Lahat ng Kabanata ng Catatan Si Boi: Kabanata 41 - Kabanata 50
118 Kabanata
BAB 41. Perjodohan
Ruang keluarga di rumahku terasa sunyi. Meski kami bertiga ada di sana, tidak ada yang bersuara. Setelah papa mengatakan ingin menjodohkan aku, dia diam. Mama juga tidak bicara apa-apa. Semua menunggu jawabanku.Aku tidak marah karena papa ingin menjodohkanku. Bahkan aku tidak kesal padanya, aku hanya heran. Selama ini papa belum pernah mengatur hidupku. Dia selalu memberikan semua yang kuinginkan tanpa meminta sesuatu pun padaku."Siapa lelaki itu?" aku bertanya. "Apakah menurut papa dia pantas untukku?""Dia adalah anak dari teman bisnis papa. Kalian seusia dan sederajat, wajahnya juga cukup tampan." jawab papa."Itu tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin tahu alasan sebenarnya."Papa tersenyum mendengar kata-kataku.
Magbasa pa
BAB 42. Si Pengajar Bahasa Arab
Seperti yang aku khawatirkan, menari menjadi salah satu keterampilan yang wajib dimiliki oleh none Jakarta. Karenanya keterampilan ini yang paling rutin diajarkan. Kami harus mengikuti kursus menari setiap rabu malam di kantor dinas pariwisata Jakarta. Hasilnya, badan yang pegal serta otot yang terasa nyeri.  Setiap aku bangun pada kamis pagi, aku memutuskan untuk berhenti. Tapi saat mantan kekasih Ita datang menjemput, aku kembali berubah pikiran. Aneh sekali, orang yang kita benci ternyata bisa menjadi penyemangat untuk selalu menjadi lebih baik. Materi yang paling kusuka diberikan setiap hari minggu kedua dan keempat. Materi peningkatan wawasan tentang kota Jakarta. Kami diajak ke museum, kota-kota tua dan kadang diputarkan video tentang Jakarta dari masa ke masa. Pada saat ujian materi inilah aku paling unggul. Lumayan, setidaknya bisa sedikit menutu
Magbasa pa
BAB 43. Sang CEO
Suasana ruang keluarga di rumahku agak temaram. Papa sengaja memasang lampu yang redup agar suasana lebih santai. Meski demikian, perubahan ekspresi wajah orang di depan papa jelas terlihat. "Sebaiknya Anda tidak lagi berharap pada putri saya. Dia sudah saya jodohkan dengan lelaki yang pantas, anak pengusaha besar." Kata-kata papa bagaikan bom yang dijatuhkan ke jantung hati mantan kekasih Ita. Wajahnya langsung berubah pucat. Tidak ada lagi senyum yang sebelumnya selalu menghias di sana. Kupikir kejam juga aku mempermainkan hatinya, tapi biarlah semoga ini menjadi pelajaran untuk lebih menghargai wanita. Saat berbicara, kata-katanya tidak jelas karena suaranya tiba-tiba menjadi serak. Yang kutangkap hanyalah bahwa kami sudah saling mencintai dan aku pasti tidak setuju dijodohkan dengan lelaki lain. "Baik, mari kita tanyakan saja langsung pada putriku." papa berkata karena tidak ingin berdebat dengannya. Semua mata memandang ke arahku.
Magbasa pa
BAB 44. Wanita di Sekitarnya
Sayangnya sang CEO tidak menganggap acara ini penting. Dia baru tiba pukul 1 kurang, 10 menit sebelum acara dimulai. "Halo Sisca, maaf telah membuatmu lama menunggu." katanya. "Sebaiknya kita bergegas," kataku. "Sebentar lagi acara dimulai. Sopirmu tahu lokasinya kan?" "Aku tidak memakai sopir, aku menyetir sendiri." Jawabnya. Aku mengernyitkan dahi karena heran, lalu berkata. "Aku belum pernah bertemu dengan direktur yang menyetir mobilnya sendiri." "Aku direktur berusia 20 tahun. Coba tanyakan papamu kenapa mengangkatku menjadi direktur di usia semuda ini." Dia mencoba menyindirku. "Mungkin karena kamu anak pemilik perusahaan, dan sudah melakukan rotasi manajerial di bulan pertamanya bekerja." Aku balas menyindirnya. Dia tak mau kalah, lalu mencoba menyindirku lagi. "Apakah kita akan sering berdebat seperti ini setelah menikah nanti?" "Kita belum tentu menikah," jawabku. "Apapun bisa terjadi."
Magbasa pa
BAB 45. Pertemuan di Gunung Merapi
Matahari sudah mulai tinggi. Tapi sejak pagi koperku sudah siap. Siang ini ada acara peresmian program CSR di kantor Papa. Lokasinya jauh dari Jakarta, yaitu di sekitar Jogja. Tepatnya aku tidak tahu, tapi katanya di lereng Gunung Merapi. Butuh sekitar tiga jam perjalanan darat dari kota Jogja untuk sampai kesana.Tidak lama menunggu, Pak Tanto datang memberitahu bahwa ada taksi yang menunggu di depan. Itu pasti Galang, dia memang berjanji akan menjemputku. Tunanganku tidak memiliki sopir pribadi, makanya dia naik taksi. Aku lalu keluar rumah membawa tas kecilku, sedang koperku dibawakan oleh Pak Tanto.Galang tidak turun dari taksi untuk menyambutku. Sopir taksilah yang membukakan pintu dan meletakkan koper di bagasi. Aku lalu masuk ke dalam taksi. Galang hanya tersenyum padaku lalu menjelaskan bahwa kami akan langsung ke bandara.
