All Chapters of Damai dalam Poligami: Chapter 41 - Chapter 50
84 Chapters
Bab 41
 Kamar ini terasa sangat sunyi meski ada dua orang berbaring bersama dalam satu ranjang. Jam diding berdetak dengat irama teratur bersama jantungku yang agak sedikit menghentak kali ini. Penyebab keteganganku karena hendak membahas hasil pemeriksaan tadi siang yang mungkin saja akan membuat perdebatan di antara kami. “Mas.” “Hem.” Dia berbaring membelakangiku sementara diri ini terlentang menatap langit-lagit kamar. Mas Fadhil selalu kekanakan jika tengah bersitegang dengan pasangan. Aku tak tahu bagaimana dia menyelesaikan setiap masalah di kantor yang melibatkan banyak orang dalam team. “Sarah ketemu dokter hari ini. Hasil pemeriksaan kemungkinan ada kelainan kehamilan. Itu sedikit menakutkan,” gumamku pelan. Mas Fadhil membalikkan badan menatapku intens. Pandangan kami bertemu membuat hatiku ingin menjerit kencang. Itu bukan tat
Read more
Bab 42
 “Jangan terlalu tegang, Sarah, kamu punya anak lain yang mengharuskanmu tetap sehat,” nasihat Dokter Irma yang juga adalah temanku membuatku tersenyum getir. “Justru aku punya mereka jadi takut terjadi sesuatu.” “Lupa kalau beban pikiranmu akan menambah masalah pada tubuh ringkih itu,” katanya mengejek dengan menaikkan dagu mangarah padaku. Dasar.Aku cemberut sampai terdengar kekehannya. Dia sengaja menggodaku agar terlupa pada setiap masalah yang ada. Terpaksa kubuka aib keluarga karena aku percaya dengan jujur teman yang berprofesi sebagai dokter kandungan ini akan mudah menolong jika terjadi sesuatu. Seperti saat membutuhkan pelayanan lain di luar kendalinya, beliau ini akan merekomendasikan pada dokter yang kompeten di bidangnya. “Jadi bagaimana hasilnya?” tanyaku tak sabar. “Kehamilanmu ini sudah mas
Read more
Bab 43
Sore ini aku sengaja bersantai di rumah sendirian. Anak-anak sedang mabit di sekolah mereka selama dua hari. Itu adalah sejenis pelatihan kemandirian dan hari menyantri di sekolah. Mereka berkegiatan layaknya santri di sebuah pondok pesantren selama dua hari saja. Bangun untuk shalat malam atau akrab disebut lail, shalat subuh berjamaah, mengaji bersama, jam Bahasa Arab dan game-game edokasi yang menarik membuat mereka melupakan bahwa sedang diajarkan tidak tergantung pada orang tua. Begitupun memasak dan makan masakan sendiri bersama-sama menjadi keasyikan tersendiri. Karena itulah aku sangat mendukung kegiatan satu ini. Tok tok‼“Assalamualaikum‼” Suara salam di depan membuatku dengan malas menyeret tubuh ke ruang depan setelah menyambar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi. Sudah menjadi kebiasaan aku selalu mengintip dulu keluar melalui celah gorden untuk memastikan siapa yang datang sebelum membuka pintu. Ta
Read more
Bab 44
Aku bukanlah seorang yang suka dan pintar bersandiwara tapi menghadapi kepolosan yang kebangetan dari madu menurutku kalau tak ingin di sebut bodoh menjadikan diri ini ingin sekali menguji kemampuan berakting. Dengan wajah sedih aku menjulurkan kaki dan menunjukkan bengkak di sana.  “Lihatlah,Mak!Ini disebut edema kata dokter dan sering mengganggu wanita hamil di trimester akhir.Ini sangat mengganggu, semoga, Mbak tidak mengalaminya.” Ketegangan mulai terlihat di wajanya. Biarlah aku terlihat jahat tapi sungguh aku menikmati ekspresi itu. Ini kesempatanku agar dia tahu bahwa dia sebenarnya sangat baik-baik saja untuk terlalu manja dan selalu menginginkan keberadaan suami tanpa ingat suaminya harus berbagi. “Ba-bagaimana bisa begitu? Apa sakit?” “Tentu saja sangat pegal, Mbak apalagi kalau harus berdiri lama.Sayangnya aku tak punya pilihan, de
Read more
Bab 45
 “Apa!?Baik. Rumah sakit mana?” Aku berbalik menghadap Zubaidah yang sedang melihatku penuh tanda tanya. Aku sendiri cukup kaget karena ini belum waktunya Sarah melahirkan. Menurut penghitungan dokter katanya masih ada waktu sebulan lebih lagi normalnya baru bayi ketiga kami akan lahir. “Dari rumah sakit Kasih Ibu. Sarah akan melahirkan jadi aku harus ke sana sekarang.” “Melahirkan?Tadi kami baru ketemuan dan dia baik-baik saja bahkan lantang mengusirku dari rumahnya,” kata Zubaidah lantang karena masih marah atas sikap kakak madunya. Aku paling malas meladeni perempuan yang marah jadi lebih memilih menyibukkan diri untuk bersiap pergi. Mau tak mau istri ke duaku ikut membantu. Dia memang nomor satu soal melayaniku. Di rumahnya akulah raja yang selalu di layani. Dalam perjalanan aku bertanya-tanya mengapa ke dua ist
Read more
Bab 46
