Semua Bab Damai dalam Poligami: Bab 31 - Bab 40
84 Bab
Bab 31
*Fadhilah Sambodho*Mengedar pandang ke seluruh ruang hatiku merasa hangat. Mainan berserak, anak-anak berlarian juga suara siaran TV yang bicara sendiri tanpa ada yang menonton. Begitu pun denting perabotan di dapur sana. Sepertinya wanita yang membuat rumah ini tampak hidup sedang memasak. “Ayah!” pekik Syamil menyadarkanku. Aku tersenyum menyambut uluran tangan anak keduaku bersama Sarah dan disusul Si Sulung Rayyan. Syamil dan Rayyan selisih usia enam tahun. Melihat mereka rasa bersalahku kembali bangkit. Untung saja Sarah pandai mendidik anak hingga sikap cuek ayahnya ini tak membuat mereka membalas dengan acuh pula. “Bunda mana, Ray?” tanyaku untuk mencoba membuka obrolan. Sulungku ini memang sangat pendiam tapi kasih sayangnya pada Sang Bunda sangat besar. Baru kusadari sikap diamnya sekarang makin menjadi setelah aku menikahi Zubaidah. Kalau tak sangat perlu tak
Baca selengkapnya
Bab 32
“Bang tolong angkatin cucian ke depan mau dijemur ya!” “Galon air belum kepasang, Bang!” “Kakiku pegal tadi berdiri terus di kelas, pijitin sebentar ya, Bang!” Rentetan permintaan tolong Zubaidah berdenging di kepala. Keadaan itu membuatku malas pulang kalau saja di kantor ada lemburan. Sayangnya semua pekerjaan telah selesai dan bulan-bulan awal tahun memang keadaan santai terkendali setelah target tahunan digeber kemarin. Kehamilan Zubaidah sebenarnya bukannya yang bermasalah tapi wanita itu terlalu banyak mendengarkan omongan dokter dan terlebih kurang kerjaan melahap banyak buku tentang kehamilan. Akibatnya terlalu banyak pantangan ibu hamil untuk tak melakukan sesuatu bahkan urusan pribadinya. Suami jadi tumbal pada akhirnya. “Sebal.” Tanpa sadar aku bersungut. “Kenapa?” Sej
Baca selengkapnya
Bab 33
Suasana kafe cukup ramai di sore hari yang cukup cerah setelah beberapa hari hujan terus saja turun. Februari adalah bulan basah di mana hari-hari lebih banyak hujan dan mungkin orang-orang lebih memilih bergelung dengan selimut dari pada keluyuran di luar rumah. Begitupun masih ada saja yang merasa rumah tak lagi memberikan kenyamanan maka inilah salah satu gunanya tempat nongkrong semacam kafe. Mengurai kepenatan. Aku menculik Anton yang kebetulan minta nebeng untuk pulang seperti biasa. Kami memang kerap saling bergantian nebeng kendaraan kalau sedang cape menyetir atau mobil kami bermasalah. Bahkan dulu saat ekonomi kami belum stabil kami saling bergantian bawa kendaraan untuk menghemat. Masa-masa itu tak boleh rusak saat ini hanya karena masalah keluarga. Anton paling memahamiku jadi aku memilih jujur padanya. Karena itulah kami ada di sini. Pria menyebalkan itu pasti selalu punya cara membantuku meski ledekannya nanti bisa bikin panas
Baca selengkapnya
Bab 34
Aku mendengarkan music melalui hadset yang kusumpalkan di telinga. Wajah memerah Zubaidah dan gerak bibirnya kuhiraukan. Setidaknya pertemuanku dengan Anton mulai kucoba terapkan di sini. Rumah istri keduaku. Sejujurnya aku tak tahan mendengar kritikan Anton kemarin. Yah meski sudah kularang ceramah toh aku mendengarkan juga setiap yang dia sampaikan. “Kita tak boleh sombong sebagai lelaki hanya kerana menafkahi mereka apa lagi kalau itu bahkan tidak cukup dan membuat mereka juga harus membantu banting tulang. Seharusnya kita malu karena nafkah lahir batin itu tak sesederhana pikiran kebanyakan lelaki.” Begitu cerocosnya yang menyentil hatiku terdalam. “Nafkah itu bukan titipan uangmu untuk belanja harian termasuk bayar cicilan, Bro, tapi uang yang kau khususkan baginya.Lalu nafkah batin bukan soal kau yang mencari kenikmatan dari tubuhnya tapi soal ketenangannya dalam kecukupan biologis juga tak adanya kekhawatiran
Baca selengkapnya
Bab 35
 *Sarah*Hari perkiraanku melahirkan tinggal sebentar lagi tapi Mas Fadhil masih saja diam dan menghindar setiap kucoba bicara soal biaya persalinan. Aku jelas takut kalau-kalau tiba waktunya biaya persalinan tidak siap. Memang masa pandemic membuat penghasilan sebagian orang terganggu tak terkecuali suamiku. Kantornya menghapus bonus juga memotong sekian persen dari gajinya. Kami harus legowo dari pada kehilangan pekerjaan. Sejak maduku hamil, Mas Fadhil bertingkah aneh. Sangat pendian dan suka gugup tanpa alasan setiap kudekati. Meski cemburu itu ada tapi aku sudah berusaha ikhlas sejak awal termasuk jika suamiku punya anak juga dari Zubaidah. Mungkin itu hadiah dari Allah bagi kesabaran Zubaidah selama ini yang lebih banyak mengalah. Kuasa Allah segalanya mungkin bahkan jika usia maduku rawan untuk mengandung. “Mas!” Aku mencekal tangan Mas Fadhil yang akan beranjak dari sofa begitu tubuhku mendarat di samp
