikahan yang padat, macet saat perjalanan pulang, ditambah lagi harus memenuhi kewajibannya sebagai istri bagi Emir, lelaki yang ia cintai, membuat tubuhnya bagai tak bertulang."Mau aku buatkan makanan, Sayang?" bisik   Emir di telinga Farah."Tidak, ah. Aku mengantuk." Farah berbalik, memunggungi suaminya. Matanya masih terpejam rapat. Emir tersenyum tipis, lalu mengecup kepala Farah. Ia pun turun dari ranjang pengantinnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan mandi hadas besar.Emir keluar dari kamar man
Baca selengkapnya
32. Emir yang Baik Hati
Ami bergegas membuka pintu untuk tamunya dengan sejuta tanya di kepala."Tuan, ada apa?" "Maaf, Mbak Ami. Benar mas ini saudaranya Mbak Ami?" tanya Pak Jum yang ikut bersama Emir saat ini."Iya, Pak. Saya sepupunya, ya kan Mi?" sela Emir."I-iya, Pak. Sepupu jauh saya, namanya Emir," ujar Ami terbata."Gak boleh ngobrol lama ya, sudah malam. Pagar depan lima belas menit lagi saya kunci. Jadi hanya lima belas menit saja bicaranya," ujar Pak Jum kemudian berlalu dari depan kontrakan Ami."Aduh, Tuan. Ada apa malam-malam begini?" tanya Ami merasa tak enak."Saya tidak dipersilakan duduk?""Eh, iya. M-maaf, Tuan, karena kaget saya jadi lupa. Mari masuk, Tuan." Ami mempersilakan Emir masuk ke dalam kontrakannya. Lelaki yang memakai hoodie hitam itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian langsung menyaksikan Amira yang tengah terlelap dengan peluh bercucuran."Maaf, begini tempatny
Baca selengkapnya
33. Kapsul Kontrasepsi Milik Farah
Emir mencari tahu obat apa yang kini ada dalam genggamannya. Ternyata pil itu adalah obat pencegah kehamilan. Sudah ada tujuh tablet yang terbuka dari satu strip obat pencegah kehamilan tersebut. Kenapa sudah Farah minum sebanyak tujuh tablet? Berarti sebelum menikah, ia sudah terlebih dahulu mengonsumsi obat ini? Tega sekali.Emir berjalan ke tempat sampah, melemparkan obat itu ke dalamnya. Segera ia membuka ponsel, ada beberapa pesan dari Farah yang menanyakan keberadaannya. Ada juga lima panggilan tak terjawab dari Farah, dan satu panggilan video. Semua ia acuhkan, karena rasa kesal yang teramat sangat. Jemarinya menggeser layar ponsel, ada pembaruan status dari istrinya yang sedang menikmati kopi dengan majagernya di sebuah restoran di Malaysia. Hatinya terbakar cemburu, bagaimana bisa begitu ceria senyum sang istri saat menikmati siang di sana, dengan lelaki yang bukan suaminya. "Sayang sekali tiket ke Bali yang sudah aku beli," guma
Baca selengkapnya
34. Liburan ke Bali
Emir, Amira, dan Aminarsih sudah berada di dalam bus, menuju Bali. Kenapa bisa naik bus? Karena Emir membatalkan tiket pesawat bisnisnya. Ami tak memiliki KTP, sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat dengan pesawat bersama dengannya.Tak masalah bagi Emir, yang penting saat ini ia tengah menikmati langit malam bertabur bintang, dengan Amira yang duduk di pangkuannya. Ami tersenyum penuh arti. Dia yang duduk di kursi seberang, ikut menikmati perjalanan dengan menatap jalan tol yang padat merayap."Tidur saja! Aku akan menjaga Amira," ujar Emir pada Ami."Tak apa, Tuan. Saya akan menunggu Tuan dan Amira tidur, baru saya tidur.," jawab Ami sambil tersenyum. Bus eksekutif yang dinaiki mereka hanya terisi lima belas bangku, sedangkan sisanya kosong. Mungkin karena hari ini  hari senin."Kamu lapar?""Mmm ... Tidak, Tuan. Lagian ini masih ada roti yang tadi Tuan belikan." Ami mengangkat bungkusan plastik roti  dengan gam
Baca selengkapnya
35. Liburan
Amira tidak mau turun dari punggung Emir, saat lelaki itu tengah mengonfirmasi bookingan kamar, di salah satu resort terkenal di Bali. Ami berusaha merayu puterinya agar mau turun, tetapi Amira menolak. Malah tangannya semakin kencang memeluk leher Emir. Apa lelaki itu marah? Tentu tidak. Emir malah tertawa cekikikan melihat kelakuan Amira yang sangat menggemaskan. Ami memperhatikan tempat paling bagus seumur hidup baru ini ia kunjungi. Yaitu, Bali dan benar-benar sangat bagus resort yang mereka datangi saat ini. Ada hamparan sawah hijau nan asri, udara segar, pepohonan seakan bersahabat dengan angin. Menambah kesejukan pada setiap orang yang berada di sana. Kolam renang dengan bentuk lonjong, bulat, dan juga kotak, tepat di atas tebing dengan pemandangan hutan tropis yang memanjakan mata. Benar-benar vitamin mata."Selamat bersenang-senang dengan keluarga," ucap pelayan resort ramah saat menyerahkan kunci kamar pada Emir."T
Baca selengkapnya
36. Kegembiraan Amira
Amira masih asik berenang bersama Emir di kolam anak. Sudah satu jam lamanya, gadis kecil itu tidak mau naik untuk makan. Ia terus saja meminta Emir untuk menggendongnya di dalam air, atau sesekali menuntunnya. Begitu senang, begitu gembira, dan seringai giginya terus saja mengembang, tatkala menikmati moment berenang bersama Emir. Aminarsih memandang keduanya dari kursi santai terbuat dari rotan, dengan payung sebagai pelindung kepalanya. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi kebaikan Emir. Sesuatu yang sangat di luar logika menurutnya. Jika sebelumnya, ia ditemani dan ditolomg oleh dua ekor tikus, segerombolan kecoa, pasukan semut, serta buah apel ajaib. Maka, hari ini, Emir adalah sosok yang menggantikan mereka. Lelaki itu menghibur dirinya dan juga anaknya, mengeluarkan banyak uang untuknya dan juga anaknya. Memberi kebahagiaan yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Ami mengusap air matanya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia.
