"Gaji bulan ini kamu tak ada jatah sebagai hukuman mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Fadhil pagi ini di meja makan. Kedua anak lelaki yang sedang sarapan bersama melirikku takut-takut. Belakangan ini suasana rumah ini tak lagi nyaman bagi mereka. Saat ayahnya datang adalah waktu akan sebuah ketakutan. Aku menghela napas untuk mengatur emosi di dada. Sekuat tenaga menahan mulut ini agar tak melayani bahasan suami. "Cuma buaya sekolah yang kubayar, lainnya biar dipakai Zubaidah meringankan biaya program kandungannya. Dia lebih butuh sekarang daripada kamu," pungkasnya. Diamku jelas dianggapnya setuju. Biarlah asal anak-anak tetap terbayar sekolahnya. Sedikit tabungan dan hasil penjualan di toko kecil yang kukelola masih menghasilkan rupiah meski tidak banyak. Apa lagi sejak sakit-sakitan mengandung hingga kini pasca melahirkan toko itu dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil. Aku harus cukup puas bi
Read more