Magbasa pa
BAB 46. Foto Sang CEO
Udara malam di Gungung Merapi terasa menusuk sampai kulit. Di luar, kabut tebal masih menyelimuti. Aku terbangun saat dini hari karena kedinginan. Sayup-sayup terdengar suara santri mengaji. Ternyata kegiatan pesantren dimulai secepat ini. Karena tidak bisa kembali tidur, aku mengambil sweater lalu duduk di dekat jendela. Kulihat jejeran bintang di langit yang tampak jelas. Pemandangan seperti ini sangat sulit didapat dari jendela rumahku.Tak beberapa lama rasa kantuk datang lagi. Aku menuju tempat tidur lalu menarik selimut kembali. Baru saat ayam berkokok aku terbangun lalu bangkit dari tempat tidur. Aku lalu pergi mandi kemudian menyiapkan barang-barang agar sudah siap saat akan berangkat. Pesawat kami dijadwalkan pukul 11, mungkin Galang akan mengajak kami berangkat setelah sarapan.Saat sarapan, pengurus pesantren memasukkan barang yang kami bawa ke mobil
Magbasa pa
BAB 47. Tunanganku Hilang
Suasana rumahku pada sore hari memang sepi. Pembantu yang tidak menginap sudah pulang. Karenanya, meski pintu ruangan sedikit tertutup, suara papa terdengar cukup jelas. Aku tak mungkin salah."Kita harus mencoba cara lain. Apapun agar anak itu tersingkir. Bahkan jika kita terpaksa mengambil jalan kekerasan."Meski hanya mendengar sepotong-sepotong, aku sudah bisa menebak siapa yang mereka bicarakan. Awalnya aku memang curiga pada papa, tapi aku masih belum percaya papa mau melakukan hal seperti itu. Tapi kali ini aku mendengarnya sendiri.Kuurungkan niat untuk menemui papa, biarlah kutunggu sampai tamunya pergi. Lalu aku menunggu di ruang keluarga. Tidak berapa lama tamu itu pun keluar dari ruangan. Aku masih menunggu papa keluar. Tapi ternyata papa masih betah di ruang kerjanya, jadi kuputuskan untuk menemuinya di
Magbasa pa
BAB 48. Tragedi Cipularang
Pertanyaanku baru terjawab pada minggu sore. Petugas keamanan di rumah Galang mengirim pesan padaku. Dia sudah kembali. Tapi ada yang aneh, Galang pergi membawa mobil tapi pulang naik taksi. Dan dia hanya kembali sebentar karena saat tiba dia sudah ditunggu beberapa orang lalu pergi bersama mereka entah kemana.Informasi ini cukup berharga. Setidaknya aku tahu Galang baik-baik saja. Tapi aku kembali dibuat penasaran. Galang tidak terlihat di kantor dan rumahnya pada hari senin. Dia kembali menghilang. Untungnya tidak lama. Dia kembali masuk kantor pada selasa sore dan tiba di rumahnya saat malam. Sepertinya semua sudah berjalan normal. Tapi aku sudah terlanjur curiga. Apalagi aku mendapat laporan bahwa Mila belum juga masuk kantor sampai saat ini. Pasti telah terjadi sesuatu dengan mereka. Jadi kuputuskan untuk turun tangan langsung untuk menyelidik.
Magbasa pa
BAB 49. Jadi Mata-Mata
Matahari sudah semakin tinggi. Panasnya makin terasa. Tapi karena Bandung terletak di dataran tinggi, udara di sekitar rumah Mila tetap sejuk. Apalagi rumah Mila tidak berada di jalan utama, jadi tidak banyak kendaraan yang lalu lalang di sana. Namun suasana nyaman itu tidak bisa mengusir rasa gelisahku mendengar berita dari perawat di hadapanku.Mila mengalami kecelakaan. Dan karena dia pergi bersama Galang, artinya mobil Galang lah yang mengalami kecelakaan. Bukan kondisi Mila yang membuatku gelisah. Toh aku tidak begitu mengenalnya. Tapi dia mengalami kecelakaan di mobil Galang. Benarkah itu murni kecelakaan atau ada unsur kesengajaan.Aku sangat berharap ini murni kecelakaan biasa. Tapi aku tidak bisa hanya bergantung pada harapanku. Jika yang aku khawatirkan itu yang terjadi, artinya papa sudah melangkah terlalu jauh. Yang menjadi target kecelakaan itu ada
Magbasa pa
BAB 50. Ada Polisi di Rumah
Setelah hampir dua jam baru kulihat sosoknya keluar dari gedung kuliah itu. Galang mengobrol sebentar dengan teman-temannya lalu memisahkan diri. Setelah dia agak jauh, aku segera menghampiri mereka. "Assalamualaikum, bisakah saya mengganggu waktu Anda sebentar." "Silahkan ya ukhti, ada yang bisa kami bantu?" jawab salah satu temannya. "Yang berbicara dengan Anda barusan, dia adalah tunangan saya. Namanya Galang. Kami dijodohkan, jadi saya tidak terlalu mengenalnya. Bisakah Anda menceritakan seperti apa dia menurut Anda?" Lelaki di hadapanku mengernyitkan dahi, lalu berkata. "Teman kuliah kami tidak ada yang namanya Galang. Dan orang yang barusan pergi namanya Ahmad Mustofa.
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status