Kesadaranku telah kembali ketika masuk ruang operasi meski semua terlihat samar. Berbagai peralatan membuat jantung berdebar tapi untungnya dokter anestesi yang berada dekat di kepalaku sangat ramah dengan suara yang merdu di telinga membuatku tenang. “Berdo’a dulu ya, Bu … operasinya mau dimulai,” katanya lembut sambil menyuntikkan sesuatu di tangan sebelah kiriku yang terentang. Aku memejamkan mata untuk mengurangi gugup meski rasanya badan ini terus bergetar. Kuingat sesuatu yang indah-indah dalam hidup juga bibir yang terus berdzikir. Hidup dan mati terasa begitu tipis jaraknya. Tak kudengarkan segerombol petugas medis di bawah sana yang tengah melakukan sesuatu pada tubuhku. Tak ingin kupikirkan seperti apa tindakan mereka itu. “Dingin ya, Bu? Gemetar terus ini,” kata dokter anestesi dengan suara ceria. Aku seperti melihatnya bicara sambil tersenyum lebar. Senyum itu pun menular
Read more
Bab 47
Cahaya luar ruang observasi yang remang membuatku serasa mendapatkan sinar mentari pagi. Aku sangat meridukan bermandi hangat mentari setelah tiap ruangan yang membuat gigil. Mas Fadhil menyambutku dengan senyum. “Jilbab.” Suaraku tercekat di tenggorokan. Apa karena beberapa jam diam? Entahlah. Yang kutahu kepalaku tak mengenakan penutup. Mungkin dilepas saat memasuki ruangan kemarin dan diganti penutup kepala berbahan semacam plastic. Suaamiku itu segera mengorek isi tas yang disandang. Mengeluarkan sepotong jilbab instan berwarna pink. Tas itu sudah kupersiapkan jauh hari untuk berjaga-jaga. Rupanya dia menemukannya dalam lemari pakaianku. “Anak kita cantic seperti ibunya,” bisik Mas Fadhil di telingaku sambil mengecup kening setelah memakaikan jilbab. Perawat yang mendorong brangkar cukup sabar menunggu baru kemudian membawaku ke lantai atas tempat kamar rawat inap berada.
Read more
Bab 48
Hampir sepekan perjuanganku di rumah sakit berakhir juga. Hari ke tiga bisa bengun dan ke kamar mandi setelahnya badanku lebih kuat untuk bergerak meski lamban. Hari ke empat bayiku juga bisa keluar dari ruang khusus untuk belajar minum ASI. Aku bahagia bisa menimangnya. Mas Fadhil seperti biasa akan datang setelah mengantar anak-anak sekolah lalu pergi lagi saat datang waktu menjemput mereka kembali dan baru datang lagi malam hari. Teman dan kerabat silih berganti juga datang menjenguk. Masa pandemic membuat mereka hanya datang sendiri atau berdua mengingat larangan berkerumun. Protokol prokes yang ketat tak menyurutkan mereka untuk tetap datang berkunjung. Sangat mengharukan memiliki mereka sebagai teman. Dokter Irma selalu menyempatkan mampir jika ada waktu luang. “Aku benar-benar ingin melepas sepatu dan menggetok kepalanya yang seperti tanpa otak,” katanya emosi ketika menceritakan sikap Mas Fadhil di harin menjelang aku mel
Read more
Bab 49
Mobil yang kami kendarai melaju pelan pada jalanan yang padat merayap. Tak sedikitpun aku ingin bersuara. Sambil mendekap bayiku erat air mata berjatuhan tanpa isak. Kesedihan yang dalam tak memerlukan isak untuk menumpahkan tiap riak di mata tapi dada tetap terasa sesak. “Aku udah pontang-panting urus kalian kamu masih begitu aja dikit-dikit ngambeg!Kan Cuma tanya siapa tahu ada kesalahan,” kilahnya membenarkan diri. “Tiap pasien beda keluhan, Mas, jadi mungkin saja beda harga obat.” “Makanya kalau diperiksa diam saja jangan banyak ngomong!” katanya meninggi. Air mataku semakin deras mengalir dengan isak lolos satu demi satu. Dia tampak semakin melipat wajah sementara gigiku telah saling merapat. Teganya melakukan ini saat tubuhku lemah. Aku menyimpan kemarahan yang bisa meledak kapan saja. “Mari, Bu saya bantu,” kata seora
Read more
Bab 50
Cahaya redup tanpa mendung yang menggantung. Aku berjalan menyusuri rindangnya perdu mawar bersama beberapa kawan. Sampailah kami pada sebuah rumah mewah bergaya Jepang dengan pintu geser yang unik. Beberapa pohon sakura berbunga pink lebat tanpa daun. Aku mengaguminya. “Ayo kita masuk melihat taman bunga di dalam pagar sana!” ajak seorang teman dengan mata berbinar karena takjub. Kami beriringan memasuki pagar rumah indah itu dan seorang lelaki tua melambaikan tangan ke suatu arah. Kami mendatangi segera dan melupakan taman bunga indah yang terlihat dari luar pagar. Nampak kesibukan di suatu sisi dan lelaki tua menyuruh kami duduk berjajar pada bangku panjang. Tiba-tiba tangan keriput itu mencubit lengan yang terbuka. Baru kusadari tak ada penutup di badanku. Semburat malu pasti memenuhi wajah tapi aku tak kuasa beranjak. “Cukup tebal dan bagus,” gumamnya sambil melepaskan cubitannya.&nbs
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status