Baca selengkapnya
37. Rasa yang Berbeda
Emir terbangun dari tidurnya. Suasana kamar sudah gelap, udara juga sangat dingin di atas sini, walau ada selimut tebal menutupi tubuhnya. Lelaki itu menoleh ka arah perutnya, ada tangan kecil nan montok sedang bertengger di sana, seakan memeluknya. Emir tersenyum tipis, lalu mengangkat jemari itu, kemudian mengecupnya. Tunggu, tapi di mana Ami? Mata Emir menangkap sosok yang tengah meringkuk kedinginan di sofa. Pelan Emir bergeser turun, agar Amira tidak terbangun."Ami, Ami, kenapa malah tidur di sini?" Emir mengangkat tubuh ringan Aminarsih dengan pelan dan hati-hati, lalu membawanya ke atas ranjang besar nan empuk. Mendekatkannya pada Amira. Dua wanita berambut kriting itu kini sudah berdampingan dan sangat lucu. Emir pun ikut naik, kemudian berbaring di sebelah Amira, melanjutkan tidurnya.Pagi menjelang, sayup-sayup suara musik khas Bali mengalun merdu di area resort. Udara pagi yang terasa sejuk dan dingin, sebenarnya membuat orang malas untuk bangun. Sa
Baca selengkapnya
38. Pertemuan Emir dan Suraya
"Emir, kamu di sini? Siapa wanita ini?""Mbak Raya." Emir kaget bukan kepalang, walau sudah menyamarkan diri dengan memakai kumis dan menutup kepalanya dengan topi, tetap saja sang kaka mengenalinya. Lekas lelaki itu berdiri dari duduknya, lalu tersenyum canggung pada sang kakak yang juga keheranan, bisa bertemu adiknya di sini."Mana Farah?" mata Raya mencari-cari di mana sosok adik ipar modelnya, Raya. Jangan tanyakan bagaimana wajah Ami. Dia menunduk takut, bahkan sangat dalam, tak berani mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegub terlalu keras, hingga ia tak mampu mendengar dengan baik obrolan dua kakak beradik di depannya."Mbak, kenalin dulu ini Aminarsih. Ami, ini Suraya kakak saya." Ami perlahan mengangkat wajahnya dengan takut-takut. Suraya memberikan tangannya pada Ami, lalu disambut Ami dengan mencium punggung tangan Suraya, membuat Suraya menahan tawa."Sayang , kamu kok lama ... Lha, Emir kamu di sini?" kakak ipar Em
Baca selengkapnya
39. Kencan dengan Aminarsih
Emir terpana dengan pemandangan di depannya, seorang wanita yang kucel, rambut tak bersisir, berubah bagaikan orang lain yang sangat cantik, kini berdiri di hadapannya sambil menunduk malu dan memilin jemarinya. Bukan saja Emir, Iqbal suami dari Suraya pun terbengong dan ikut menelan saliva, sama seperti Emir. "Gak bagus ya, Mas?" tanya Ami lagi pada Emir."Itu capa, Pa?" tanya Amira yang mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Amira saja anaknya sampai tidak mengenalinya."Ha ha ha ... Amira saja tidak tahu kalau kamu ibunya, Mi. Bagus sekali dan kamu cantik," puji Emir membuat semburat merah menjalar di kedua pipi Aminarsih. Sepanjang umurnya, baru Emirlah lelaki yang mengatakan kalau dia cantik. Ya, walaupun harus dimake over terlebih dahulu."He he he ... Begitu ya." Ami canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, guna mengusir rasa canggung diperhatikan semua orang saat ini."Matanya sayang, lihat Ami ja
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status