Baca selengkapnya
Bab 36
Aku mulai menyingsingkan lengan baju untuk mengatasi setiap pembiayaan pribadi. Mengumpulkan setiap tabungan baik yang dalam rekening juga yang dalam bentuk perhiasan sampai mendapatkan cukup untuk biaya persalinan. Aku bertekad tidak akan mengabarkan pada orang tua apa lagi meminta bantuan tambahan dana kalau tidak sangat terpaksa. Sungguh malu rasanya. Mas Fadhil seperti berusaha menghindar dan sesingkat mungkin berada di sekitarku. Lembur atau Zubaidah control adalah alasan utamanya. Aku sendiri seolah lupa kalau perlu perhatian lebih. Emosi membuat tenagaku banyak dan napsu makan meningkat. Berat badan juga naik pesat seiring bertambah usia kandungan. Dua bulan lagi HPL jadi aku harus kuat. Taka da yang kupikirkan selain diri ini sehat dan berusaha bahagia bersama anak-anak. “Maaf, Dik tapi Zubaidah hamil pertama. Keadaannya tak sebaik kamu,” katanya pagi ini. Aku hanya diam ketika banyak alasan Mas Fadhi
Baca selengkapnya
Bab 37
Taman bermain tampak rame sore ini. Berbagai gerobag Mang jajanan berderet sepanjang mata memandang. Aku duduk memperhatikan kedua jagoanku yang sedang memilih-milih lalu berhenti untuk mengatri. Tubuhku terasa berat dan tak sanggup kalau harus mengikuti mereka. Kandunganku memasuki usia Sembilan bulan tapi masih bisa bermotoran pelan bareng Syamil. Taman ini berada tak jauh dari rumah dan tak perlu keluar jalan raya. Rayyan memilih mengikuti di belakang menaiki sepedanya. “Nanti Bunda berat bawa tiga anak,” katanya sambil menunjuk perutku. Kami tertawa bersama. Mendekati hari kelahiran jujur saja ada rasa takut. Bukan tak percaya takdir hanya saja melahirkan indentik dengan bertaruh nyawa. Setidaknya aku ingin banyak menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat senyum mereka. Penyemangat hidup dan harta paling berharga. “Bunda! Ini es krimya lucu,” kata Syamil sambil menunju
Baca selengkapnya
Bab 38
 Plok! Plok!Aku bertepuk tangan dua kali untuk mengalihkan perhatian anak-anak lalu berbalik menghampiri Rayyan dan Syamil yang duduk bersebelahan sambil menunduk. Wajah mereka tampak tertekan. Kedua tanganku hinggap di satu bahu masing-masing anak. “Ayo jagoan! Tak perlu menangisi hal yang tak perlu!” seruku sambil  menatap mata anak-anak bergantian. “Dengar! Kalian anak bunda yang melakukan apapun dalam pantauan orang tua baik ayah maupun bunda, itu  tidak  masalah sama sekali.Ayp lupakan!Kita bersenang-senang tadi jadi jangan ada drama sedih sekarang.Pergi mandi dan shalat.Ayo! Ayo!”   Aku melambaikan tangan diikuti gerakan mereka yang bergegas. Dengan menarik ujung bibir selebar mungkin aku mengiringi mereka dengan tatapan mata berbinar. Aku paham mimic wajahku mempengaruhi mereka. Kuhiraukan lelaki yang mematung di dekat
Baca selengkapnya
Bab 39
 *Fadhilah Sambodo* Semua menjadikanku serba salah. Aku berharap bisa menunjukkan power sebagai kepala rumah tangga dengan menegurnya yang bepergian sampai malam dalam keadaan hamil. Entah bagaimana seorang ayah yang menasihati anak-anak agar jangan nakal dengan berbagai permintaan yang menyusahkan orang tua juga jadi salah di mata Sarah. Sarah diam dan anak-anak terus menghindar dan mejauh, bagaimana aku akan betah di rumah yang seperti itu? Lalu kenapa jadi kesalahan besar ketika aku berusaha mengungkapkan perasaan? “Kalau begitu hancurkan saja,” kata Sarah dengan suara datar. Jelas aku kaget setengah mati mendengarnya apa lagi dia mengatakannya dengan enteng saja tanpa beban. Sebagai suami aku sudah tak dianggap oleh anak dan istriku. Bagaimana aku tak jadi lebih betah di rumah Zubaidah kalau begitu? Sarah bahkan enggan memasakkan makanan yang biasa kumakan hingga terpaksa
Baca selengkapnya
Bab 40
 Hidupku kembali seperti memegang bara. Panas di dada membuat ketegangan kerap kualami dan melonjakkan tekana darah. Aku mulai panic ketika pemeriksaan terakhir telah mencapai seratus empat puluh per Sembilan puluh. Tak terlalu tinggi tapi rasa takut justeru memicunya tambah melonjak. “Ibu … selain tekanan darah meninggi badannya juga mulai kelihatan bengkak.Coba perhatikan kaki dan wajah! Ini gejala kelainan kehamilan. Saya akan melakukan beberapa tes yang hasilnya bisa diketahui beso dengan dokter yang menangani Ibu. Saya hanya dokter jaga yang menggantikan Dokter Irma.Semoga ini ringan saja, ya … kurangi konsumsi garam dan minyak. Jalan pagi ya biar peredaran darah lancer dan jangan lupa lepaskan alas kaki sementara agar titis syaraf tersentuh,” nasihat dokter. Meski kalimat panjang itu bernada lembut tetap saja membuat kekhawatiran bertambah. Apa lagi memang bukan dokter yang biasa m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status