All Chapters of Damai dalam Poligami: Chapter 51 - Chapter 60
84 Chapters
Bab 51
 Gamis berbahan wolfis warna pink membuatku merasa cantic hari ini. Aku berusaha menikmati hari memulihkan diri dengan bahagia. Bersama dua pangeran dan satu orang putri yang sehat seharusnya tak ada yang akan membuatku khawatir di masa depan. Hari ini adalah syukuran putriku yang kuberi nama Putri Fadhilah Sambodo. Sang Ayah jelas ingin nama belakangnya tersemat pada belakang nama anak kesayangannya. Senyum itu tak pernah pudar bahkan dalam beberapa hari ini sering menyelinap dari hari jadwal kunjungan pada Zubaidah. Meski bukan untukku ada rasa lemah yang dalam hatiku untuk terus bersikap keras padanya mengingat interaksi ayah anak itu begitu intens. Mas Fadhil seolah tak ingin melewatkan waktu tanpa tangan kecil yang selalu disentuhkan pada pipi merasai kelembutannya. Seperti diriku yang juga menyukainya dan melakukan hal yang sama pada moment meng-ASI-hi. “Kenapa melamun?” tanya Mas Fadhil yang sedang du
Read more
Bab 52
“Assalamualaikum!!!” Serempak suara sekelompok wanita di depan rumahku riuh mengucap salam. Aku tersenyum lebar kearah mereka yang ternyata adalah teman satu pengajian. Mereka datang tepat waktu sehingga tangan yang mencengkeram pinggang Zubaidah segera kulepaskan. Senyumku semakin lebar tatkala sepasang suami isrti juga muncul di belakang para ibu yang sebagian berpinggang lebar. “Waalaikumusalam waroh matullahi wabarakatuh!Ayo, mari-mari silakan masuk!” Mereka bergerak mencari tempat duduk yang nyaman dengan sandaran terbaik. Suaranya berdengung seperti lebah membuatku sebenarnya cukup pusing ditambah kemungkinan tekanan darah yang naik akibat ulah suami dan maduku beberapa saat lalu. “Sarah‼” Pekikan Laras mendekat membuatku reflek mundur takut tiba-tiba memeluk dan mengenai bagian luka di perutku. Namun tidak karena wanita dengan an
Read more
Bab 53
Semarak lampu yang dipasang lebih di rumah kediaman Sarah dan Fadhil untuk menyambut acara syukuran anak ketiga mereka yang di beri nama Putri Fadhilah Sambodo tidak diikuti semaraknya acara. Setiap orang dalam rumah itu berwajah murung. Sarah duduk termenung menatap ruang kosong sambil memangku bayinya. “Sarah … aku sungguh minta maaf,” kata Laras dengan suara serak menahan tangis. Wanita bergamis bunga-bunga kecil berwarna biru dengan kerudung penjang warna senada itu menyusut cairan dari hidungnya dengan selembar tisyu yang diulurkan Sang Suami. Mereka duduk bersama mengelilingi sebuah meja panjang rendah dengan berbagai camilan yang tampak utuh di atasnya. Para tamu telah diusir dengan marah oleh Fadhil yang kemudian juga pergi menggandeng Zubaidah bersamanya. Acara yang diharapkan Sarah akan sedikit menghapus sebag dengan berbagi senyum bersama teman dan keluarga sirna sudah. Hanya keluarga inti d
Read more
Bab 54
 “Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sambil menatapnya curiga. “Ah tidak. Saya hanya kebetulan melihat, Anda jadi sekedar ingin menyapa,” jawabnya canggung. Merasa tidak punya kepentingan dan sepertinya dia juga tidak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan jadi aku ingin kembali melangkah tapi suaranya kembali menginterupsi. “Em-itu ….” “Ya?” Lelaki berusia kisaran tiga puluh lima tahun berambut hitan agak keriting tetapi tertata rapi itu kembali gugup. Aku mulai tak sabar sehingga berkali-kali sengaja melirik pergelangan tangan di mana sebuah jam tangan warna perak melingkar. Melihat hal itu lelaki yang mengaku bernama Ali itu tampak gusar. “Apa Zubaidah baik-baik saja?” tanyanya cepat. Sepertinya dia menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutnya dita
Read more
Bab 55
    Selama proses pemeriksaan tubuku terasa kaku. Lelaki itu tampak asyik bercanda dengan Sang Putra tetapi aku merasa dia beberapa kali melirik dengan ujung mata tajamnya. Ya Allah, kenapa aku jadi mati gaya dan salah tingkah begini? Tanpa sadar aku kembali meliriknya dan kebetulan dia pun sama. Itu membuatku semakin merasakan ketegangan yang tak bisa ku jelaskan sebabnya.   "Bu! Bu Sarah!"   "I-iya, Dok. Kenapa dengan bayi saya? Dia baik-baik saja kan?"   Dokter di depanku terkekeh melihatku gagap dan panic tidak jelas. Pandangannya menggoda menatap kami bergantian. Ini jelas membuatku tidak nyaman. Apakah dia kira kami ada hubungan spesial atau apalah yang menjadikan kondisi kami menjadi saling canggung? Dokter ini tidak tahu pengalaman apa yang
Read more
Bab 56
Bab 56 DDP Hari cukup terik ketika aku turun membawa bayi Putri turun dari taksi online. Dengan ujung kerudung kulindungi bayi mungil yang kini berusia dua Minggu. Rasa nyeri di perut bagian bawah membuat langkahku sangat lamban. Pagar rumah sedikit terbuka hingga tak perlu bersusah payah menggeser untuk bisa masuk. Salam kuucapkan pelan saja karena aku tak berharap bibi membukakan pintu. Aku tahu dia sedang sibuk menyiapkan makan siang siang sekarang. "Ingat, Bik! Kau di sini aku yang bawa jadi seharusnya kau berpihak padaku bukan perempuan itu!"  Hardikan sebuah suara yang teramat kukenal terdengar gusar. Isak tangis terdengar pelan yang kuyakin adalah suara bibi. 
Read more
Bab 57
"Bibi tinggal di pinggiran desa kecil yang hidup mengandalkan bahu untuk bisa makan. Apa saja saya kerjakan dari buruh cuci, buruh tani sampai masuk hutan mencari kayu bakar untuk dijual."  Bibi bicara sendiri sambil terus terisak. Aku sama sekali tak menyahut atau menimpali juga tak merubah posisi dari membelakanginya tetapi menyimak setiap kata dengan baik. "Ibundanya Neng Zubaidah sangat baik apa lagi Neng Laras. Dari beliau setiap kekurangan keluarga, saya mendapat bantuan. Karena itu sewaktu Neng Zubaidah meminta saya membantu dan mengawasi Bu Sarah saya bersedia." Bibi menjeda kisah dengan isak yang tak tertahan sementara aku tetap seolah membatu meski sebenarny
Read more
Bab 58
Selesai makan aku merasa mengantuk tapi sebentar lagi anak-anak akan pulang sekolah. Aku tak akan melewatkan menyambut mereka dan mengarahkan kegiatan hari ini. Dengan begitu aku baru akan bisa tenang beristirahat. Belakangan aku tak terlalu bisa tidur nyenyak karena sering bermimpi buruk. Kalau sudah terbangun dari tidur pasti susah lelap kembali. "Bi, temani saya ngobrol dulu sampai anak-anak pulang ya… saya takut tertidur." "Nanti bibi bangunkan kalau mereka pulang, Bu." "Tinggal sebentar lagi, Bi." Wanita berdaster coklat dengan kerudung berbentuk topi bulat menutup rambutnya yang dicepol itu kembali duduk setelah mengantar bekas makanku ke dapur. 
Read more
Bab 59
Aku termenung mengingat cerita bibi tentang istri kedua Mas Fadhil. Kenapa Zubaidah baru direbutnya ketika usianya telah rawan menikah? Empat puluh tahun adalah usia yang sangat matang kalau tak ingin dikatakan perawan tua telat menikah.  Saat bertemu lelaki bernama Ali itu, tampak sekali kekhawatiran di wajah ketika menanyakan kabar Zubaidah. Wanita yang gagal dipinangnya karena keduluan suamiku. Mungkin salah jika aku dan Laras dulu mengkhawatirkan dirinya tidak bisa menikah seumur hidup. "Bu, anak-anak sudah pulang!" seru bibi dari luar. Aku segera beranjak menyambut mereka. Senyum polos dua jagoanku membuat segala perasaan tak nyaman terlupakan sementara. Celoteh mereka saat kutemani makan siang membuat senyumku terbit. 
Read more
Bab 60
"Gaji bulan ini kamu tak ada jatah sebagai hukuman mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Fadhil pagi ini di meja makan. Kedua anak lelaki yang sedang sarapan bersama melirikku takut-takut. Belakangan ini suasana rumah ini tak lagi nyaman bagi mereka. Saat ayahnya datang adalah waktu akan sebuah ketakutan. Aku menghela napas untuk mengatur emosi di dada. Sekuat tenaga menahan mulut ini agar tak melayani bahasan suami. "Cuma buaya sekolah yang kubayar, lainnya biar dipakai Zubaidah meringankan biaya program kandungannya. Dia lebih butuh sekarang daripada kamu," pungkasnya. Diamku jelas dianggapnya setuju. Biarlah asal anak-anak tetap terbayar sekolahnya. Sedikit tabungan dan hasil penjualan di toko kecil yang kukelola masih menghasilkan rupiah meski tidak banyak. Apa lagi sejak sakit-sakitan mengandung hingga kini pasca melahirkan toko itu dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil. Aku harus cukup puas bi
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status